bab 2a -Pemuda itu, Tora

643 21 0
                                    

Uap panas menyeruak dari gelas yang berisi coklat panas di tangan Emil dan nenek Ema. Beberapa kali Emil mengibaskan tangannya karena tanpa sengaja menyentuh permukaan gelas yang panas. Hujan dan udara sore yang dingin membuat coklat panas itu terasa lebih nikmat.

Sementara itu di jendela pemuda yang datang bersama nenek Ema kemarin juga memegang segelas coklat panas. Sambil duduk di balkon jendela dia menerawang keluar menatap hujan yang membasahi dedaunan tanaman ibu Emil. Sesekali dia meminum coklat panas itu sambil terus melihat kea rah hujan.

“Tora!” panggil nenek Ema kepada pemuda itu. “kenapa kau tidak bergabung bersamaku dan Emil. Di sini jauh lebih hangat.” Pemuda itu hanya menggeleng pelan dan kembali menatap hujan sore itu.

Emil mendengus pelan. Wajahnya menampakkan keengganannya terhadap pemuda itu. Sudah lewat sehari tapi dia baru tahu nama pemuda itu sore ini. Bukannya Emil tidak mencoba bicara, tapi pemuda itu tak pernah bicara padanya. Yang dia lakukan hanya mengangguk atau menggeleng untuk setiap jawaban.

“Dia sombong” Emil mendesis pelan. Nenek Ema tersenyum. Dibelainya rambut Emil yang dibiarkan tergerai. Hujan sore itu membuat rambutnya sedikit berminyak.

“Dia hanya tak terbiasa di sini. Dia mungkin merasa rindu dengan rumah kami.” Tukas nenek Ema.

Emil mendengus sambil menatap Tora, pemuda itu. Pikirannya mulai membayangkan rumah nenek Ema. Seperti apa rumah nenek yang begitu dirindukan oleh pemuda itu. Apakah jalanan di sana ramai pula seperti jalanan di depan rumah Emil? Apakah disana banyak gua-gua tersembunyi untuk berpetualang bagi Tora? Seribu pertanyaan terbayang di pikiran Emil sampai membuat dahinya berkerut.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya nenek Ema.

Emil memandang nenek Ema.”seperti apa rumah nenek?”

“Rumahku…”tampak nenek Ema berpikir sejenak. “Rumahku adalah rumah kuno yang sudah berdiri sejak jaman kakekku. Tapi itu adalah rumah yang menyenangkan. Rumah itu begitu ramai suatu waktu. Kami punya ladang yang hasilnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dekat dengan rumahku terdapat hutan yang di pinggirnya berdiri sebuah rumah pohon.”

“Rumah pohon? Besarkah? Apa yang nenek lakukan disana?”

“Dulu, aku dan nenekmu sering bermain di sana. Tapi sekarang itumenjadi tempat favorit Tora kukira.”

Emil kembali merengut mendengar nama Tora kembali disebut. Bahkan dia sedikit iri akan kesenangan yang Tora dapat. Nenek Ema dapat merasakannya dan tergelak tertahan.

“Kau bisa datang dan bermain di rumah pohon itu. Merasakan apa yang dulu kurasakan bersama Eni”      

Emil dan Negeri di Balik PintuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang