ANDAI AKU JADI BUPATI

2 0 0
                                    


Akhir-akhir ini aku sedang gelisa. Mungkin panjangnya perenunganku terhadap kejadian-kejadian yang kulihat. Mungkin juga, terlalu mendalam perenungan itu yang yang tidak dilandasi oleh pemikiran-pemikiran ilmiah dalam politik.

Aku mengakui, bahwa aku sedang dalam kritis ilmu pengetahuan, buku-buku bacaanku dan bahasa inggris, serta kata-kata ilmiah minim sekali. Aku sadar itu, sehingga aku tidak tahu persis strategi politik yang digunakan orang lain.

Akan banyak yang menenggelamkan pemikiranku karena aku bukan anak siapa-siapa. Aku hanya dilahirkan dari keluarga petani yang jauh dari kata sejahtera. Namun, aku selalu ingin menjadi manusia yang di cari dan di banggakan. Di banggakan karena kitidak'paham'an dari fenomena yang terjadi.

Renungan-renungan itu terlalu menjauh melampaui batas yang ada. Mungkin gila, dan iya benar itu gila. Aku rasa demikian! Menurutmu ( ?/! ) tetapi entahlah, mungkin semuanya sudah kurang jelas. Karena pehamanku yang minim.

Kisaran bertahun-tahun aku merasa gelisa. Mengapa, bagaimana, dan seperti apa? Aku tidak paham! Keadaan-keadaan sekarang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Hanya saja perbedaannya jauh dari kata kesejahteraan dan kesetaraan. Ah, mungkin karena pemahamanku akan kata sejahtera dan kesejahteraan yang tidak kupahami.

Aku hanya bisa meneguk sedikit demi sedikit kopiku. Menolak pikiran-pikiran kacau yang melandaku. Malam ini menjadi malam yang sangat istimewa bagiku.

Berbagai macam hal-hal menarik telah aku dapatkan dari hasil bacaanku yang telah selesai. Banyak pelajaran yang kutemui di sana. Diam-diam aku ingin berdialog dengan teman2ku. Tapi sepertinya tidak mungkin, mereka sudah di racuni oleh pikiran politik praktis. "Sesama teman saja, tidak saling mendukung"

Dalam perjalanan hidup ini, aku akan memilih untuk bicara. Menyampaikan berbagai persoalan yang ku anggap tidak perlu dilakukan oleh pemimpin. "Tidak tahu diri!" Ungkapanku dengan nada kesal saya melirik kasus suap di salah satu koran ternama yang ada di mejaku. Nadiku berdenyut kencang, suara siul rindu tak semerdu dulu lagi.

Malam yang panjang, kusedot kopiku dengan aroma yang nikmat. Mereka berpikir berbagai cara untuk menang. Tetapi aku malah asik berpikir untuk berjuang menolak kebodohan yang mengungkung diriku. Jujur, aku tidak cukup uang untuk membeli banyak buku2 bacaan tentang perkembangan IPTEK. Paling beruntung kalau di pinjam teman atau diajak diskusi. Bagiku "Dialog adalah yang utama"

Kusedot lagi si dia. Sang pemberi imajinasi yang inspiratif.  Mengalahkan 'bajingannya' diriku yang menjelma menjadi petaka. Tetapi, biarlah aku dalam keadaan seperti ini, dalam diri yang pernah di jiwai dan menjiwai. Sudahlah, mungkin terlalu puitis atau entahlah mungkin terlalu munafik diriku! Entahlah.

Andi Agus
Bulukumba, 27 Februari

Tulisan Singkat_Rumah Baca SAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang