Standard Disclaimer Applied
.
31.05.2018
.
Drama & Romance
.
AR, OOC, OC, Typo, Bad Language, etc
.
Backsound : Outro (Tear) by BTS
***
Hannam the Hill, 27.05.2018
19:30 KST
Helaan napasnya terdengar panjang ketika menutup pintu kamar. Lampu nakas berpendar remang. Cahaya bulan ikut menyelusup dari celah-celah ventilasi.
Tersuruk-suruk, Min Yoongi berjalan menuju ranjang, lalu melepas satu-persatu piercing dari telinga dan meletakkannya di atas nakas.
Dengan mata terpejam, Yoongi kemudian merebahkan tubuh. Satu punggung tangan menekan kening yang berdenyut.
Lelah. Ia sangat lelah. Dan sakit.
Kemudian Yoongi beringsut, mengubah posisinya menghadap jendela bertirai. Punggung membungkuk. Kedua tangan tersembunyi di antara kakinya yang menekuk.
Lagi, Yoongi menghela napas. Berat. Netra masih terpejam. Rapat.
Kantuk perlahan melingkupinya, diiringi rasa lelah yang kian nyata menyerang tubuhnya. Pikirannya.
Entah berapa lama waktu berlalu, hingga tiba-tiba Yoongi merasakan sentuhan lembut di pipinya. Sentuhan yang terasa familier. Juga imajiner.
Sedang bermimpikah ia?
"Yoongi-ya."
Dan suara halus itu sontak membuat mata Yoongi terbuka. Cahaya remang-remang masih menguasai kamarnya, namun Yoongi bisa melihat satu sosok itu. Bisa merasakan keberadaannya.
Sosok itu berbaring menghadap Yoongi, dengan tangan masih mengusap pipinya yang basah.
"Jennie?" bisiknya lambat. Parau.
"Hmm."
Yoongi membuka mulut, ingin melontarkan pertanyaan. Namun kemudian terhenti, ketika mendadak sebentuk kebutuhan lain muncul. Begitu kuat. Hingga mengentak-entak jantungnya.
Kebutuhan yang tak bisa ia tolak. Untuk saat ini saja.
Yoongi kemudian bergerak, membawa kepalanya terbenam di leher Jennie, seiring lengannya melingkari pinggang perempuan itu dalam dekapan erat.
Tubuhnya gemetar. Sialan! Tubuhnya gemetar!
"Yoong—"
"Diamlah," ia menggeram rendah. Lelah. "Diam sajalah."
Tak ada bantahan. Hanya gemerisik tangan Jennie yang membalas pelukannya. Yang membelai surai gelapnya.
Pelukan ini.... Dekapan ini.... Yoongi tidak pernah tahu seberapa besar ia membutuhkannya hingga sekarang.
Beberapa menit terlewati dalam kesunyian. Yoongi masih bergeming, kini dengan gemetar yang perlahan mulai menghilang.
Ketika dirasakannya bibir Jennie menyapu puncak kepalanya, Yoongi menarik napas dalam, sebelum kemudian menjauhkan wajah. Dengan netra yang enggan terbuka, Yoongi menekan keningnya di kening Jennie. "Maaf," ucapnya pelan.
"Bodoh." Jennie menyentuh pipi Yoongi dengan satu punggung tangan, lalu lanjut berbisik lirih, "Aku merindukanmu."
Sesaat pernyataan itu membuat Yoongi tertegun, hingga akhirnya ia mendesah pendek. "Aku tahu." Aku juga merindukanmu.
"Kau membuatku khawatir. Juga mereka."
Kening Yoongi berkerut dalam. "Aku baik-baik saja."
Tak ada sahutan. Namun dirasakannya tangan Jennie meraih satu tangannya, mengusap lembut ibu jarinya yang tertutupi plester luka, lalu menyapukan bibir pada titik itu dalam sentuhan ringan.
Sentuhan yang... seketika menghangatkan hatinya.
"Jangan terlalu memaksakan diri," Jennie kembali berbicara. Suara menegang dengan kecemasan. "Makanlah yang benar. Aku benci melihatmu sakit, kau tahu? Dan.... Sialan! Bisakah kau berhenti menutup matamu, Min Yoongi?"
Sontak netra coklat gelap terbuka cepat, kini tak dapat mengelak dari pandangan yang sedari tadi Yoongi hindari. Dalam keremangan, dilihatnya mata Jennie yang kian basah oleh kabut bening.
Jennie mengusap cairan yang nyaris jatuh dari sudut matanya. "Aku hanya punya waktu setengah jam untuk melihatmu, tapi kau justru tidak mau melihatku. Aku tahu kau tidak merindukanku tapi—"
"Sialan! Sialan!" desis Yoongi cepat dengan gigi bergemeletuk, sementara menangkup pipi Jennie dengan kedua tangan. Nyalang, ditatapnya netra perempuan di hadapannya. "Aku merindukanmu, Kim Jennie. Sangat, meski baru beberapa hari yang lalu kita bertemu. Aku hanya benci melihatmu menangis, dan... aku sangat kesal karena pada akhirnya aku tidak akan bertemu denganmu lagi dalam waktu yang lama."
"Kita bisa meminta bantuan Rain Unnie lagi—"
"Tidak," Yoongi menyela tajam sambil menggeleng. "Kita sudah melanggar perjanjian dua kali, meski sekali saat aku pulang dari Amerika sudah mendapat persetujuan dari Yang Sajangnim, tapi tetap saja kita tidak seharusnya bertemu seperti ini. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk bersamamu. Untuk bebas memilikimu seperti seharusnya. Sialan! Tidak bisakah kau mengerti itu?"
"Kalau begitu jangan membuatku khawatir!" geram Jennie sambil memukul-mukul lemah dada yang terbalut baju berwarna kuning. Air mata mulai mengaliri pipi Jennie. "Aku benci setiap kali kau melakukannya. Aku mengerti kesibukanmu saat ini, tapi tolong jaga kesehatanmu dengan benar, Yoongi-ya. Aku tidak mau kau sakit. Aku tidak mau lagi melihatmu di rumah sakit."
"Maaf." Suara Yoongi berubah lirih saat beralih memeluk Jennie, dan menekan lembut kepala gadis itu ke dadanya. "Aku minta maaf. Aku akan menjaga diriku. Untukmu. Untuk mereka. Jangan menangis, Jennie. Kumohon."
Jennie tidak membalas. Tangisannya terlantun sunyi.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Tanpa melihatnya, Yoongi tahu sosok yang kini tengah berdiri di ambang pintu. "Jangan sekarang, Bi."
"Sepuluh menit." Lalu pintu kembali tertutup.
Yoongi menghela napas. Keheningan berlanjut beberapa menit, hingga kemudian Jennie beringsut dalam pelukannya, kini melingkari pundaknya dengan lengan.
Jennie menyurukkan wajah di leher Yoongi, lantas menjauhkan muka untuk bisa bertemu pandang dengan laki-laki itu. "Sebelum aku pulang, aku ingin melihat gummy smile-mu."
Sejenak Yoongi hanya bisa bergeming, lalu bergumam pelan, "Bodoh." Namun perlahan bibir Yoongi melengkung, menampakkan deretan gusi dan gigi putih yang tertata rapi. Senyum khasnya terbentuk hangat. Juga lembut.
"Akhirnya." Jennie mendesah lega seraya menggesekkan ujung hidung mereka. "Akhirnya aku bisa melihat senyum ini lagi."
.
.
.
*THEEND*