"Bagaimana keadaannya sekarang, Ka?" tanya Kiana.
Kiana dan Larry baru saja datang ketika Gladis sudah meletakkan nampan berisi makanan di nakas dekat tempat tidur Leticia.
Dengan desahan berat, Gladis pun menggeleng namun senyumannya berusaha untuk terus ditampilkan agar tidak menambah kesedihan dua sahabat Leticia ini.
"Seperti yang kalian duga. Tidak mudah bagi Cia menerima kepergian Irvan seperti ini."
Kiana dan Larry hanya dapat saling bertukar pandang. "Boleh aku ketemu Cia, Ka?" tanya Kiana akhirnya.
Gladis mengangguk senang dan mundur selangkah membiarkan Kiana melewatinya. Tanpa kesulitan mencari tangga ke lantai atas, Kiana pun melangkah setahap demi setahap hingga akhirnya dia tiba di depan pintu kamar Leticia.
Kiana menarik napasnya sebentar. Di belakangnya Larry dan Gladis masih menunggunya untuk segera masuk ke dalam sana.
Dengan harapan untuk dapat menyadarkan sahabatnya ini, Kiana pun memegang gagang pintu itu dan memutarnya.
Di sana, tepat di sudut tempat tidur, dengan kaki yang terlipat dan dipeluk oleh kedua lengannya yang lemah, Kiana mendapati Leticia masih sama seperti seminggu lalu dia menemui gadis itu. Kacau.
Kiana berjalan mendekati tempat tidur Leticia dan menatap wajah sahabatnya yang pucat pasi, bagaikan mayat hidup. Wajah yang membuat hatinya teriris perih melihatnya. Ini bukan Leticia yang dikenalnya.
"Cia? Hai, ini aku Kiana," ucapnya pelan. Kiana duduk di tepi tempat tidur yang langsung berhadapan dengan raga tanpa jiwa itu. Dengan segenap kekuatannya Kiana berusaha menahan tangisnya di tenggorokkan.
"Kau tahu, hari ini Pak Bambang ngadain kuis dadakan di kelas. Aku dan Larry, yak au taulah, seperti biasa kami nggak persiapan dan alhasil nggak ada satu pun yang kami isi. Hehe."
Kiana menahan perasaannya agar tidak meluap dengan perasaan sedih dan perihnya.
"Oh, iya. Teman-teman di kampus juga sudah kangen sama kamu. Setiap hari kami selalu di berondong pertanyaan kapan kamu akan kembali ke kampus. Kelas rasanya sepi, Ci, kalau kamu nggak ada. Nggak ada yang bisa buat Bona berteriak marah karena kamu usilin."
Sekali lagi Kiana tersenyum dan terkekeh kecil mengingat bagaimana Leticia yang dikenalnya sangat periang dan kekanak-kanakan. Semua orang berusaha untuk menghindarinya terutama di saat dia sedang mengantuk.
Tapi respon yang diterimanya masih sama. Tidak ada tawa di sana. Hanya keterdiaman yang dingin yang berhasil menusuk jantungnya dalam dan membuatnya akhirnya tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
"Kami semua kehilangan kamu, Ci. Kami kehilangan semangat dan tawa seorang Leticia," kini suara Kiana mulai bergetar. Berkali-kali Kiana berdehem keras untuk mengurangi sakit tenggorokkannya tapi nihil. Tangisnya kini mulai pecah. Air mata jatuh membasahi wajahnya.
"Aku yakin, di atas sana Irvan pun akan sedih bila melihatmu seperti ini."
"Irvan?" suara yang lemah namun membuat Kiana merasa lega hingga tidak sadar bahwa air matanya mengalir jauh lebih banyak.
"Apa kau lupa janjimu pada Irvan? Kamu sudah berjanji akan melanjutkan hidupmu setelah dia pergi. Kamu bahkan berjanji di depannya untuk tetap tersenyum dan menjadi dirimu sendiri, Ci. Apa kamu lupa?"
"Irvan..." kali ini suara Leticia mulai bergetar, dengan cepat air matanya mengalir membasahi pipinya yang putih.
Angannya membawanya kembali pada saat dia bertemu Irvan untuk terakhir kalinya. Dengan semua suara tangis dan isakan kecil, Leticia masih dapat merasakan bagaimana tangannya menggenggam tangan Irvan yang memutih dan terasa dingin dalam genggamannya.

YOU ARE READING
LETICIA
Roman d'amourKisah perjalanan hidup Leticia tentang menemukan kebahagiaan sejati.