"Jawab aku, Higuchi."
Pertanyaan Akutagawa terus terngiang di kepalaku. Aku memang menggantung pertanyaan itu di udara. Tak tahu harus menjawab apa.
"Akutagawa..." dengan perlahan kusentuh lengannya agar ia mau bangkit dari posisi berlututnya sekarang ini. Tapi ia menolak.
"Jawab aku, Higuchi."
"Aku...menurutku yang kau lakukan tetaplah salah, Akutagawa. Mungkin rasanya sangat menyakitkan, tapi kalau kita membalas dendam, kita membunuhnya juga, apa bedanya kita dengan dia?"
"Aku tahu aku cuma orang asing yang kau mintai pendapat, aku juga tidak tahu dengan detail bagaimana perasaanmu, tapi menurutku yang kau lakukan salah," Akutagawa mengangkat pandangannya. Ia tidak marah. Tatapan yang ditunjukannya justru berterimakasih.
"Kau satu-satunya," ucapnya dengan lirih.
"Satu-satunya apa?"
"Satu-satunya orang yang tidak mengatakan 'aku mengerti bagaimana perasaanmu'. Kau tidak munafik seperti yang lainnya. Kau berkata jujur, Higuchi," perkataan Akutagawa membuat hatiku kian bersedih. Sesakit apa perasaannya?
"Aku memang tidak mengerti, Akutagawa. Tapi kau bisa menceritakannya padaku, kau tidak harus memendamnya sendirian. Berbagilah denganku agar kau tidak membencinya."
Akutagawa terlihat terkejut, ia menatap mataku, mencari kebenaran akan kepedulianku. Ia terkekeh perlahan.
"Semudah itukah kau membacaku, Higuchi?"
Kini aku yang tertawa.
"Matamu menjelaskan semuanya, Akutagawa. Aku tahu itu."
"Dan bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena...aku juga pernah dalam posisimu sekarang ini. Aku pernah membenci semuanya. Membenci hidupku, membenci takdir, membenci dunia, aku benci terhadap semua yang telah aku lalui,"
"Tapi kemudian aku tersadar. Aku tidak boleh tenggelam dalam rasa benciku, aku tidak boleh terjerumus dalam masa lalu yang kubenci. Semuanya harus terus berjalan, hidupku harus terus berjalan tanpa ada kebencian dari masa lalu. Seseorang tidak boleh terlalu lama tinggal dalam masa lalunya."
"Kenapa?"
"Karena nantinya ia akan kesulitan untuk membuka matanya, menatap masa kini, dan masa depannya."
Akutagawa terkekeh. Lalu ia akhirnya tersenyum. Senyuman manis yang menandakan kepahitannya telah hilang. Mata kelabu itu juga. Tidak lagi memancarkan kebencian, ia memancarkan rasa senang. Bak seorang pelaut yang kembali ke rumahnya setelah sekian lama terombang-ambing di lautan ganas.
"Kau cocok sekali menjadi motivator, Higuchi," kami tertawa, lalu setelah tawa itu reda sunyi perlahan menyeruak. Bukan sunyi yang terasa canggung atau menyesakkan, tetapi sunyi yang terasa melegakan.
Perlahan Akutagawa mendekatkan tubuhnya kepadaku, tangannya terulur, kemudian ia mendekapku dengan erat. Mengistirahatkan dagunya pada bahuku. Aku juga melakukan hal yang sama.
Lucu sekali rasanya. Kami yang hanya orang asing, bisa menjadi dekat karena cerita. Yang tadinya saling menjaga jarak, kini berpelukan erat. Aku ingat, kemarin aku bertanya-tanya apa yang ia pikirkan. Kini aku tahu jawabannya.
Ia mencari seseorang yang bisa ia ajak berbagi. Seseorang yang akan mengerti dirinya. Seseorang yang tidak akan memandangnya rendah setelah apa yang diceritakannya.
Akutagawa melepaskan pelukannya. Ia berkata, "Tidurlah, Higuchi. Ini sudah malam," Tidur? Dimana? Setahuku rumah ini hanya punya satu kamar.
"A-aku tidur dimana?" Tanyaku sambil menggaruk pipi.
"Disini tentunya. Jangan khawatir, aku akan tidur di sofa bawah," Akutagawa bangkit, berjalan ke arah pintu kemudian mematikan lampu. Secara otomatis lampu yang ada di atas nakas menyala. Cahaya temaramnya menerangi kamar.
"Selamat malam, Higuchi."
"Selamat malam, Akutagawa," aku tersenyum, begitu juga denganya. Sedetik kemudian pintu tertutup rapat.
Aku mulai membaringkan tubuh pada kasur yang begitu empuk. Menarik selimut hingga ke atas dada. Ada perasaan lega di hatiku. Apa Akutagawa juga merasakan hal yang sama?
Tanpa sadar mataku tertutup ketika memperhatikan setiap sudut kamar ini.
-
Cahaya matahari merayap masuk. Alarm alami seakan membangunkanku. Jam menunjukan pukul tujuh. Buruk sekali. Aku terlambat bangun di rumah orang lain!
Dengan tergesa aku menuju kamar mandi yang ada di kamar itu. Membasuh muka, kemudian berkumur.
Kubuka pintu kamar, kulangkahkan kaki menyusuri koridor kemudian berhenti di ujung tangga.
Tidak ada Akutagawa di sofa. Hanya ada sebuah bantal dan selimut yang terlipat rapi. Aku pikir dia ada di dapur. Tapi disana juga nihil.
Aku sudah mengitari rumah, tapi tak menemukannya juga. Aku benar-benar tamu yang tidak sopan, bagaimana aku bisa mengitari rumah tanpa ada sang pemilik?
Aku terduduk di sofa. Sebenarnya ada dimana Akutagawa? Apa dia sedang berbelanja bahan makanan?
Tak sengaja mataku menangkap sebuah kertas di atas bantal di sofa. Kertas itu terlipat menjadi dua, dengan tulisan 'Higuchi' di atasnya.
Apa itu untukku?
Perlahan aku mengambil kertas itu lalu membukanya.
Higuchi, surat ini untukmu.
Semalaman aku terpikirkan tentang ucapanmu. Aku tahu aku bersalah, tapi egoku terus-terusan mengatakan kalau yang kulakukan adalah benar.
Kurasa aku harus mengakuinya, iya kan? Aku bersalah. Dan aku akan membayarnya untuk itu.
Sampai aku selesai, bisakah kau menjaga rumahku? Tinggallah disana, tunggu aku kembali.
Apa kau bisa melakukannya, Higuchi?
Iya.
Tenang saja, Akutagawa, aku akan menunggumu. Aku tidak akan meninggalkanmu.
Secuil rasa sedih singgah. Aku harus menunggunya untuk berapa lama? Tapi kemudian aku meyakinkan diriku sendiri. Akutagawa akan kembali. Cepat atau lambat, ia akan kembali.
Aku bangkit dari sofa saat melihat kunci di atas perapian, tepatnya di sebelah samurai yang menjadi pajangan. Kutebak itu kunci rumah. Jadi Akutagawa benar-benar menyerahkan rumah ini padaku sebelum ia kembali?
Ya, baiklah. Akan kujaga rumah ini dengan baik. Kujaga sepenuh hatiku, seperti saat aku menunggunya untuk kembali.[]
•Ginmarine
Mau curhat, Senin Ao wisuda, doain ya 😂❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Time [Akutagawa&Higuchi]
FanfictionSetiap hari Sabtu, aku menatapnya. Pria yang sama, baju yang sama, gaya rambut yang sama, berdiri di tempat yang sama, di jam yang sama pula. Aku tertarik padanya. Pada matanya yang menyorotkan kebencian. Aku tertarik padanya. Pada sikap disiplinnya...