Rindu Milik Orang Lain

127 2 0
                                    

Rindu bagaikan sebuah benalu di kehidupan. Ingin menuntaskan kepiluan dengan cara bertemu. Dan disinilah aku, menahan malu mengajak dirinya bertemu di kala siang itu. Segitunya ingin bertemu, aku tidak segan bertanya padanya, “Apakah kau sibuk hari ini? Aku ingin bertemu.”

Rindu pun berbalas, kau menyetujui ajakanku dengan janji makan siang di sebuah warung makan favoritmu.

Karena rindu, aku tiba terlebih dahulu. Aku duduk manis menanti kedatanganmu dan tidak berhenti tersenyum malu. Bahkan, pelayan yang saat itu mengantar menu, aku sirami dengan senyuman semanis madu.

Bahagianya hatiku.

Lima menit berselang, kau pun tiba. Dengan kaos oblong abu gelap yang sangat serasi di kulitmu yang kecoklatan. Rambutmu kau sibak saat menatap mataku. Tahukah kau kala itu, jantungku ingin meledak saat melihatmu?

Kau meletakan kedua ponselmu di atas meja. Ini tidak seperti kebiasaanmu. Kau tahu aku benci ponsel ketika kau dan aku sedang beradu temu. Namun karena aku tidak melihat sesuatu yang menganggu, aku abaikan rasa iri hatiku pada ponselmu tersebut.

“Kau ingin memesan apa?” tanyaku
Kau terdiam, membisu memandangiku.Lalu melirik ponselmu sekilas. Hanya sekilas hingga aku tidak perlu gelisah dengan caramu mengeryitkan dahi saat memandang ponselmu.

“Dewa, kau ingin memesan apa?” ulangku sabar.

Sekali lagi, kau terdiam bagaikan orang bingung. Sampai akhirnya kau bersuara, “Samakan saja denganmu.”

Kau memang tersenyum padaku saat itu, tapi sorot matamu tidak. Kau gelisah. Dan sekali lagi kau melirik ponselmu.

Setelah pelayan pergi, aku melipat tanganku di atas meja dan memperhatikan gelagatmu yang tidak wajar.

“Apa tidak apa-apa meninggalkan pekerjaan di jam seperti ini?” aku bertanya, mencari tahu kegelisahan yang berpendar dari matanya. Dari gerak gerik tubuhnya.

“Tidak kok. Ini memang sudah hampir jam makan siang.”

Jujur. Dia tidak berbohong.

Lalu jika bukan pekerjaan, apa yang membuatnya gelisah?

“Bagaimana rencana besok? Apa kau sudah menentukan kemana kita akan pergi.”

Dia terdiam. Menggaruk kepalanya dan menatapku.

Lagi!! Kudapati pandangan mata itu tertuju padaku, tapi fokusnya pada ponsel di mejanya. Ponsel terkutuk yang dengan aksi bisunya telah merampas perhatian Dewa dariku.

“Bisakah kita bicarakan nanti malam?”

Ada sesuatu yang tidak beres. Dan dugaanku hanya satu ...

“Apa kau sedang menunggu pesan dari tunanganmu?”

Kau pun mengangguk, “Dia sedang di luar, dan aku tidak tahu dimana keberadaannya.”

“Kau takut dia akan memergokimu disini? Denganku?”

“Aku hanya tidak ingin ada masalah.”

Aku terdiam. Terluka jelas. Dia pun menyadari itu. Karena sorot matanya melembut saat menatap balik kemarahan yang aku pancarkan.

“Lalu kenapa kau iyakan ajakanku untuk bertemu? Kau pikir aku senang bersama lelaki yang pikirannya bahkan tidak bersamaku?”

“Tolong mengerti. Aku juga ingin bertemu denganmu. Tapi ...”

“Tapi ketakutanmu lebih besar daripada kerinduanmu padaku.” Aku sedikit histeris.

Namun aku tahan. Aku tidak ingin bertengkar. Kerinduanku yang menumpuk, yang terasa menusuk begitu menggebu ingin bertemu dengan si pemilik rindu ini. Jeritan hatiku yang ingin membelai pipinya tertahan oleh dinding yang ia tautkan saat pertama kali ia duduk di bangku tersebut. Aku hanya mampu menatap wajahnya yang gelisah sepanjang makan siang dan mendengarkan ocehan yang ia lontarkan untuk menutupi rasa gelisah, gundah dan kalut yang melanda dirinya.

Aku tertawa atas leluconnya

Aku meringis saat ia menceritakan bagian yang membuatku risih.

Aku prihatin saat ada musibah yang menimpa temannya.

Dan aku ikut mengomentari segala hal yang ia ceritakan padaku.

Sepanjang siang itu, aku hanya menjadi pendengarnya yang baik.

Dengan harapan, apapun yang menyelimuti hatinya yang resah, bisa terobati dengan pertemuan ini.

Nyatanya, aku salah besar

***

Makan siang selesai. Ia berpamitan dengan buru-buru meninggalkan aku yang duduk termenung memandangi sisa makan siang kami.

Nasi dan lauk ayam penyet kegemaranku, tidak mampu kuhabiskan.

Teh botol yang selalu habis dalam sekali teguk, terabaikan di sudut meja.

Tisu bekas yang aku robek-robek kecil bertebaran di atas meja.

Bila mereka bisa bersuara, mereka tahu aku sedang berduka.

Aku bangkit dari kursiku. Berjalan ke arah parkiran dengan gontai.

Kepergiannya, membuatku hilang semangat. Aku masih ingin melihat wajahnya. Mendengar tawanya. Dan gayanya yang khas saat menyugar rambutnya ke belakang.

Aku mendesah.

Dan lima belas menit kemudian, aku sampai di rumah.

Aku merebahkan diriku di atas ranjang. Menjatuhkan ponsel di sisi kepalaku. Memejamkan mata untuk mencoba tidur dan melupakan segalanya.

Nihil.

Aku hanya tidur menyamping, terlentang lalu menyamping lagi dan akhirnya aku tengkurap dengan menahan nafas. Rasanya tergoda bagiku untuk menghentikan nafas dengan cara seperti ini.

Lalu karena aku merasa itu sangat konyol. Aku kembali terlentang. Kali ini aku benar memejamkan mata. Benar-benar ingin mencoba tidur. Saat layar hitam mulai terkembang, nada dering ponselku berbunyi.

“Maafkan aku, karena mengecewakanmu.”

Isi pesan yang begitu singkat, tanpa emoticon ataupun tanda baca lainnya yang mampu mengindikasikan apa perasaannya saat mengirimkan pesan ini.

Aku melempar ponsel itu ke sampingku. Tidak berniat membalas ataupun menjawab panggilan teleponnya.

Karena aku tidak ingin ia mendengar suaraku yang bercampur air mata.

Air mata yang tidak aku sadari, entah kapan merajalela menyeruak dari sakit hati yang aku alami.

Air mata, yang satu-satunya memahami, bahwa rindu yang aku coba semai di hari ini, adalah rindu milik orang lain.

Air mata inilah, yang menjadi penenangku saat ini.

Diiringi nada dering Naff – Akhirnya Aku Menemukanmu, nada dering yang khusus ia nyanyikan dan kirimkan padaku.

Dan aku benci pada lagu itu.

***

Seharusnya KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang