Bab 2 | Pesona Om Arlan

55.7K 2.2K 94
                                    

"Om kamu pakai jaket kulit warna cokelat ya, Gre," pesan omanya sebelum pergi setengah jam yang lalu. Karena ada janji dengan klien pentingnya. Meninggalkan Greta, dengan sebuah kertas bertuliskan nama, "ARLAN AGASTYA SYARIF".

Tanpa foto, tanpa ciri-ciri. Padahal Greta sendiri sudah lupa bagaimana wajah om Arlan ini.

Dulu Greta tinggal di Bandung, dan orang tuanya jarang sekali mengajaknya menjenguk oma di Jakarta. Sekalinya dia ikut, pasti Arlan ini tidak pernah ada di rumah.

Seingat Greta, om Arlan kuliah di Jogja untuk mengambil gelar S1-nya. Dan mendapatkan beasiswa untuk S2-nya di Australia. Jadi, sepanjang Greta masih bisa mengingat hanya satu hal yang ia ingat dari Arlan. Dia itu berpostur tubuh gemuk. Greta terakhir bertemu Arlan, sekitar lima atau enam tahun yang lalu.

Seingatnya, Arlan adalah orang yang tertutup dan pendiam. Dulu dia sering marah setiap kali Greta mendekatinya. Dan Greta punya julukan untuk adik bundanya yang satu ini. Om gendut yang kaku.

Dan waktu orang tua Greta meninggal dua tahun yang lalu, Arlan tidak pulang karena baru saja terbang ke Australia. Jadi wajar kan kalau Greta benar-benar lupa bagaimana wajah Arlan? Dan dengan kejamnya, oma kesayangannya itu menyuruh Greta menjemput Arlan di bandara hanya berbekal kertas dan satu kalimat, "jaket kulit warna cokelat".

Mata Greta sudah lelah menatap satu persatu orang dengan jaket kulit warna cokelat, dan berpostur tubuh gemuk. Ya Tuhan, matanya bisa langsung minus tujuh kalau begini caranya. Greta pun menyerah, dia memilih duduk, lalu diangkatnya malas kertas itu dan ia tempelkan di dahinya. Biarlah orang itu yang menghampirinya kalau dia melihat nama yang terpampang di atas kertas.

Greta terus menghitung dalam hati sambil menopang sikunya di atas paha, karena tangannya sudah pegal.

Sampai sebuah langkah kaki bersepatu boots cokelat berjalan tegap ke arahnya. Jeans hitam, kaki ramping. Ah tentu dia bukan omnya. Pandangan Greta mulai merambat naik, jaket kulit cokelat, badan kekar atletis. Oh tidak, jaket cokelatnya benar tapi badan omnya tidak sebagus ini. Dia itu gendut.

Dan tap!
Kaki itu berhenti persis di hadapannya. Dengan gerakan slow motion, kepala Greta mendongak ke atas.

Jleb! Ganteng banget!

Oh God! Pangeran dari mana yang sore-sore gini menghampiri, Greta? Ah, ini pasti mimpi. Greta disamperin sama cowok ganteng. Sumpah! Greta yakin ini mimpi.

"Greta?"

Greta mengangguk pelan mendengar suara merdu itu. Ya Tuhan! Dia kok kenal Greta, ya?

"Kok Mas tahu nama saya?" tanya Greta linglung.

Laki-laki itu mengambil kertas yang Greta pegang.

"Masih ingat mau jemput siapa?"

Greta lagi-lagi mengangguk.
"Om Arlan, tapi dari tadi gak dateng-dateng," jawabnya polos.

Laki-laki itu berdecap kesal. "Kamu pikir yang berdiri di depan kamu ini siapa?"

Mata Greta membulat dan dia otomatis berdiri. Matanya mengerjap berkali-kali. Sementara laki-laki di depannya sudah mulai jengah dengan sikap Greta.

"Om Arlan?" tanyanya ragu.

"Sumpah? ini beneran Om Arlan? Kok nggak gendut, si?" gumam Greta pada dirinya sendiri. Lalu memastikan lagi penampilan laki-laki ini.

Sekali lagi, laki-laki itu berdecap kesal. Bisa-bisanya mamanya menyuruh anak aneh begini untuk menjemputnya. Kalau saja rumahnya tidak baru saja pindah, sudah tentu dia memilih untuk pulang sendiri tanpa dijemput.

"Heh! Udah bengongnya?" ketusnya karena Greta masih seperti orang linglung.

"Kita naik apa?"

"Naik taksi, soalnya mobilnya dibawa oma."

"Ya udah tunggu apa lagi, ayo pulang," ketus Arlan lagi yang benar-benar sudah tidak tahan dengan sikap Greta.

Walaupun masih bingung, Greta mengikuti langkah lebar laki-laki yang mengaku Arlan itu. Sungguh, dia masih belum percaya kalau itu Arlan. Om gendut yang kaku.

Kalau kakunya si masih kayak dulu, cuma kalau gendutnya sudah hilang sama sekali. Ah, sepertinya Greta punya julukan baru.

Om gantengku yang kaku.

Kenapa ada rasa tidak rela saat memanggil manusia ganteng ini dengan sebutan om. Dia masih terlalu muda. Karena setahu Greta memang jarak bundanya dan adik laki-lakinya ini cukup jauh. Sekitar empat belas tahunan. Dan lagi bundanya dulu menikah muda. Diumur duapuluh tahun sudah melahirkan Greta. Jadi wajar saja kalau selisih umur Greta dan omnya hanya sedikit, seperti kakak adik malah.

***

Sepanjang perjalanan kedua manusia itu hanya diam. Bagaimana juga mau ngobrol kalau sekarang posisi duduknya saja berjauhan. Arlan memilih duduk di kursi depan, dan Greta duduk di kursi penumpang. Arlan sibuk dengan menyumpal telinganya dengan headset sambil memejamkan mata. Dan Greta memilih memandang ke luar jendela dengan sesekali melirik ke arah Arlan.

"Pak, yang pagarnya warna biru tua, ya!" seru Greta pada supir taksi yang hanya dibalas anggukan. Dan saat itulah Arlan terlihat membuka mata dan melepas headset-nya.

Keduanya turun setelah Greta membayar ongkos taksi yang sudah disiapkan oma tadi. Greta mendorong pagar rumahnya dan melangkah masuk. Arlan mengekor di belakangnya dengan menarik koper miliknya.

"Kamar Om di atas!" seru Greta saat Arlan tampak celingukan. Keduanya naik ke lantai dua rumah itu.

"Ini kamar, Om," lanjut Greta yang mendahului langkah Arlan. Dia tidak mau kalau laki-laki ini salah membuka kamar, karena kebetulan kamar mereka memang berhadapan.

"Yang ini kamar aku, kamar oma di bawah. Katanya capek kalau naik turun," jelas Greta tanpa ditanya.

Arlan hanya menggerdikkan bahu lalu membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam tanpa bersuara.

Greta pun melakukan hal yang sama. Masuk ke kamar dan membersihkan diri. Badannya hari ini terasa sangat lengket.

>>>©©©<<<

Ini visualnya Arlan di kepalaku. Ganteng, ya? 😂😂

Kalau gak sreg, kalian bebas berimajinasi sendiri. Happy reading .... 🤗

 🤗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I LOVE YOU, OM! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang