Putri Malu

1 0 0
                                    

"Andromeda, cepetan, dong!"

TGIF. Otherwise I'd be punching him in the face.

"Andromeda, jalanan itu kosong."

I'll reconsider it.

"Androm— OUCH! IT HURTS!"

You don't say. Tanganku udah gatal tuh, tapi saat ingin menahan, kepalanya sudah sampai kaca jendela duluan. Aduh, nakalnya tanganku.

Seseorang di belakangku menertawakan Dude. Well, si brengsek ini memang pantas ditertawakan. Anyway, this guy behind me, terlihat benar-benar nyaman di tempat duduknya. Well, tempat tidurnya.

Mentang-mentang model, bisa di mana-mana pose dengan seksi seperti ada paparazi di balik pos polisi di lampu merah.

Untung cakep.

"Gue kan udah bilang jangan panggil gue Andromeda."

"Dari dulu juga abang panggil kamu Andromeda."

"Udah gue bilang juga lo jangan nyebut diri lo sebagai abang gue. Najis."

"Dari dulu gue juga manggil lo— AMPUN!!!!" Boong banget? Mana pernah dia memanggilku ampun?

Oh, mungkin dia manggil ampun ke tanganku yang udah siap membogemnya lagi.

"Cepetan, nyetirnya, MEDA. Tante udah nyampe di studio." Dia menekankan nadanya saat dia menyebut namaku, dia beruntung sedang membawa modelnya Ibu.

"Dude, dude. What if i can't do any pose they showed me?"

Wow, sebuah pencapaian yang sangat luar biasa untuk seorang model yang takut nggak bisa pose.

"Pokoknya kalo tante lo nggak puas dan gaji gue dipotong, lo harus bayar ke gue."

Dude mencebik, "yaelah, iya, gampil."

Gampil apanya? Makan aja masih sering di rumahku.

"Lo juga harus ganti rugi kalau gue nggak lolos seleksi OSN."

"Lo? Gak lolos? Mereka yang rugi."

Wait, what? This guy? Anak OSN? This fine, smells good, good looking guy is actually a geek? What kind of sorcery is that?

"Seleksinya besok, bego. Dan lo nyulik gue sekarang."

"Halah, sok merendah lu."

"Lo kan tau gue biasanya di rumah. Bukan pose-pose begini. Gue kan bukan model."

"Dih, najis. Tante Ditha kalo nyari model, banyak. Lo kan denger sendiri, doi nyarinya biar natural. Gue kira ingetan lo tajem. Cem dori rupanya."

Orang itu memukul kepala Dude menggunakan gulungan kertas yang ia pegang sedari tadi.

"Siapa, ehm, Radi? Emang OSN kapan ya?" Aku sengaja mencari alibi, karena pertama, aku lupa namanya, dan yang kedua, aku kan lemah sama orang tampan. Modus aja.

"Seleksinya sih besok. Radhar, bukan Radi."

Pft. My bad.

"Sorry. Emang lo sekolah di mana?"

Alih-alih mendengar jawaban Radhar, aku mendengar suara cempreng-menyebalkan milik Dude.

"Heh, apatis. Dia kan satu sekolah sama elu."

W H A T ? ! ? !

"Gue kira kenal, soalnya dia kenal sama anaknya om Sudha. Si Utari itu."

W H A T

Aku memanfaatkan waktuku yang sisa 28 detik lagi sampai lampu hijau untuk memutar badanku 90 derajat untuk memastikan orang ini satu sekolah denganku atau bukan.

Yep, nggak tercatat di memoriku.

Dia terlihat terkejut. Dia pasti mengenaliku. Iyuh malu banget. Jangan-jangan pernah kenalan. Kan malu banget kalo udah pernah kenalan tapi aku nggak mengingatnya. Meda bego.

Sampai suara klakson membangkitkanku dari pencarian tentang orang-orang yang pernah ku lihat di sekolah di bagian terdalam otakku.

Argh. Cakep gini aku nggak pernah lihat. Mustahil.

"Nih ya, Med. Lo nanti pulang, ganti baju, samperin dokter Sofjan deh biar syaraf-syaraf lo dibenerin, biar lo lebih peka." Kata Dude dengan kurang ajarnya.

Aku memilih mengabaikan ucapan Dude, itu orang kalo diladenin makin jadi.

"Lo kelas tiga, ya?"

Dia tertawa, "kelas dua."

"Lo introvert ya?"

"Nggak,"

"Tapi nggak mungkin gue nggak pernah lihat lo."

"Harusnya gue yang ngomong begitu." Dia tertawa lagi, tawanya sangat mengganggu telingaku sampai ke ubun-ubun. Jeez tolong ketawanya biasa aja jangan cute gitu.

"Lo seriusan nggak pernah lihat gue?"

"Nggak,"

Radhar diam kali ini, nggak mempermasalahkan lebih lanjut.

Dude yang mengungkit-ungkit Kama mengingatkanku pada apa yang sering Kama bilang.

Kama berkata bahwa aku nggak peka terhadap lingkungan. Katanya aku bisa aja punya teman banyak kalau aku mau sedikit aja memperhatikan lingkunganku sendiri.

Aku asik dengan duniaku sendiri.

Selama ini, aku hanya tau teman-teman sekelas, anggota Jurnalis, dan Utari. Itu pun Utari nggak bisa disebut teman.

"Emangnya gue putri malu?" Kataku pada Kama waktu itu. Dia tertawa sampai terduduk di kursi kebesarannya.

Dia berulang kali menyebut kalau aku butuh pacar. Bahkan dia bilang akan mengenalkanku pada adiknya di Bandung. Aku sih waktu itu marah dan mengejarnya kesana-kemari.

Tapi hingga kejadian hari ini, mengetahui ada banyak hal yang aku lewatkan, seperti manusia indah macam Radhar begini, untuk pertama kalinya aku setuju pada Kama.

Sepertinya aku butuh pacar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang