4

14 1 0
                                    

Hari itu Nasibah tengah berada di dapur.Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh.Nasibah menebak, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud. Dengan bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya. “Suamikutersayang,” Nasibah berkata, “aku mendengar suara aneh menuju UhudBarang kali orang-orang kafir telah menyerang.” Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengarsuara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah menghampiri. Iamenyodorkan sebilah pedang kepada Said. “Suamiku, bawalah pedang iniJangan pulang sebelum menang….” Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginyauntuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yanglain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said saja. Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya,Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saadyang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemasKetika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup. “Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…” Nasibah tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.” Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?” Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar. “Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.” Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasihIbu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.” Putra Nasibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.” Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati,Amar. Allah memberkatimu….” Hari itu pertempuran berlalu cepatPertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam berangkat dari perkemahan mereka meunuju ke rumah NasibahSetibanya di sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”Utusan itu menunduk sedih, “Betul….” “Inna lillah….” Nasibah bergumam kecil. Ia menangis. “Kau berduka, ya Ummu Amar?” Nasibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan? Saad masih kanak-kanak.” Mendegar itu, Saad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jikaengkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.” Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?” Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggelengyakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nasibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan itu. Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!” Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah. Mendengar berita kematian itu, Nasibah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,”ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.” Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkauperempuan, ya Ibu….” Nasibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?” Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja menghadap Rasulullah dengan kuda yang ada. Tiba di sanaRasulullah mendengarkan semua perkataan Nasibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum. “Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkansaja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.” Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nasibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Padasuatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya. Ia menegokKepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir. Timbul kemarahan Nasibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh, Nasibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengangagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yangterbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbangHingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kudaPeperangan terus saja berjalan. Medan pertempuran makin menjauh,sehingga Nasibah teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’udmengenalinya, “Istri Said-kah engkau?” Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?” “Beliau tidak kurang suatu apapun…” “Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….” “Engkau masih luka parahNasibah….” “Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?” Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nasibahmenaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntungakhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya. Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderangPertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada parasahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nasibah, wanita yang perkasa.” Subhanallahwalhamdulillah walaailaahaillallah wallahuakbar,. Walaa haula walaa quwwata illa billah Al aliyyi al 'adzim,.

kisah teladan islamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang