Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. sambil betkata : “Ya, Rasulullah! Saya datang untuk melakukan bai’at berhijrah, dengan meninggalkan kedua orang tua saya yang menangisi kepergian saya.” Rasulullah saw. pun menjawabnya : “kembalilah kepada kedua orang tuamu itu. Gembirakanlah mereka sebagaimana engkau telah bikin mereka menangis.
Suatu kali, ada yang bertanya : “Ya, Rasulullah! Saya ingin sekali berjihad, tetapi saya tidak mampu.” Rasulullah menjawab : “Apa masih ada salah seorang dari orang tuamu?” “Ya,” sahut orang itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Jumpailah Allah swt dengan berbakti pada orang tuamu. Apabila engkau telah melakukannya, maka samalah dengan engkau telah berhaji, berumrah dan berjihad.”
2. Suatu hari Baginda Nabi sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya menunggu saat shalat tiba. Sahabatnya yang baru saja pulang dari pesta makan daging. Maka terciumlah bau yang kurang sedap dalam majelis itu. Rasulullah menyadari bahwa bau-bauan itu disebabkan oleh uap napas seseorang akibat makan daging yg berlebihan. Rasulullah juga menyadari bahwa orang yang bersangkutan ada dalam kedudukan sulit sekali. Mereka tentulah sudah berwudhu semua. Karena sebentar lagi akan shalat berjamaah. Kalau orang yang berbau kurang sedap itu beranjak seorang diri pergi berwudhu’, ketahuanlah dia sumber bau kurang sedap itu. Tentu dia bisa jadi malu dan gelisah. Beliau menginginkan pelaku yang sebenarnya merasakan pahit getir kesalahannya itu, tanpa diketahui oleh banyak orang.
Rasulullah saw. melepaskan pandangannya kepada semua yang hadir, seraya memerintahkan : “Siapa yang makan daging tadi hendaknya berwudhu!” Semuanya telah memakan daging ya, Rasulullah!, jawab para sahabat. Lalu beliau bersabda : “Kalau begitu, berwudhulah kalian semua.”
Mereka bangkit semua pergi berwudhu. Termasuk orang yang merupakan sumber datangnya bau kurang sedap itu. Orang ini telah diselamatkan air mukanya dari rasa malu, berkat kecerdikan dan kelambutan Rasulullah saw.
(Demikianlah keluhuran budi pekerti Nabi Muhammad saw. memperhitungkan tindakan sampai sekecil-kecilnya pun agar tidak melukai perasaan orang dan kehormatan orang lain).
3. Pada suatu waktu Rasulullah saw. sedang tidur-tiduran di rumahnya melepas rasa lelah. Dia berbaring di atas tikar yang terbuat dari daun-daun tamar yang dianyam. Tiba-tiba seorang sahabatnya yang bernama Ibnu Mas’ud datang berkunjung. Oleh karena Rasulullah saw waktu itu tidak memakai baju, maka terlihat jelas oleh Ibnu Mas’ud bekas anyaman tikar melekat pada punggung Rasulullah. Melihat peristiwa itu Ibnu Mas’ud amat sedih, dan bendungan air matanya pun pecah berserakan. Sungguh-sungguh tidaklah pantas rasanya seorang Rasul kekasih Allah swt., seorang kepala negara dan seorang panglima tertinggi berhal seperti demikian. Dengan terharu Ibnu Mas’ud berkata : “Ya, Rasulullah! Bolehkah saya membawakan sebuah kasur kemari untuk tuan?” Mendengar ini Rasulullah saw. bersabda : “Apalah artinya kesenangan hidup di dunia ini bagiku. Perumpamaan hidup di dunia ini bagiku tidak ubahnya seperti seorang musafir dalam perjalanan jauh yang singgah berteduh dibawah pohon kayu yang rindang untuk melepaskan rasa lelah. Kemudian dia harus berangkat meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan yang sangat jauh tidak berujung.”
4. Dua kali dalam tahun yang sama Rasulullah saw. memperoleh hantaman dukacita yang amat besar. Mula-mula Abi Thalib, yaitu pamanya yang melindunginya dari kebengisan kaum Quraisy, meninggal dunia dalam keadaan masih musyrik. Lalu Siti Khadijah, yaitu istrinya yang selalu memberikan dukungan moril dan materil yang amat besar. Tidaklah terperikan rasa dukacita yang menusuk kalbunya! Dalam keadaan demikian itu, perlakuan kaum Quraisy terhadapnya semakin menggila. Pernah suatu waktu mereka menyiramkan tanah keatas kepala Rasulullah saw., namun Rasulullah tetap tabah. Akhirnya karena perlakuan kaum Quraisy semakin brutal, Muhammad saw. pergi ke Ta’if dengan harapan semoga masyarakat disana mau mendukungnya. Namun ternyata orang-orang di Ta’if memperlakukannya seperti kepada bukan manusia saja layaknya. Ia di caci maki, di ludahi, serta dilempari batu dan besi sehingga beberapa bagian tubuhnya tidak hanya menjadi memar, tetapi terluka dan mencucurkan darah.
Secepatnya Nabi pergi dari sana, berlindung di sebuah kebun anggur kepunyaan anak-anak Rabia, yaitu Utba dan Syaiba. Disana Beliau berdo’a dengan khusuk :
Allahumma Ya Allah.
Kepada Engkau juga aku mengadukan kelemahanku,
kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di depan manusia.Oh, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah dan
Engkaulah pelindungku.Kepada siapa hendak Kau serahkan diriku?
Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku?
Ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidaklah perduli
Sebab sungguh luas kenikmatan yang Kau limpahkan kepadaku.
Aku berlindung kepada Nur wajah Engkau yang menyinari kegelapan
(dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat)
dari kemurkaan Engkau yang akan Kau tumpahkan kepadaku.Engkaulah yang berhak menegur dengan berkenan kepada Engkau.
Dan tiada kuasa serta kekuatan selain dengan Engkau juga.(Meskipun dalam kondisi yang amat nelangsa, Baginda Nabi Muhammad saw. dalam do’anya tidak mendendam kepad orang-orang yang menyakitinya!)