03 - Kaylie

50 18 14
                                    


Bijaklah dalam membaca. Berimajinasilah sesuai dengan yang kalian pikirkan dan jangan kaitkan hal-hal di dalam cerita saya dengan hal-hal di luar sana. Karena segala kejadian yang ada di cerita ini hanyalah
FIKTIF BELAKA!

Namaku Kaylie Halim, umur 19 tahun. Aku memiliki seorang adik bernama Kris Halim berumur 8 tahun yang amat persis dengan paras Papa, berambut dan bermata hitam legam lalu memiliki mata yang agak menyipit. Kalau Mama? Jelas, wajah blasteran juga surai cokelat terangnya berada pada diriku. Bahkan orang-orang sekitar menganggap kami adalah kakak-beradik, bukan ibu dan anak.

Sebagai seorang remaja perempuan pada umumnya, aku ini sangat menggilai idola pria dari Negri Ginseng, apalagi dramanya yang sukses membuat ketagihan. Mimpi sederhanaku tahun ini ialah menonton konser boy group kesukaanku semenjak berada di bangku menengah pertama. Namun, semuanya sirna. Keadaan mencekam saat ini pastinya membuat keinginanku tersebut tak terealisasikan. Mimpi sederhanaku itu tergantikan oleh mimpi seram yang singgah saat ku tidur semalam.

Setelah menyaksikan para manusia memakan sesama, Ronan memutar balik arah dan menyetir dengan kecepatan penuh. Aku tak tahu bagaimana keadaannya ketika menyaksikan hal mengerikan itu di depan matanya, dia tidak mengatakan sepatah kata pun dan hanya menyetir tanpa berhenti. Mungkin dirinya juga terkejut, sama halnya seperti diriku saat ini. Memeluk erat tubuh belakang Ronan, aku menangis deras sehingga jaket biru dongkernya basah karena cucuran air mata. Aku begitu takut untuk membuka mata, di balik helm yang terpakai suara-suara teriakan di jalanan menembus hingga ke dalam telinga. Dalam benak, keadaan pasti sudah sangat mencekam.

"Hei, Nak!"

Suara berat dari seorang laki-laki itu mengguncang badanku yang masih memeluk erat Ronan. Sadar seketika ternyata motor yang dikemudikan telah berhenti. Wajah yang menunduk takut, membuka mata perlahan dan melihat sepatu juga celana hitamnya di bawah. Dengan pelan mengangkat kepala, tak sadar mata menelusuri tiap-tiap yang dikenakan di tubuhnya. Pakaian orang ini seperti yang pernah kulihat pada foto Papa di ruang kerjanya. Layaknya pakaian tentara, tapi bahannya serba hitam dan polos, juga menggunakan helm hitam pekat tanpa kaca, lalu senjata laras panjang menggantung di depan tubuhnya.

"Jalanan sudah tidak aman. Lebih baik, kalian berlindung di kantor polisi terdekat sampai keadaan benar-benar membaik."

Diri yang ketakutan memaksa mata merotasi sekitar. Penilaian saat melihat keadaan, sudah tak tertolong lagi. Jangan bercanda! Akan sampai kapan membaiknya. Memperbaiki hal ini tidaklah segampang membalikan telapak tangan. Jika harus mengikuti saran dari Bapak ini, bisa-bisa aku tak ada kesempatan untuk bergabung dengan keluargaku. Aku menolak.

"Ronan, kita pulang." Perintahku. Lalu, berkata pada si Bapak, "Maaf. Saya nggak bisa turuti kata Bapak. Lebih baik saya cepat-cepat ketemu dengan keluarga."

Awalnya ia diam hanya memberi raut wajah kekhawatiran. Berselang beberapa detik, Bapak yang ku anggap seorang perwira hanya berkata agar aku dan Ronan selamat dalam perjalanan. Ia juga meminta maaf, jika dirinya tak bisa membantu lebih.

Motor pun dijalankan oleh Ronan, tetapi rentetan suara keras muncul dari belakang membuat kami berhenti lalu menatap arah suara tersebut. Bapak itu, mengeluarkan isi pelurunya menembus tubuh tiga orang di depannya. Namun, tak membuat mereka tumbang. Justru sang penembak mendapat terjangan dari para orang gila itu.

"Ronan...," suaraku amat bergetar memanggil namanya. Tanpa membalas, Ronan kembali menjalani mesin roda dua ini dan aku kembali memeluk erat tubuhnya.

Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa, Tuhan???

Dunia Kelam [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang