Prolog

468 22 2
                                    

AIR menyentuh bumi. Langit seakan ikut menangis menerima kenyataan hari ini. Jantung yang sangat sakit dan dihimpit, sangat terasa oleh seluruh orang yang hadir. Payung-payung hitam menambahkan kelengkapan yang menyelimuti kesedihan mereka. Tangis dan keheningan bercampur, menjadi sangat menyedihkan.

Kehilangan.

Itu yang paling mencolok di tempat ini.
Tempat terakhir manusia di bumi.
Tempat kita pulang untuk selamanya.
Rumah terakhir manusia.

Sebagian ada yang menangis karna sedih dan merasa bersalah. Sebagian lagi tidak dapat menangis dan merasa waktu telah terhenti seketika.

Contoh saja Vandra, dia hanya berjongkok dalam diam dan menatap pusara di depannya dengan tatapan datar. Masih baru. Tanahnya masih merah dan masih banyak bunga-bunga yang baru di tabur dengan isak tangis. Ia menyentuh pusara tersebut dengan lembut. Seolah pemilik tersebut adalah manusia yang pantas ia sayangi.

"Gita! Bangun!" Vandra berseru, masih dengan wajah datar. Ia menoleh, menatap pusara satunya lagi yang juga masih baru. Tepat di samping pusara yang ia elus. "Bara! Kok lo ikutan tidur juga, sih?" tanyanya, seolah penghuni pusara itu ada di depannya. Semua orang di sana menatap Vandra dengan tatapan sendu beserta air mata. Vandra mengabaikannya, ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hari ini.

Matanya menatap kedua pusara tersebut secara bergantian. Tanggal yang sama, bulan yang sama, dan tahun yang sama. Cinta sejati. Kata yang tepat adalah kata itu. Vandra menatap kembali pusara di depannya. "Git! Bangun, kenapa?"

Tidak ada respon.

"Gita! Bangun!"

"...." tidak ada jawaban.

"Git!! Bangun!"

"...."

"Gita!!! Bangun!"

"...."

"Git!!!! Bangun!"

"...."

"GITA, BANGUN?!!?!!" teriakan itu membuat seseorang yang tadinya masih tidur di atas kasur dengan selimut yang menyemuti tubuhnya, langsung bangun dengan kaget.

Gita Liliana, perempuan yang baru saja mendapat teriakan dari Vandra, menatap sahabatnya dengan horror. "Kok lo bisa disini?"

"Lo pikir?!" Vandra bertanya balik dengan tangan yang berkacak pinggang. "Lo liat tuh jam! Liat udah jam berapa!"

Gita refleks menatap jam waker yang berada di atas nakas. "MAMPUS! JAM SETENGAH TUJUH, VAN!" Gita berteriak kencang dan langsung lari ke kamar mandi dengan terbirit-birit. Dalam perjalanannya, satu yang mengganjal di hati Gita.

Tadi, gue mimpi apa ya?

***

Bara Alraka bangun dengan tenang, dan berjalan santai menuju ke kamar mandi. Ini 'baru' jam setengah tujuh. Ia bahkan dapat ke sekolah jam sepuluh pagi kalau ia mau. Saat ia melakukan aktivitasnya, ada sesuatu yang menggannjal di hati Bara.

Tadi, gue mimpi apa ya?

Setelah bersiap, Bara pun pergi ke sekolah dengan mobil sport yang selalu ia pakai. Ia menatap rumah Gita sekilas, dan kembali menatap jalanan.

***

Setalah menyalimi Ayahnya, Gita berangkat dengan Vandra menggunakan mobil lamborgini milik Vandra, membelah jalanan di kompleknya. Menuju sekolah, dengan perasaan sedikit mengganjal akibat mimpinya barusan.

"GOOD MORNING GAIS!" Seru Gita dengan semangat saat memasuki kelasnya dan langsung duduk di bangkunya, tanpa memperdulikan kata-kata sewot dari teman-teman sekelasnya yang terganggu oleh teriakan Gita saat mereka sedang menyalin pr. "MIL! ADA PR APA?" tanya Gita, masih berteriak.

DetectiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang