PROLOG

1 0 0
                                    

Langit malam bertabur bintang, ditemani cahaya lampu kota yang terlihat dikejauhan, menambah indah malam nan dingin di salah satu sudut tempat tinggi di Bandung. Dekapan hangat sang lelaki membuat dinginnya angin yang menusuk kulit tidak dapat mengacaukan keindahan malam itu.

Dengan senyum yang terus terukir di wajahnya, Leticia menatap jauh ke langit sambil menyenderkan kepalanya di pundak sang kekasih.

"Suka?" tanya Irvan lembut sambil mengikuti arah pandang Leticia. Gadis yang berada dalam dekapannya hanya bergumam kecil dan mengangguk. "Nggak dingin?" tanyanya lagi. Kali ini Leticia hanya menggelengkan kepalanya.

"Nggak. Selama ada lengan besar kamu ini, nggak mungkin aku kedinginan," ucap Leticia sambil mencium sayang punggung tangan Irvan, yang dibalas dengan kekehan kecil dan semakin eratnya Irvan membungkus Leticia dalam dekapannya.

"Seandainya kita bisa terus seperti ini," ucap Irvan sambil memejamkan matanya.

Bingung mendengarkan kalimat Irvan, Leticia berusaha untuk melihat wajah kekasihnya namun Irvan tidak membiarkan Leticia bergerak dari dekapannya. Dia mendekap erat Leticia seolah tidak ingin melepaskannya.

"Kenapa ngomong gitu? Jelas saja kita bisa seperti ini terus," ucap Leticia cepat. Dia mengelus sayang lengan besar yang melingkari pundaknya.

"Iya. Tapi kita kan nggak pernah tahu takdir di depan kita."

Leticia siap membuka mulut untuk membantah ucapan Irvan namun laki-laki itu lebih dulu memotong ucapannya. "Aku hanya berharap kita bisa merasakan kebersamaan ini lebih lama."

"Sampai kakek-nenek dan sampai maut memisahkan," ucap Leticia.

Irvan tersenyum dan mencium sayang puncak kepala Leticia. "Iya. Sampai maut memisahkan."

"Sampai kakek-nenek?" tanya Leticia merajuk.

"Iya, sampai kakek-nenek. Sampai rumah kita isinya cucu-cucu dan cicit-cicit yang banyak ya?"

"Iya!" seru Leticia bahagia. Irvan hanya terkekeh geli melihat tingkah laku kekasihnya yang terkadang sangat bersemangat. Di dekapnya erat tubuh Leticia, agar gadis itu tidak terserang dinginnya malam.

ɕ ɞ ɕ

"Bagaimana ini, Bang? Udah lebih dari seminggu, Cia nggak mau keluar dari kamar. Makan pun dia nggak mau," suara penuh kecemasan dari perempuan yang selama dua tahun ini membuat hati Harya teriris pilu, apalagi melihat keadaan adik semata wayangnya yang seperti mayat hidup di sudut tempat tidurnya.

Ingin rasanya dia menangis, namun Harya sadar, tangisannya tidak akan menyelesaikan masalah di dalam rumah ini.

"Kamu udah coba bicara dengan dia lagi?" tanya Harya.

Gladis hanya menggelengkan kepalanya lemah. Mereka kembali memandang raga Leticia yang tampak tidak bernyawa. Harya melingkarkan tangannya di pundak Gladis, mencoba menenangkan hati istrinya, akan tetapi hal itu pun dilakukannya untuk mengurangi kecemasan akan keadaan Leticia.

Sekalipun Gladis berdiri membelakangi suaminya tapi hati kecilnya menyadari arti dari sentuhan Harya. Ditepuknya pelan punggung tangan suaminya, mencoba menyadarkan Harya bahwa dia tidak sendirian. Bagaimana pun juga, Leticia sudah seperti adiknya sendiri. Dan Gladis ingat betul kata orang tua Harya ketika menitipkan Gladis pada mereka.

"Tolong jaga Cia, ya, Nak. Sebenarnya berat bagi kami melepaskan Cia untuk merantai di usianya yang baru tujuh belas tahun. Tapi kami yakin bersama dengan kalian, Cia pasti akan baik-baik saja."

Mengingat pesan itu, perasaan hangat dan sebutir air mata jatuh membasahi pipinya yang putih.

Mau sampai kapan kamu seperti ini, Cia? Batin Gladis bertanya.

ɕ ɞ ɕ

Suara bising dari speaker yang ada di dalam mobil besar milik keluarga Brahmantio menambah semarak malam itu. Sekalipun semua penumpang di mobil itu turun dan menikmati indahnya langit malam tapi semuanya tidak dapat menghilangkan kegundahan dan amarah di dalam hati putri tunggal Brahmantio itu.

Sekalipun teman-temannya sedang berjoged dengan bermodalkan musik dari mobilnya, Patrick Brahmantio hanya memilih duduk di atas kap mobilnya dengan sebotol minuman keras di tangannya.

Di hadapannya Meriana tengah menari dan mencoba menggodanya, namun Patrick terlihat sama sekali tidak tertarik. Dia hanya menatap gadis itu dan kembali menegak minumannya.

Di kepalanya terputar ulang keadaan rumahnya yang cukup kacau. Teriakan Papa dan Mamanya membuat kepalanya terasa hampir pecah. Apalagi melihat Mamanya yang menangis seperti sore tadi benar-benar membuat dirinya tidak tahan.

Tanpa sadar, seluruh emosinya ditampungnya di ujung tangannya, membuat botol minumnya terbanting dan pecah berkeping-keping.

Tepat pada saat itu juga, euphoria teman-temannya berhenti. Mereka terdiam sambil menatap satu dengan yang lainnya dengan bingung.

"Damn!" Patrick menyapu wajahnya dengan kedua tangannya. Tidak dipedulikannya tatapan bingung teman-temannya. Mereka hanya tahu kalau laki-laki ini memiliki masalah tapi tidak ada satu pun yang berani menanyakannya.

Perlahan tapi pasti Meriana mencoba mendekatinya. Sekali pun teman-temannya sudah memasang tatapan peringatan agar tidak mengganggu singa yang sedang marah.

"Pat?"

Dengan tatapan sinisnya, Patrick menatap Meriana dan mendengus kesal sebelum akhirnya dia turun dari kap mobil diiringi gebrakan dan melangkah masuk ke antara tingginya pohon-pohon pinus di sekitar mereka.

"Biarin dia, Na," cegah Tio ketika melihat Meriana sudah mulai melangkah mengikuti arah yang dilalui Patrick.

"Tenang aja, dia nggak akan mungkin menyakitiku."

Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Meriana melangkah mantap menyusuri gagahnya pohon-pohon pinus tersebut.

Jauh dia mencari, pada akhirnya Meriana dapat tersenyum senang karena dapat menemukan Patrick yang sedang menyulut rokoknya di balik salah satu pohon tersebut.

"Patrick," panggil Meriana sambil melangkah mendekatinya.

Patrick menatap sekilas dan membuang wajahnya seketika sambil mengecap rokok di tangannya.

Meriana mengulurkan tangannya menyentuh pundak Patrick. "Ada apa, Pat?" tanyanya sambil meremas pundak Patrick.

"Na, aku pengen sendirian."

"Aku hanya ingin menemani, Pat," ucapnya manja. Meriana mendekati Patrick dan memberikan senyuman mautny.

Merasa dirinya mendapatkan izin untuk melakukan sesuatu yang lebih pada Meriana, Patrick tersenyum licik dan memegang pinggang Meriana.

"Kamu yang mulai, Na."

"Tentu," ucap Meriana dengan bangga.    

LETICIAWhere stories live. Discover now