1

25 4 9
                                    

"Tari, lo udah nemu bindernya?"

"Belom nih, ga ada yg cocok sama gw" Kata Tari sambil mendengus kesal.

Poca yang melihatnya seperti itu malah meninggalkannya. "Pantes aja lo ga pernah dapet cowo, milih buku aja lo lama. Apalagi milih cowo? Milih-milih sampe cowo muak!" Kata gadis itu sambil melenggang pergi entah kemana.

Tari yang mendengar ucapan sahabatnya itu hanya mengerucutkan bibirnya kesal.

Selang satu jam kemudian, Poca menghampiri Tari sambil membawa kantong belanjaan dan 2 minuman d*m dum kesukaan mereka. "Udah nemu belum?"

Mentari hanya menggelengkan kepalanya dan berjalan gusar menghampiri Poca. Poca yang melihat tingkah sahabatnya itu hanya melotot dan menaruh minuman yang dia pegang ke jidat Mentari.

"dingin anjir" kata Mentari mengambil minuman dingin yang mendarat di jidatnya.

"Satu jam gw nungguin lu dan binder yang lu mau ga ada?"

"Ya gimana dong, Ca? Toh binder yang disini motifnya itu-itu aja," Mentari duduk menyilangkan kakinya di depan rak buku yang menjulang tinggi melebihi tinggi badannya.

"Jadi motif yang lu bilang itu-itu aja kayak gimana?"

"Ya isinya cuma bunga-bunga, polos, perempuan megang payung, rintik hujan tapi ga ada orangnya, terus gambar cowo pake jaket hijau berdiri"

Poca melototkan matanya, ikut bergabung bersama Mentari yang sedang duduk. Ingin rasanya dia menjambak rambut Mentari, jika bukan di tempat umum seperti ini pasti dia sudah menghabisi Mentari di tempat.

"Jadi, motif yang lu sebutin tadi lu bilang itu-itu aja? Terus motif yang ga itu-itu aja kayak gimana Mentari?"

"Ya gambar Mentari terbit kek, atau secangkir kopi, atau sepeda terus latarnya senja, atau langit warna biru gitu. Ya pokoknya jarang ada"

"Mending besok lo buka toko binder sendiri ya, terus lo buat binder sesuai keinginan lo jadi ga usah repot-repot ke toko buku! Ngerti?!"

"Ayo balik! Ga ada gunanya disini!!!" Poca yang kesal langsung saja menarik tangan Mentari keluar dari toko buku.

"Astaga Ca diluar panas banget. Ga deh, ga bisa keluar dari toko buku ini mah. Udah ya ayo masuk lagi..."

Mentari masuk lagi ke dalam toko meninggalkan Poca di luar. Tanpa menunggu aba-aba, Poca langsung menarik lengan Mentari keluar dari toko buku. "Ga ada masuk toko buku, ayo pulang!!!"

Mentari yang mendengar teriakan Poca pun langsung mengikuti gadis itu. Kini berhentilah mereka di salah satu salon yang ada di kota mereka.

"Kita ngapain disini Ca?" Tanya Mentari sambil celingak celinguk.

"Ngopi, ya nyalon lah. Kuy lah masuk"

Mentari langsung menarik tangan Poca, "ga usah deh Ca, inget mama sama papa lo lagi krisis duit. Kita harus bergaya sesuai dompet kita Ca..."

"Diem deh, gausah sok tau tentang dompet gw! Udah yok masuk"

"Gini aja deh, lo masuk salon gw ke toko bunga depan. Lo tau sendiri gw ga terlalu suka dandan"

"Yayayaya terserah deh" Poca melenggang masuk ke dalam salon, namun tidak dengan mentari yang memilih pergi ke toko bunga yang berada di depan salon.

Mentari melihat bunga-bunga yang berada di depan toko. Sejuk sekali rasanya melihat bunga-bunga itu sedang bermekaran.

"Ada yang bisa saya bantu mba?" Tanya bapak-bapak tua, yang Mentari yakini adalah pemilik toko ini.

"Emmm, saya lagi nyari bunga yang cantik dan harum pak. Kira-kira ada ga?"

"Hampir semua bunga disini cantik dan harum mba hehehe, lalu mba mau pilih yang mana?"

Mentari yang mendengar perkataan bapak tua itu hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malu sekali rasanya.

"Maksud saya, yang menurut bapak tuh cantik banget dan beda dari yang lain," seperti yang Mentari lihat, bapak itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

Bapak itu masuk lagi ke dalam toko dan keluar membawa tiga tangkai bunga, "menurut saya sih ini biasa saja mba"

Mentari yang mendengarnya hanya kebingungan. Kan dia mencari bunga yang menurut bapak itu cantik, tapi kenapa bapak ini bawa bunga yang menurut dirinya sendiri biasa saja.

"Maksudnya pak?"

"Ya biasa saja, tapi hampir setiap hari bunga ini selalu di beli oleh seorang laki-laki yang sepertinya seumuran sama mba, awalnya saya pikir mas ini aneh-aneh saja. Masa bunga yang biasa aja, bahkan ga ada keunikannya bisa dia beli setiap hari. Tapi mas itu bilang kalo bunga ini akan membawa kebahagiaan dan kesedihan secara bersama jika kita melihatnya. Tapi ya mba, menurut saya ga ada apa-apa tuh kalo saya liat," Kata pak tua dan menaruh bunga itu ditangan kanan Mentari. 

"Tapi mba, gatau kenapa bunga itu sepertinya cocok dengan mba" Katanya lagi.

"Cieelah si bapak bisa aja. Saya tau nih, bapak kayak gini biar bunga ini saya beli kan?"

"Iya juga sih mba, tapi kalo mba ga mau beli bunga itu gak apa-apa kok, serius deh"

"Tenang pak saya beli bunganya. Tiga tangkai dibungkus rapi ya pak" Diberikan bunga itu lagi ke tangan si bapak

Saat tiga tangkai bunga sudah terbungkus rapi ditangan Mentari dan sudah dibayarnya ia pun pergi meninggalkan toko bunga dan berjalan menuju salon. Ntah mengapa ia merasa sudah jatuh cinta dengan bunga ini saat ia menggenggamnya.

Ditepisnya jauh-jauh pikirannya tentang bunga ini dan ia menganggap bahwa bunga ini akan dibelinya sekali seumur hidupnya, jika ia membeli lagi itu artinya ia hanya iseng.

"Ngapain li bawa bunga? Ada yang ngasih?" Tanya Poca.

Mentari hanya menggeleng dan duduk di bangku tunggu, menunggu Poca yang belum selesai salon.

"Terus itu bunga darimana?" Tanya Poca lagi.

"Tuh dari toko bunga depan" Jawab Mentari sekenanya. Ia malas menanggapi pertanyaan Poca karena jika di jawab terus maka Poca akan lebih banyak bertanya seperti seorang reporter.

"Yaelah bunga aja dibeli. Jomblo sih lu," Poca tertawa terbahak-bahak sampai-sampai mba-mba yang memotong rambut Poca pergi meninggalkan mereka. Mungkin si mbanya belum ngopi, pikir Mentari.

"Gak apa-apa bunga beli daripada lo ngebet banget pacaran padahal ga ada yang suka sama lo"

Poca yang kesal pun langsung memanggil mba-mba yang tadi memotongkan rambutnya dan hingga satu jam Poca belum selesai juga dengan kegiatan menyalonnya.

Hingga Mentari memilih tidur di sofa dengan tangan menyangga kepalanya dan buku majalah menutup wajahnya tak lupa juga tasnya ia peluk takut-takut ada maling disini.

Ia merasa ada seseorang yang duduk di sebelahnya tapi ia tak perduli toh apa pedulinya hanya untuk melihat orang yang duduk disebelahnya. Mending ia kembali ke alam mimpinya.

"Mba geser sedikit dong"
"Duh elah mas, duduk tinggal duduk sih. Ganggu banget"
"Mba tuh duduk makan lapak banget, ga bisa geser dikit?"
"Ga bisa, saya mager banget. Kalo mau duduk ya silahkan tapi kalo ga mau yaudah keluar aja gih!" Usir Mentari.

Tak lama setelah itu Mentari tak mendengar adanya gerakan lagi.

"Mba suka bunga aster?"

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang