Awalnya kita baik-baik saja, benar? Kemudian aku yang terlalu mengungkit perihal keyakinan diantara kita berdua. Lantas kamu ragu. Kamu memutuskan untuk berpisah denganku, yang awalnya kamu berkata kamu belum menginginkan perpisahan.
Siang itu sekitar pukul 2, kamu memberiku pesan singkat. Memintaku keluar rumah, aku melakukannya. Kamu disana, duduk di bangku reyot teras rumahku. Masih mengenakan helm, aku ingat sekali betapa aku begitu merindukanmu karena akhir-akhir itu kamu terkesan tidak peduli selama beberapa minggu.
Salahku, ku kira. Mungkin aku yang terlalu menekan kamu, aku menyesal. Sungguh. Demi Tuhan, jika aku mampu memutar waktu, tidak akan pernah aku membicarakan perihal keyakinan kita.
Kamu mengatakan, kita harus berpisah sekarang juga. Sedang aku tidak menginginkannya, aku tidak pernah menginginkannya. Tapi aku bisa apa? Pun percuma menahanmu. Lantas kuiyakan saja semua perkataan dan permintaanmu.
Andaikan kamu tahu, betapa hancurnya aku saat itu. Dunia seakan direnggut habis dariku. Kamu adalah satu dari empat alasanku bertahan hidup. Kamu tahu, bagaimana kisahku yang sering ingin mengakhiri hidup karena hidupku yang amat menyedihkan.
Kamu ingin pulang, baik. Aku iyakan, kemudian aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Kupikir.
Kamu membalikkan badan, meninggalkanku didepan pintu rumah. Aku masuk kedalam rumah, memegang kenop pintu yang begitu dingin. Tubuhku merosot, aku menangis sejadi-jadinya dibalik pintu.
Yang aku tidak habis pikir, kamu tidak berusaha untuk menemukan alasan satupun untuk mempertahankan aku, kamu melepaskan aku. Betapa sakitnya aku, yang lagi-lagi kehilangan laki-laki yang begitu aku sayangi.
Ayah, lalu adik. Kemudian kamu, Adam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adam
Teen FictionBetapa aku mencintaimu, merindukanmu dalam setiap hela nafasku