00_Sepenggal Kisah Masa Kecil

934 87 14
                                    

"Aku benci hujan di malam hari. Kalo hujan, aku gak bisa melihat bintang. Hujan membuat perasaan sedih sekali. Suaranya bikin takut sendirian," kata gadis kecil itu sedih. "Tapi kata Bunda, hujan bisa menyembunyikan air mata."

Besok-besok, aku pasti akan terkenang kebersamaan ini setiap kali hujan turun. Karena, rasanya aku memahami perasaan anak itu, aku jadi membenci hujan juga.

Pertemuan pertama kami adalah ketika aku kabur dari rumah. Aku menemukannya duduk meringkuk di sebuah halte saat hujan lebat. Tahu-tahu saja dia duduk di sampingku sambil mengisahkan tempat tinggalnya yang menakjubkan dengan suara riang. Katanya, dia memiliki banyak saudara dan teman.

Waktu itu aku bertanya-tanya, apakah ada rumah sehebat itu?

Menurutku, itu terdengar mustahil. Aku memiliki rumah seperti istana. Tapi, di rumah, aku hanya ditemani pelayan dan kakak yang kadang-kadang mengunjungiku. Papa dan Mama tidak henti-hentinya bertengkar. Tempat yang membuatku nyaman hanya di dalam kamar.

Bisa jadi rasa penasaran yang membawaku ikut pulang bersama anak itu ketika ada yang datang menjemputnya. Aku beneran ingin melihat wujud rumah yang ditinggali anak itu.

Apa yang dia ceritakan, semuanya apa adanya. Tentang halaman yang luas, rumah pohon, dan taman bermain kecil. Semuanya terlihat seperti surga, sampai aku melihat papan itu. Papan penunjuk yang menjelaskan sebutan pantas untuk tempat tinggal anak itu. Sungguh ironis memang. Sangat jauh dari ekspektasiku menyadari dimana aku berakhir. Panti Asuhan.

Aku bisa saja pergi tapi tidak ingin. Entah kenapa, ada sesuatu dari anak itu yang buat aku tidak bisa meninggalkannya. Meskipun dia menjengkelkan, cerewet, dan usil, tapi aku tidak bisa meninggalkannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ada seseorang yang peduli dan menganggapku penting. Dan itu dia.

Dia tidak pernah protes ketika aku mengabaikannya, juga tidak ngeluh ketika aku bertindak kasar. Dia hanya selalu memberiku senyum.

Namun kedamaian yang aku rasa tidak berlangsung lama. Suatu malam, aku dipanggil oleh penanggung jawab kami. Di panti, aku dikenal sebagai pengacau sejati. Penyendiri yang sebaiknya dihindari. Aku tidak takut terhadap apapun, kecuali Bunda Dewi. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir akan dikeluarkan dari tempat ini.

Oleh Bunda Dewi, aku diberi tahu bahwa beliau telah mendapatkan informasi tentang orang tuaku. Aku paham betul, informasi yang beliau dapatkan bukan karena orangtuaku benar-benar ingin menemukanku.

Aku tahu kerasnya usaha Bunda Dewi untuk menemukan keluarga biologis kami. Dari memasang iklan di koran sampai ke kantor polisi untuk menanyakan data anak hilang. Jika tidak menemukannnya, Beliau berupaya mencarikan orang tua asuh terbaik.

Aku menggeleng menolak ide untuk kembali.

"Juga, kemarin, ada orang tua yang tertarik mengadopsi dia. Ini kesempatan bagus untuknya."

Aku mengerti betul, siapa 'dia' yang dimaksud. Aku tidak betul-betul tahu namanya, orang-orang memanggilnya Bintang karena dia senang melihat bintang. Menurutku dia memang seperti bintang yang bersinar.

"Kalian tidak bisa bersama-sama selamanya di sini," Bunda Dewi menjelaskan dengan sedih. "Tidak mudah bagi anak berusia delapan tahun mendapatkan kesempatan ini. Bunda ingin kamu mengerti. Ini demi kebaikan kalian."

Aku mengepalkan tangan menahan ketakutanku.

"Bunda tidak keberatan jika kamu ingin di sini, tapi orang tuamu bisa datang sewaktu-waktu dan memaksa kamu pulang. Sementara dia mungkin telah kehilangan kesempatan mendapatkan orang tua barunya," bujuk Bunda Dewi lagi.

Aku bisa menyakinkan orang tuaku untuk sekalian mengambil Bintang sebagai syarat agar aku ikut mereka.

Seperti mengerti apa yang aku pikirkan, Bunda Dewi menggeleng. Dia sama yakinnya denganku bahwa itu mustahil.

Ini tidak adil. Aku menatap Bunda Dewi penuh amarah sebelum berlari sepanjang koridor sambil meraung seperti orang gila, membuat semua orang terbangun.

Aku menemukan dia di antara anak-anak yang menatapku penasaran. Aku langsung menariknya ke luar rumah. Tidak peduli pada Para Pengasuh yang mengejar kami.

"Ayo hidup sama-sama."

Dia berhenti dan menatapku terkejut. Aku menyesal karena selama ini selalu mengabaikannya. Banyak sekali yang ingin aku sampaikan padanya. Aku malah selalu memperlihatkan sisi kasar diriku. Andai waktu bisa kembali, aku ingin kembali menebus semuanya.

Dia terlihat bingung lalu teringat sesuatu. "Kita harus kembali. Kata Bunda, besok aku akan punya Papa-Mama."

Apakah menurutnya orang tua begitu penting dibanding aku?

"Apakah kamu bener-bener menginginkan orang tua?" tanyaku was-was.

Dia mengangguk tegas membuatku terpukul.

"Begitu ya?" Kataku lemas. Karena itu membuatnya bahagia, aku harus melepaskannya. "Maaf."

"Kak."

Aku melepaskan kalung pemberian kakakku padanya. Benda yang paling berharga buatku lalu mengalungkan di lehernya. "Kalo hujan, berjanjilah untuk gak takut."

Dia mengangguk.

Aku menghela nafas antara lega dan kesal. "Kalo gitu, kamu gak butuh aku lagi." kataku dingin sambil melepaskan genggaman tanganku darinya. "Pergilah."

"Bintang janji jadi anak baik," rengeknya pelan.

Dia orang yang kukenal paling keras kepala, makanya aku harus membuatnya membenciku. "Jangan ganggu lagi," bentakku sambil mendorongnya keras lalu melarikan diri sekencang-kencangnya.

Di belakangku, aku mendengarnya menjerit. Silau lampu mobil dan ekspresi kengerian yang terpencar di wajahnya membuat aku membatu.

Yang kupikirkan adalah inikah akhirnya?

=TBC=

Ini cerita beheula yang kuputuskan untuk dipublish di sini.

Semoga ada yang suka deh.

-Love U All-
-See you-
(05/05/2018)

BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang