Kurukshetra

626 52 66
                                    

Hashirama gelisah, tidurnya tidak tenang. Ia berguling-guling resah di atas amben. Tubuhnya lara, sendi-sendi mati rasa, tulang belulang serasa melekat tanpa otot sebagai penyangga.

Hidup segan, mati tak mau.

Itulah yang saat ini tengah dirasakan raja dari Konohastinapura. Raja yang biasa dipanggil Santanu oleh rakyatnya.

Hashirama merintih, sakit. Lara kian mendera. Jantung berdegap seolah bisa meledak kapan saja. Ia merasa ada yang luang di hatinya.

Lowong, menyisakan lubang sebesar kuku kelingking. Perih. Sakitnya tiada kira.

Batin bertanya ...,

Apa? Mengapa? Bagaimana bisa?

Hashirama mengepalkan telapak, parasnya mengeras, gigi geligi menggerus satu sama lain. Ia mengerang. Lalu, memejam rapat, tidak memperbolehkan cahaya bulan menyinarinya.

Seorang dewasa itu berusaha meyakinkan diri.

Ini mimpi atau asli.

Pikirannya menggembara, melewati masa-masa tegang, melompati batu sandungan, walau akhirnya terantuk menuju jurang.

Batin sang Raja berperang. Ia gamang. Akankah harus berhenti atau melanjutkan? Membiarkan atau menghentikan?

Sebagai seorang pemimpin, Hashirama sungguh malu kepada arwah nenek moyang, kepada leluhur, kepada Pencipta. Mengapa selemah ini ia menghadapi wanita?

Lemas, sang Raja mulai bangkit. Sakit di dada ia lupakan, nyeri jantung lantaran terus berdetak keras diabaikan. Hashirama memaksakan diri berjalan.

Pedang tergenggam. Tak peduli akankah menjadi senjata mematikan, atau malah senjata makan tuan. Jikalau ini memang jalan yang harus ditempuhnya, Hashirama rela. Ia rela mati syahid, mati dalam perang melawan kejahatan.

Kejahatan harus diberantas, walaupun itu berasal dari seorang Dewi. Seorang wanita terhormat yang seharusnya dilindungi.

Kejahatan pun harus dihancurkan, lanyak habis sampai menyatu dengan tanah, meskipun kejahatan itu berasal dari istrinya sendiri.

Tulang rusuk yang seyogianya disayangi. Cahaya mata yang harus dicintai sepenuh hati.

Hashirama teguh pada tekad. Cinta tak akan membutakannya. Cinta tak akan menjadikannya lemah. Maka, dengan prinsip yang terpegang erat, Hashirama sedia berkorban. Merelakan perasaan pribadi demi kerajaannya.

Hashirama melangkah mantap, tanpa ragu, tanpa bimbang. Resah hati yang tadi bersemayam telah hilang, yang ada hanya tekad, kemauan untuk terus berjuang.

Kerajaan Konoha diputari dengan tatap saksama. Setiap sudut dibongkar paksa melalui netra. Obor sengaja tak dinyalakan, sang Raja takut gempar jika sampai para dayang memergokinya. Pengawal juga tak ia biarkan ikut, agar target tidak menaruh curiga.

Hashirama merayap dari satu pilar ke pilar lainnya. Sekali lagi lututnya bergetar, namun tak diacuhkan. Jika anggota gerak bawahnya melemah, maka Raja Konoha itu memperkuat organ di bagian atasnya.

Mata itu menjelalat aneh, membiaskan cahaya rembulan yang menimpa Sungai Gangga. Cahaya terangnya mengalahkan seribu lilin yang ada.

Jelitanya tak terbantahkan. Keyakinan mendadak goyah, sumpah yang terucap untuk tidak terjebak lagi dalam cinta ditelan mentah-mentah.

Ibarat air ludah dijilat kembali. Hashirama sadar ia jatuh cinta lagi. Kepada wanita yang sama.

Kepada istrinya, Dewi Gangga, atau bagi sang raja adalah Madara.

SamrajyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang