1. YANAN

58 7 0
                                    

1999

Seorang pemuda tampan terlihat sedang menundukkan kepalanya. Ia terlihat sesekali menggosok telinganya hingga memerah karena panas mendengar omelan sang Mama. Sudah terhitung 1 jam lamanya beliau berbicara tanpa henti mengenai masalah nilainya yang selalu buruk. Kalimat yang diucapkan Mamanya selalu diulang-ulang. Membuatnya ingin makan paku saja saat itu.

Pemuda itu — sebut saja namanya Anan Firdaus, atau biasa dipanggil Yanan — hanya menangguk patuh dan mengatakan akan belajar lebih giat. Tapi nyatanya, hari ini nilai ulangan matematikannya jeblok —  lagi. Ketika mengetahui anak semata wayangnya mendapatkan nilai bergambar bulat besar seperti telur naga, sontak Mamanya mengambil spidol dan mencoret jidat Yanan seperti angka dalam ulangannya.

"Anan udah usaha, Ma. Swerr!" Yanan meyakinkan jika dirinya telah semalaman belajar matematika untuk hari ini. Terjaga sepanjang malam untuk menghafal semua rumus dan entah mengapa ketika ulangan berlangsung otaknya sulit untuk mengingat semuanya.

Mamanya mengatur nafas, mencoba lebih bersabar dan mengontrol emosinya. Karena jika tidak, anaknya itu bisa saja tertelan oleh dirinya karena terlalu kesal. Maklum, Mamanya Yanan adalah atlet Bambu Gila di Shanghai saat remaja.

"Selalu begitu! Ngomongnya udah usaha tapi nilai jeblok mulu! Mama udah muak sama angka jeblok kamu, Anan Firdaus!" Suara cemprengnya beradu dengan spidol yang dipukul ke meja beberapa kali setiap berbicara. "Pinter dikit kenapa, sih!" Yanan hanya mengangguk mengiyakan saja apa yang Mamanya katakan.

"Kamu harusnya belajar labih niat! Pakai otak!"

"Iya, Ma," Yanan menelan ludah getir.

"Kalo gurunya lagi ngejelasin, dengerin!"

"Iya, Ma,"

"Yaudah kalo gitu kamu mondok aja!"

"Iya, Ma,— Eh? Nggak mau!"

Flashback

"Pa, gawat!!!" seorang wanita berumur 40 tahun tengah lari tergopoh-gopoh sambil menyincingkan dasternya. Air mukanya sudah memerah bak tokoh kikir di film kartun Spongebob Squarepants.

"Gawat kenapa sih, Ma?" tanya suaminya yang tengah duduk santai membaca laporan index saham perusahaan olahan Bambu miliknya.

"Lihat, ini! Hasil balas budi anak Papa yang Papa banggakan sampai setinggi Gunung Sorak!" wanita itu menyodorkan kertas yang sudah menjadi korban peremasannya.

"Hah!!! Nol lagi???" jawab Sang Suami tak kalah shocked.

"Iya. Masih nggak percaya sama Mama? Tu anak kerjaannya main mulu! Belajar nggak pernah bener!" hidung perempuan itu mpot-mpotan.

"Kalau kaya gini, kita masukin aja Yanan ke Pondok Pesantren! Udah nggak bisa dibilangin lagi rupanya anak itu."

"Eihh? Pondok Pesantren mana, Pa?"tanya sang istri.

"Papa punya temen orang alim dan beliau punya Pondok Pesantren di daerah Serang, Banten." jawab sang suami sambil membolak-balik halaman kuning, dan berhenti di nama "Haji Siwon Sueb".

"Jauh banget di Serang?" tanya Sang Istri mulai ragu. Memang labil sekali orang Bekasi ini.

"Demi kebaikan anak kita, Ma. Mama mau marah-marah terus kalau Yanan nggak ada perkembangan juga? Nggak kan?" tanya Sang Suami sambil nyeruput kopi luwaknya yang hampir dingin karena diterpa debur-debur cipratan ludah kemarahan Sang Istri. Jijik memang. Tapi Cinta.

"Yaudah, mau gimana lagi. Tapi kalau Mama kangen gimana, Pa? Kan jauh," rengek Sang Istri.

"Kan ada Wartel. Nanti Mama bel Yanan deh sepuasnya. Jaman udah canggih kok otak nggak canggih."

PENTAGON MASUK PONPES (EDISI RAMADHAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang