Hari ini hari Sabtu. Hari dimana shift kerjaku di sebuah toko barang antik bertepatan dengan kehadirannya. Dia, pria unik yang selalu meluangkan waktunya untuk singgah di toko barang antik ini hanya untuk melihat-lihat.
Hampir semua pegawai disini hapal dengan kegiatan pria itu. Datang ke toko pada pukul sepuluh lebih sepuluh menit di hari Sabtu, lalu menatap beberapa buah jam yang ada di rak paling timur, kemudian berpindah ke bagian utara toko yang dipenuhi lukisan antik.
Dia tidak pernah membeli apapun. Berbicara pada seseorang yang ada di toko ini saja tidak pernah dilakukannya. Sebenarnya beberapa teman kerjaku ingin bertanya padanya, tentang apa tujuannya datang kesini setiap hari Sabtu tanpa membeli apapun.
Kehadirannya memang kadang mengganggu, tapi bosku bilang itu tak masalah. Ia bilang lebih baik kami membiarkannya saja, mungkin pria itu memiliki kenangan tertentu dengan toko ini.
Secara pribadi aku juga tak ingin dia pergi, aku merasa tertarik padanya. Selama ini aku hanya bisa melihatnya dari balik meja kasir, sambil menduga-duga apa yang sedang dipikirkannya.
Tapi kali ini berbeda. Aku ingin menyapanya. Aku ingin mendengarnya bicara. Walau aku tak tahu apa aku bisa tahan dengan tatapannya yang penuh kebencian itu.
Kusapukan pandangan ke sekitar toko, suasana hari ini cukup sepi. Beberapa pengunjung terlihat sibuk memilih barang yang akan mereka beli. Sementara pria itu tetap berdiri di sana. Di depan rak berisikan jam.
Perlahan kuteguhkan langkahku mendekatinya, ia tidak merasa terganggu dengan suara langkahku yang mulai mendekatinya. Baru pertama kali ini aku menatapnya dari dekat.
"Maaf tuan," ucapku dengan suara yang lirih. Tatapannya teralihkan padaku. Sudah kuduga aku tidak akan mampu menatap manik kelabu yang menyorotkan kebencian itu. Untuk menghilangkan rasa gugupku aku berdehem ringan.
"A-apa aku boleh tahu siapa namamu?" ingin sekali rasanya aku menenggelamkan kepalaku ke dalam air es. Pertanyaan bodoh macam apa itu?
"Apa kau harus tahu siapa namaku?" refleks aku menatap wajah pria itu. Tadinya kukira ia akan mengacuhkanku.
Ini lebih merepotkan, apa yang harus kukatakan? "S-sebenarnya, aku penasaran siapa namamu dan apa tujuanmu selalu datang kemari pada hari Sabtu," tunggu dulu Higuchi, bukankah kau terlalu blak-blakan? Ah, aku tidak peduli lagi.
"Apa kalian keberatan dengan kehadiranku disini? Kalau begitu aku akan pergi," ucapnya dengan datar. Derap langkahnya terdengar di telingaku dan entah apa yang aku lakukan, aku malah mencekal lengannya.
"A-ah, maafkan a-aku," ujarku setelah melepas cekalan tanganku dan membungkuk padanya. Dia hanya menatapku, tak berkata apapun, tak bereaksi apapun. Ini mengerikan, bagaimana kalau dia tersinggung dengan kelakuanku hari ini?
"Apa kau merasa penasaran denganku?" tanyanya dengan datar. Aku mengangguk.
"Kau mau tahu alasanku datang kemari?" lagi-lagi aku mengangguk.
"Kau tidak bisu, bukan? Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku dengan kata-kata?" oh, yaampun.
"M-maaf Tuan, iya aku sangat penasaran dengan semua itu," ucapku dengan suara yang sedikit bergetar. Dia terdiam, mengamati wajahku, atau mungkin mataku, aku tidak tahu.
"Shift kerjamu berakhir pukul empat sore, bukan? Kau bisa menemuiku di kafe sebelah," dia berkata dengan datar kemudian keluar dari toko. Bagaimana dia bisa tahu kalau shift kerjaku berakhir pukul empat?
-
Perlahan kugerai rambut blondeku yang sedari tadi tergelung. Kusisir rambut yang hanya sebatas bahu itu dengan perlahan. Aku terpikirkan lagi tentang pria itu. Haruskah aku menemuinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Time [Akutagawa&Higuchi]
FanfictionSetiap hari Sabtu, aku menatapnya. Pria yang sama, baju yang sama, gaya rambut yang sama, berdiri di tempat yang sama, di jam yang sama pula. Aku tertarik padanya. Pada matanya yang menyorotkan kebencian. Aku tertarik padanya. Pada sikap disiplinnya...