Humans and Their Ability

1 0 0
                                    

Meda.

"Med, ibu mau ke dr. Sofjan dulu ya. Kamu di rumah. Nanti Dude datang."

Aku memutar bola mata. Dr. Sofjan, psikeater muda nan tampan itu selalu dijadikan alasan oleh ibu untuk bertemu pacar barunya. Dih aku kan bukan bocah yang bisa dikadalin. Lagian kenapa bujang lapuk itu yang dijadikan babysitterku sih.

Ku beri tau, ya. Namanya Dude. Bacanya bukan 'dud' seperti 'bung'. Tapi du-de. Bukan Dude Herlino juga! Kebagusan buat tampang seperti kantong plastik daur ulang seperti dia. Dia itu anaknya tante Mia, sahabat karib ibu. Setiap kali ibu harus bertemu pacar kesekian yang beliau kenal dari dating website, Dude selalu dijadikan babysitterku.

Seperti yang ku bilang, aku bukan bocah yang butuh babysitter. Lalu kenapa harus banget sama Dude? Penting banget?

"Jangan keluar dulu ya, nanti Dude bawa tamu soalnya."

"Siapa, Bu?"

"Modelnya Ibu, Da. Nanti kamu anter dia sama Dude ke studio." Ucap Ibu sambil berlalu. Sepatu Prada last seasonnya membuat suara aneh saat bersentuhan dengan lantai. "Tolong ya, Da."

If she isn't my mother...

"Fine, tapi nggak janji bisa lama. Karena kerjaan Meda udah dikejar sama Tari."

"Tari anaknya Suda? Nanti Ibu bilangin ke Suda biar nggak galak-galak sama anak Ibu." Sebenarnya dia hanya bercanda, tapi kalau dia benar-benar mau melakukan itu, aku akan benar-benar beruntung punya Ibu seperti Ibu.

Ibu sebenarnya kurang suka dengan keterlibatanku di jurnalistik. Pasalnya, Ibu yang notabennya seorang designer yang sedang naik daun di kalangan artis sungguh mengharapkanku bisa mengikuti jejaknya. Alih-alih suka menggambar, aku justru menyukai menulis.

Tapi meski begitu, Ibu cukup bersyukur aku mewariskan gaya berpakaiannya jaman muda dulu. Sedikit retro dan ketinggalan jaman, tapi kata Ibu benar-benar keren.

Kalau Ibu suka dipotret, aku suka memotret. Objek favoritku adalah Ibu. Tapi aku kurang suka memotretnya saat dia sadar kamera, aku lebih suka memotretnya diam-diam.

Jika dipikir, kami nggak punya kesamaan. Selalu bertentangan.

"Bye, dr. Sofjan nunggu!" Beliau berlari kecil sampai ke mobilnya. Kepergiannya nggak meninggalkan apa pun kecuali sunyi. Aku masih berdiri menatap kepergiannya.

Benar-benar butuh pacar?

Kemampuan manusia untuk melupakan sesuatu atau seseorang benar-benar membuatku terkejut. Sedikit takjub dan diam-diam berharap aku bisa mendapat kelebihan itu.

Aku sendiri sering menjumpai dr. Sofjan untuk memintanya menghapus memoriku. Dia tertawa dan mengusap rambutku. Dia sudah melakukannya sejak aku kelas 2 SMP. Pertemuan pertamaku dengannya.

Dia membantuku untuk berpikir. Karena sungguh, aku nggak sanggup berpikir saat itu. Aku bahkan nggak menangis seperti kebanyakan anak akan lakukan.

Well, dia menyebutku anak pintar kala itu. Dia benar-benar tau apa yang terjadi di kepalaku. Tapi kami berdua memilih pura-pura tidak mengerti.

Sehingga obatku ada di dalam kotak berhiaskan pita yang ia beri di pertemuan kedua kami. Sebuah jam tangan terbaru saat itu. Berisikan post it yang bertuliskan 'you don't need medicines, you need time.'

Aku selalu menelfon Kama a.k.a Kamadea Sofjan a.k.a dr. Sofjan setiap kali Ibu bilang bahwa beliau akan menemui dr. Sofjan. Kadang memang benar, well, mostly bohong.

Ibu selalu membutuhkan dr. Sofjan tiap kali ingatan masa lalunya kembali menghantuinya dalam bentuk mimpi setiap kali Ibu tidur.

Lalu bule keparat ini muncul dengan ide bodoh-tapi-berhasilnya kepada Ibu. Berkata bahwa Ibu butuh pacar. Hasilnya? Aku nggak lagi terbangun tiap malam mendengar Ibu berteriak dalam tidurnya.

Tapi aku benar-benar ingin memukul kepala Kama.

Bule kampung itu berkata aku juga butuh pacar. Pacar my ass. Well, dia mengatakannya sambil berlari dan membekalkan dirinya sendiri buku-buku dari perpustakaannya untuk dilempar padaku saat aku ingin menggigit tangannya. Aku balas aja pakai penghargaan yang dipamerkan di meja kerjanya.

"You're all grown up, Meda. I'm so proud of you."

"Kama, gue masih butuh lo menghapus memori gue. Atau lo bisa jedotin gue ke dinding biar gue amnesia." Seperti yang sudah-sudah, permintaanku dijawab dengan usapan di kepalaku. Yeah, kadang-kadang digetok, sih. Bule kampret.

Aku benar-benar ingin dikasih obliviate charm sama Hermione. Sesulit apa pun aku mencoba, ingatan itu selalu kembali. Mungkin karena aku nggak benar-benar ingin melakukannya. Well, sebagian dari diriku ingin membuangnya jauh-jauh sementara sebagian lagi terbawa bersamanya.

Mungkin benar kata Kama. Aku butuh pacar.

EaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang