Standard Disclaimer Applied
.
28.03.2018
.
Drama & Romance
.
AR, OOC, Typo, Bad Language, etc
.
Backsound : Untitled by G-Dragon
***
Seoul, 27.03.2018
19:00 KST
Rahangnya mengeras kaku. Telapak tangan mengepal kuat, menahan diri untuk tidak melempar ponsel ke dinding.
Kepalanya kemudian tengadah. Berusaha keras ia menarik napas, mengisi paru-parunya yang menyempit.
Sesak. Dadanya terasa sesak.
Ke mana perginya oksigen sialan itu?
Kenapa ia tidak bisa bernapas?
Kenapa?
Dengan sinar yang meredup di kedua netranya, ia lantas berjalan keluar kamar, dan membawa kakinya menuju pintu utama apartemen.
"Hyung, kau mau ke mana?"
Ia tak menghiraukan satu tanya itu. Tanpa melihatnya, ia tahu ada kecemasan menyelimuti enam pasang mata yang mengikuti pergerakannya.
"Min Yoongi."
"Ke atap," ia akhirnya menyahut pendek setelah suara lain menyusul. Suara yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Lalu ia berbalik badan sambil menggenggam gagang pintu. "Jangan khawatir." Bibirnya tersenyum tipis. Senyum yang tak menjangkau matanya. "Aku baik-baik saja."
Tanpa menunggu sahutan, ia melangkah keluar apartemen. Alih-alih menuju lift, ia mengayunkan kakinya ke arah tangga.
Tidak.
Ia tidak bisa berdiri diam di dalam kotak berjalan, tanpa membuat dirinya ingin mencengkeram keras rambutnya sendiri. Tanpa membuat dirinya ingin menghancurkan sesuatu saat melihat kekacauan dalam dirinya yang terpantul di dinding lift.
Sesampainya di atap, napasnya tersengal-sengal saat menekan dadanya dengan lima jemari. Jantungnya terasa seakan ingin meledak. Oleh rasa lelah. Juga luapan amarah.
Sembari menegakkan badan, ia mengambil napas dalam-dalam.
Lalu berteriak.
Tanpa suara.
Tubuhnya terhuyung mundur perlahan, hingga duduk bersandar pada dinding di sebelah pintu atap. Tangannya terlipat di atas lutut, dengan pandangan mata menyorot hampa.
Lantas netranya menatap ponsel yang masih ia genggam. Sejenak ia hanya terdiam. Gelenyar ketakutan kian menggerogotinya dan membuat napasnya tercekat.
Namun dibukanya kemudian lockscreen ponselnya, langsung menghubungi salah satu nama di kontak. Satu nama yang sudah beberapa hari ini tak muncul di panggilan masuknya. Satu nama yang tak menghampiri kotak masuk pesan maupun chat-nya.
Dengan bahu menegang, juga tangan yang bergetar samar, ia membawa ponselnya mendekati telinga kanan. Nada sambung terdengar pelan.
Beberapa detik terlewat, detik-detik yang terasa selamanya, hingga... nada itu tiba-tiba menghilang.
Ia menarik napas tajam, menyadari seseorang di seberang sana ternyata menerima panggilan itu. Mengangkat telepon dari dirinya.
Sesuatu yang sudah sangat ia yakini tidak akan pernah terjadi. Sesuatu yang terasa seperti keajaiban yang tidak bisa didefinisikan jika terjadi.
Ketertegunan masih membuatnya bergeming kaku, tak menyadari waktu terus berjalan meski ia dan seseorang itu tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Hanya suara desauan angin. Hanya suara helaan napas.
Lalu...
"Chukae."
Satu kata berintonasi datar itu berhasil menariknya kembali ke alam sadar, membuatnya seketika menggeram kasar. "Jangan, sialan! Jangan berani-beraninya kau mengucapkan kata itu!"
Tak ada sahutan.
Keheningan itu membuat lehernya tercekik perih. Membuat jantungnya berdenyut nyeri.
Ia menutup mata dengan lima jemarinya yang bebas, dan berdesis lelah, "Itu tidak benar. Tidak ada apa-apa di antara kami. Aku tidak menyukainya seperti itu. Bukankah sudah pernah kukatakan padamu?"
"Bukan urusanku."
"Sialan! Ini sudah menjadi urusanmu lagi sejak detik pertama kau mengangkat teleponku, Kim Jennie!" teriaknya lantang. Netranya menatap liar kegelapan yang berkuasa di atap.
Dan kembali tak ada sahutan.
Ia mendesah samar, berusaha mengendalikan diri. Tirai kelopak sekali lagi menyembunyikan kelam. Bibirnya kemudian terbuka, menyuarakan satu tanya dalam bisikan parau. Satu tanya yang mewakili segalanya.
"Kau... percaya padaku?"
***
Tokyo, 27.03.2018
19:10 JST
Suara ketukan terdengar, mengalihkan perhatian dari penghuni kamar yang tengah menatap layar ponselnya yang mati. Ia berkedip kaget, lalu menoleh dengan cairan bening yang masih mengalir sunyi dari sudut mata.
"Unnie, kenapa kau mengunci pintu kamar kita?"
Kepanikan mewarnai raut mukanya. Buru-buru ia menyeka pipi. "Mian." Ia menyumpah dalam hati, benci mendengar suaranya yang berubah serak. "Tunggu sebentar. Aku akan segera membukanya."
"Jennie-ya, kau tidak apa-apa?"
"Ne!" ia menyahut kencang seraya beranjak dan meninggalkan ponselnya di ranjang. Setelah memastikan tak ada jejak tangis melalui cermin, ia berjalan menuju pintu, lalu membukanya dengan senyum lebar di bibir.
Namun tidak di sepasang matanya.
Layar ponsel kembali menyala, menunjukkan pemberitahuan akan satu pesan yang telah terkirim.
To : Mine
Aku percaya padamu.
.
.
.
*THEEND*