🍁 Bab Satu

2.3K 131 4
                                    

Seseorang pernah berkata, "Perbaikilah shalatmu maka Allah akan perbaiki hidupmu."

Karena Shalat itu adalah tiang agama, pondasi awal untuk membangun iman dan taqwa di hati seorang muslim.

Nayla masih sangat ingat kata-kata yang pernah sang Ayah ucapkan sepuluh tahun yang lalu itu. Derai air mata menghiasi wajah cantiknya.

Kemarin sore, Naufal, adik semata wayangnya mengabari jika Burhan telah berpulang. Nayla yang saat itu masih berada di Bandung untuk menyelesaikan studi nya mendadak meninggalkannya begitu saja dan bertolak ke Kediri.

Selama perjalanan, memori tentang kebersamaannya bersama Burhan terngiang dalam ingatan. Nayla tak pernah menyangka jika Allah menyanyangi Ayahnya secepat ini.

Padahal Nayla sudah berjanji akan mengajak Burhan ke Bandung untuk melihat wisuda nya minggu depan. Tetapi takdir berkata lain. Rencana untuk membahagiakan sang Ayah di hari bahagiannya, Allah tunda.

Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, Nayla bisa bernapas lega akhirnya ia sampai juga. Nayla memang tidak bisa melihat pemakaman sang Ayah karena atas persetujuannya sendiri, kemarin selepas Ashar, Ayahnya langsung di makamkan.

Di stasiun Budhe Ayu sudah menunggu untuk menjemput Nayla. Gadis itu langsung berhambur memeluk Kakak ayahnya.

"Ayah, Budhe..." bisik Nayla pilu.

Ayu yang menahan tangisnya agar tidak pecah, hanya bisa mengusap punggung keponakannya itu. Ayu dapat merasakan bagaimana sedihnya Nayla di tinggalkan orang tersayang dalam keadaan jarak memisahkan.

"Sudah jangan bersedih, sepanjang jalan kamu pasti memikirkan Almarhum ayahmu, sekarang budhe antar kamu ke rumah."

Tubuh Nayla yang memang sudah lelah tidak bisa memberontak lagi untuk memaksa ke makam Sang Ayah. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.

Setibanya di rumah, Naufal menyambut Nayla dengan sebuah senyuman. Teringat akan pesan sang Ayah sebelum meninggal dunia, jika nanti Nayla tahu akan keadaan sang ayah sebisa mungkin Naufal menahan tangisnya.

Gadis itu segera menubruk Naufal dengan sebuah pelukan rindu. Hampir enam bulan lamanya Nayla tidak bertemu dengan adik lelaki nya ini.

"Kamu apa kabar dek?" tanya Nayla seraya mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Melihat Naufal yang mampu tegar membuat hati Nayla mencolos.

"Alhamdulillah baik Mbak. Kabar Mbak sendiri bagaimana?"

Nayla tersenyum, "Alhamdulillah Mbak baik."

Setelahnya mereka hanya saling diam. Budhe dan Pakde yang menjemput Nayla pamit ke rumah dulu untuk menyimpan mobil. Sehingga saat ini rumah terasa sangat sepi dan hampa. Baik Naufal maupun Nayla tak ada yang ingin memulai membicarakan tentang ayah mereka.

Hingga tak lama kemudian, tangis Nayla kembali pecah. Naufal yang tak tega melihat Nayla menangis langsung memeluk kakaknya itu.

"Mbak, ikhlas ya ... Naufal tau Mbak pasti sedih, tapi Ayah akan lebih sedih kalau Mbak belum ikhlas."

Tak ada jawaban dari bibir Nayla selain isak tangis. Baju koko Naufal sudah basah oleh air mata sang kakak, hingga Nayla bisa mengontrol dirinya sendiri, barulah Naufal tak mendengar isak pilu sang kakak.

"Mbak nyesel saat kepergian Ayah, Mbak nggak ada di sampingnya. Seharusnya waktu Ayah bilang pengen ketemu, Mbak langsung pulang."

Naufal menepuk bahu Nayla pelan lalu tangannya mengusap wajah yang basah oleh air mata itu.

"Jangan menyesali ketetapannya, Mbak. Allah sudah merancang semuanya. Ayah meninggal dalam kondisi apa dan bersama siapa itu sudah ada dalam takdirnya."

Menanti dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang