1

1 0 0
                                    

“Siapa ya yang lagi pindahan depan rumah?”

Seorang gadis berambut panjang hitam legam beringsut penasaran. Sembunyi mengintip dibalik kelambu ruang tamu. Memicingkan mata pada sosok pemuda jangkung sebayanya yang sedang mengusap peluh. Kepanasan dan kelelahan.

Namanya Dhira. Nadhira Putri Adiwijaya. Siswi kelas 2 SMA. Prestasinya rata-rata. Tapi untuk pelajaran bahasa, nilainya nyaris sempurna.

Mbak Luna mencolek pundak Dhira. Membuatnya terperanjat.

“Duh, Mbak Luna bikin kaget aja.” keluh Dhira sambil mengelus dada.

Mbak Luna, asisten rumah tangga yang sudah menemani keluarga Dhira sejak lama. Namanya memang modern. Tapi, Mbak Luna orang jawa tulen kelahiran Bondowoso.

“Mbak Dhira lagi lihat apa tho?” Mbak Luna ikut celingukan dibalik kelambu. Dhira menggeser posisinya memberi celah.

“Oalah, thole iki wes sampai sini tho! Kok ndak telpon.” Mbak Luna menepuk dahinya. Ia buru-buru memutar kunci pintu, kemudian berlari tergopoh membantu si pemuda jangkung menurunkan barang.

Dhira mengernyit heran. Mbak Luna terlihat menepuk-nepuk bahu si pemuda jangkung. Ia berseru lebih heboh dari biasanya, sambil sesekali mengusap mata. Mbak Luna sering begitu, kalau bicara suka berkaca-kaca.

“Kok akrab, ya?” Makin penasaran, Dhira mendekati Mbak Luna yang sedang menurunkan koper besar. Ia masih ribut berseru dan mengusap mata.

Dhira melirik sekilas pemuda di depannya, yang ternyata sedang menatapnya sambil mengernyit. “Siapa, Mbak?” Dhira menarik lengan Mbak Luna.

“Eh, ini Mbak Dhira kenalin, ponakan Mbak Luna.  Namanya Abimanyu.”

“Oo.. ponakan.” sahut Dhira manggut-manggut sambil tersenyum geli. ”Dhira.” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.

“Abi... Kenapa senyum-senyum? Aneh ya muka saya?” Abi menjabatnya sekilas, makin mengernyit.

“Dengar namanya jadi inget wayang.” jawab Dhira polos sambil tertawa lebar,”Tapi bagus, kok. Bagus ya, Mbak.” tambahnya segera, meminta dukungan Mbak Luna. Baru sadar ia sudah salah sikap di perkenalan pertama.

Abi mendengus. Kemudian menoleh heran, “Kok dipanggil Mbak sih, Budhe?”

“Ee.. Meski budhe umurnya sudah kepala lima, budhe masih berjiwa muda lho, Bi.” Mbak Luna sewot diprotes begitu.

Dhira cekikikan geli melihat Mbak Luna masih bersungut-sungut karena disinggung hal paling sensitif, umur! Mbak Luna mengomel panjang sambil menenteng tas dan menyeret koper. Abi mengikuti di belakangnya, memanggul dua tas besar.

Dhira lamat-lamat memindainya, dari atas ke bawah. Abi itu posturnya jangkung. Mukanya lumayan ganteng. Nyureng saja dia ganteng, apalagi kalau mau senyum sedikit. Dhira mengerucutkan bibirnya sambil menilai-nilai. Tapi, dia bukan tipe Dhira, deh. Dhira menggelengkan kepalanya. Kan, Dhira sukanya yang mirip artis Korea! Dhira mengangguk mantap sambil berjalan masuk ke rumah.

**

“Abi tinggal disini sama kita, Yah?” Dhira melongo mendengar penjelasan ayahnya. Wirawan Adiwijaya, ayah Dhira yang seorang manajer keuangan di perusahaan multinasional itu, tentu tak perlu pikir panjang untuk menampung satu penghuni lagi di rumahnya.

Ada lebih banyak kamar dibanding jumlah orang yang tinggal di rumah besar Dhira. Menjadi anak tunggal yang selama ini kesepian tanpa teman, Dhira senang akhirnya ada yang bisa diajaknya ngobrol di rumah, selain Mbak Luna tentunya.

“Iya. Hari ini si Abi itu juga sekolah sama Dhira. Ayah sudah daftarin minggu lalu.” sahut ayah Dhira sambil lalu. Dhira berbinar-binar mendengarnya. Yes! Dhira punya teman berangkat sekolah juga!

“Ayah kok nggak bilang-bilang, sih, soal Abi mau kesini.” Dhira melahap nasi gorengnya dengan sedikit kesal. Dhira merasa selalu menjadi orang yang paling akhir diberitahu tentang apapun. Ayah sudah mau menjawab, ketika perhatiannya teralihkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut diikat rapi dan busana necis datang tergopoh menarik kursi meja makan.

“Aduh jam berapa ini? Bunda makan dikit aja kali ya, nanti telat lagi. Aduh, tapi nanti lapar kalau makannya sedikit.” sambil menyendok nasi goreng, bunda Dhira masih berusaha merapikan ikatan rambutnya. Andini Adiwijaya, sebagai manajer marketing di perusahaan kenamaan di bidang food  and beverages, bunda Dhira cukup sibuk dengan tumpukan pekerjaan dan janji meeting di sana sini.

“Udah, makan dulu aja, Bun. Nggak telat kok.” sahut Dhira cuek. Sudah terbiasa dengan jadwal padat kedua orang tuanya, Dhira hanya menghela napas melihat ayah dan bundanya pamit berangkat duluan. Dhira nanti diantar sopir, Pak Didin.

***

Pak Didin panik hilir mudik memeriksa mobil sedan putih dengan kap terbuka. Dhira berjalan santai menuju mobilnya sambil mengingat-ingat PR Geografinya semalam. Sepertinya sudah lengkap dikerjakan semua. Apa ada yang belum, ya? Ah, biarin lah! Nanti masih ada jam istirahat sebelum pelajaran Geografi.

Dhira mengalihkan pikirannya pada Abi, teman berangkat sekolahnya pagi ini, selain Pak Didin. Celingukan, Dhira tak menemukan Abi dimanapun.

“Pak Didin lihat Abi?” tanya Dhira pada Pak Didin yang sudah lega selesai membetulkan mesin mobil.

“Tadi bapak pinjemin motor, Neng. Buat berangkat sekolah.”

“Lho? Nggak bareng aja sama Dhira naik mobil? Memangnya Abi tahu jalan, Pak? Kan baru datang dari Bondowoso?” Pupus sudah harapan Dhira punya teman ngobrol sepanjang perjalanan.

“Mas Abi mah udah lama tinggal di Jakarta sini, Neng. Tahu dia jalanan sini.” jawab Pak Didin sambil menahan pintu mobil untuk Dhira. Dhira merengut masuk mobil. Jadi, siapa sih si Abimanyu ini? Kenapa Pak Didin aja tahu, Dhira enggak?

Pak Didin menyalakan mobil dengan gemas, “Duh, kenapa lagi yeuh?” keluhnya. “Kenapa, Pak?” kepala Dhira muncul di celah kursi, penasaran.

“Ngadat, Neng. Udah bapak benerin tadi, eeh... kok ngadat lagi.” Pak Didin masih berusaha menyalakan mesin mobil, yang tak kunjung bereaksi meski berkali-kali dicoba. Tepat saat Pak Didin putus asa, motor bebek jadulnya memasuki halaman luas rumah Dhira. Motor itu melaju pelan kemudian berhenti disamping mobil.

“Bareng aja. Nanti telat.” sahut Abi menjawab muka Dhira yang melongo di jendela mobil.

“Bukannya udah berangkat dari tadi?” tanya Dhira ingin tahu.

“Enggak. Beli bensin aja sekitar sini.” jawab Abi datar.

“Kok nggak langsung aja habis beli bensin? Tahu mobil aku mogok dari mana?” kerut di dahi Dhira masih berlipat.

“Jadi bareng, nggak?” Abi sudah tidak sabar menanggapi pertanyaan Dhira.

“Eh, iya iya bareng. Aku bareng Abi aja ya, Pak Didin.” Dhira meloncat cepat turun dari mobil. Ia segera naik di boncengan motor. Abi menyerahkan helm pada Dhira.

“Eh? Udah bawa helm dua juga?”

“Mau pake, nggak?” Abi makin nggak sabar. Dhira buru-buru mengambil helm di tangan Abi.

“Neng, nggak naik taksi aja? Nanti bapak bilang apa atuh ke Pak Wira.” Pak Didin gelisah melihat Dhira akan berangkat sekolah menaiki motor butut miliknya.

“Udah, nanti Dhira aja yang bilang ke ayah. Nggak apa-apa. Jangan kuatir, oke Pak?” Dhira mengacungkan jempolnya ke arah Pak Didin.

“Oke deh, Neng.” sahut Pak Didin pasrah sambil mengangkat jempolnya lemah, membalas jempol Dhira.

Abi mengangguk pada Pak Didin, kemudian segera memacu motornya menuju sekolah. Ini pertama kalinya Dhira naik motor ke sekolah. Tak hentinya Dhira tersenyum lebar menikmati angin yang mengibaskan rambut panjangnya.

“Jangan cengar cengir. Pegangan!” suara Abi mengagetkan Dhira yang sedang menikmati segarnya hembusan angin pagi. Buru-buru Dhira mencengkeram jaket Abi.

“Bukan disitu pegangnya. Di motor aja.” perintah Abi lagi.

Dhira melepaskan tangannya dengan kesal, berganti memegang jok motor. Mukanya sudah ditekuk, memelototi punggung Abi. Dih, galak amat!

Sepanjang perjalanan, Dhira jadi memikirkan Abi, penasaran. Siapa sih cowok ini sebenarnya?

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang