Pada mulanya Akutagawa memang tak mau membawaku ke rumahnya, tapi karena kami berdua terguyur hujan dan bajuku basah semua akhirnya ia memboyongku ke rumahnya dengan terpaksa.
Sungguh tidak nyaman. Aku hanya menggunakan kemeja yang Akutagawa pinjamkan tanpa mengenakan apapun, karena semua bajuku memang basah.
Kurasakan sesuatu menyentuh bahuku. Ternyata Akutagawa menyampirkan mantel berwarna hitam yang cukup panjang di bahuku. Segera aku menutupi seluruh tubuhku dengan mantel itu.
"Masih kedinginan?" tanyanya setelah menuntunku ke depan perapian yang ada di ruang tengah. Aku menggeleng. Seharusnya dia tidak perlu memperlakukanku sampai seperti ini. Lagi pula, apa suasana hatinya sudah membaik? Dia sudah tidak emosi lagi?
"Minumlah," mug berwarna cream terulur ke arahku. Aku menerimanya sambil tersenyum. Coklat panas yang ia buat memenuhi rongga mulutku, rasanya benar-benar nikmat.
"Kau membuatnya sendiri?"
"Siapa lagi yang akan membuatnya kalau bukan aku?" Akutagawa membenarkan kancing kemejanya yang tadi belum sempat ia kancing sampai atas.
Aku tidak tahu kalau ternyata badannya se-atletis itu. Selama ini baju yang digunakannya memang tidak berkapasitas untuk menampakan otot-ototnya, sih.
"Kenapa kau menatapku begitu?"
Pipiku memanas, "Menatap bagaimana?" tanyaku dengan suara yang dipaksakan agar tidak gugup.
"Kau menatap badanku tadi," Akutagawa mendekati wajahku dengan perlahan. Napas hangatnya berhembus di hidungku, sementara ia mulai memiringkan kepalanya.
"Apa yang mau kau lakukan?" dengan segera aku menjauhkan wajahku darinya. Ini tak boleh terjadi.
"Kukira kau mau kucium tadi," hampir-hampir rahangku terjatuh ke lantai saat mendengar jawabannya.
"Mana mungkin!" ia terkekeh, lalu menekuk satu kakinya dan menopang tangannya di atas lutut kakinya yang tertekuk, ya, kebiasaan para pria.
"Aku tidak tahu rumahmu sebagus ini," ujarku sambil menelusuri pandangan ke seluruh penjuru ruang tengah.
Rumah Akutagawa memang tidak terlalu besar, tidak terlalu luas juga. Tapi penataan barang yang bagus membuat rumah ini nyaman dan apik.
Hampir semua perabotan yang ada di rumah ini adalah barang antik; seperti jam yang hampir sama tingginya denganku, lukisan, piring-piring antik, bahkan ada sebuah samurai yang dipajang di atas perapian.
"Karena sebelumnya aku tidak pernah bercerita padamu, iya, kan?" aku mengangguk. Bicara soal cerita.. apa Akutagawa mau bercerita tentang adiknya padaku, ya? Tapi sebaiknya aku tidak menyinggung ini sekarang.
"Kenapa kau melamun? Apa kau mengantuk?"
"Huh? Ya, sedikit. Aku akan pulang," ujarku sambil berdiri. Akutagawa menatapku dengan lekat, membuatku semakin merapatkan mantel yang diberikannya.
"Kenapa kau tidak menginap saja?"
"Di luar sudah tidak hujan."
"Ya, memang."
"Lalu kenapa kau melarangku pulang?"
"Aku tidak melarangmu, aku cuma membujukmu agar kau mau menginap," dengan cepat kutolehkan kepalaku menatapnya. Apa yang dia katakan barusan?
"Kenapa kau mau aku menginap?"
"Jangan bertanya dengan nada seperti itu."
"Seperti apa?"
"Seakan-akan aku akan memperkosamu kalau kau menginap disini," sontak aku membulatkan mataku ke arahnya. Apa sih yang dia bicarakan?!
"Karena kau sudah bilang begitu, aku malah semakin khawatir!" Akutagawa tidak menjawab lagi. Ia hanya duduk terdiam sambil memandang api di perapian yang menari dengan lemah gemulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time [Akutagawa&Higuchi]
FanfictionSetiap hari Sabtu, aku menatapnya. Pria yang sama, baju yang sama, gaya rambut yang sama, berdiri di tempat yang sama, di jam yang sama pula. Aku tertarik padanya. Pada matanya yang menyorotkan kebencian. Aku tertarik padanya. Pada sikap disiplinnya...