Sebuah taxi kuning berhenti di pinggiran jalan yang mulai sepi, sesosok pria muda turun dari sana dengan lunglai. Tangannya menyeret sebuah koper sebelum merogoh saku, menyerahkan beberapa lembar dollar pada sang supir sebelum kendaraan itu melaju pergi.
Kim Taehyung melanjutkan langkahnya, berhenti saat emerald pria tersebut menangkap sebuah bangunan tua berlantai dua. Tempat tinggalnya yang baru, yah.. jika tempat ini bahkan layak untuk disebut sebagai tempat tinggal.
Seorang pria berkulit hitam dengan rambut kriting menyambutnya di meja resepsionis, wajahnya tak tampak ramah. Namun itu bukan urusannya, ia memilih apartemen tua ini bukan untuk beramah tamah dengan sang pemilik, Taehyung hanya butuh domisili murah yang dekat dari kantornya.
"Mr. Kim?"
Taehyung hanya mengangguk sekali, dan pria dengan sepuntung tembakau yang terselip di sela bibir yang menghitam itu menyerahkan kunci kamarnya. Tak ada ucapan basa basi atau apapun, ia bersyukur, pemilik apartemen yang ramah dan gemar berbasa-basi itu merepotkan.
Segala hal tentang apartemen inu hanya memberi kesan 'bobrok' pada Taehyung, pria Korea itu bahkan tak terkejut saat tak mendapati lift dan malah menemukan tangga kayu disana.
207
Ia harus menunduk dan memastikan lagi nomor yang tertera di pintu, menyamakannya dengan nomor ruangan yang tertera di gantungan kunci kamarnya. Bagus, ia menemukannya.
Mungkin Taehyung tak berekspektasi tinggi untuk kamar apartemen yang bahkan hanya seharga dua ratus dollar perminggu tersebut, ia hanya berharap setidaknya tak ada bekas gigitan tikus di ranjangnya.
Namun nyatanya segala hal terjadi di luar ekspektasi. Ruangan yang menanti Taehyung di balik pintu yang catnya telah pudar itu benar-benar bersih. Berbanding terbalik dengan kondisi luar apartemen ini, ruangannya bersih dan nyaman. Sebuah jendela yang terdapat di ruang tengah memastikan si pemuda takkan kekurangan asupan Mentari pagi.
Diantara segala hal yang dilalui Taehyung hari ini, menemukan apartemen murah dengan kondisi nyaman seperti ini terasa seperti sebuah jackpot. Tubuhnya sudah terasa remuk, menghabiskan 8 jam penerbangan dari Berlin ke New York benar-benar menguras tenaganya.
Saat ini tak ada yang lebih dibutuhkan Taehyung selain bantal dan kasur.
♠lucid♠"Yo, man! Jadi, hari pertama di New York. Sebaik Berlin?"
Pria yang tengah menyesap americano hanya berdehem, menatap lurus layar komputernya sekalipun pandangan wajah excited rekan bermata biru dengan paras western itu tertuju padanya.
Taehyung menyerah, ia beralih menatap Vernon. Tangannya bermain di atas keyboard, merefresh layarnya sebelum menekan tombol shutdown saat menyadari waktu telah menunjukkan pukul 19.15.
"Tak jauh berbeda dari Berlin, hanya saja wanita New York lebih 'panas' if you know what I mean"
Ia mulai membereskan barang-barang nya, melihat Taehyung membuat Vernon bergegas mengikuti langkahnya. "Jadi, ada rencana malam ini?". Kim menggumam pelan, berpikir sebentar setelah tangannya mengancingkan ransel yang telah beres.
Ia mengendikkan bahu. "Nothing special, mencoba night club New York?"
Vernon mengangguk setuju. "Sounds good". Keduanya menyusuri koridor kantor yang mulai sepi, beberapa karyawan lain telah pulang lebih dulu. Hingga keduanya memasuki lift, Vernon termenung. Seolah tersadar akan sesuatu ia menatap Taehyung.
KAMU SEDANG MEMBACA
♪ Livin' La Vida Loca [END]
FanfictionShe's in to superstition, seperti sebuah urban legend, seperti sebuah khayalan. Wanita itu adalah sosok semu yang melegenda, berjalan dibawah jejak rembulan. Meninggalkan cerita-cerita penuh gairah yang menjadi omongan semata... Taehyung bertemu wa...