Tetangga baru

31 3 0
                                    

Maret pada tahun 1994

Beberapa bulan silam, aku adalah ceria yang akhirnya menemukan titik jenuhnya.

Saat itu, aku baru saja pulang dari Pasar minggu membawa sekarung bahagia yang akan kutunjukan pada Ibu lewat cerita dari mulutku.

Namun, karung itu justru tertusuk paku saat aku sedang berjalan ke rumah, membuat bahagiaku hambur lalu pecah dalam hitungan detik.

Bendera kuning itu, ah aku bahkan tidak menyangka akan melihat bendera duka terpajang di depan rumahku secepat itu.

Rasanya jantungku sudah tidak berfungsi lagi, rasanya bumi kehabisan oksigen, rasanya nyawaku yang direnggut Tuhan saat itu.

Tetanggaku yang sedang berada di luar menggiringku masuk ke dalam rumah, tak hanya sekali mereka melontarkan kata duka yang justru membuatku mati kutu. Semakin banyak orang-orang berdatangan kerumahku, membuat kematian Bapak yang beberapa kali kubantah adanya terasa semakin nyata.

Ibu yang tengah duduk di samping Bapak tiba-tiba berlari ke arahku yang tengah diam mematung, lalu memelukku. Menangislah Ibu di pundakku, melampiaskan dukanya atas kematian kasih tercintanya, Bapak.

Ah Tuhan, bahkan aku yang membantah mati-matian atas kepergian Bapak ikut menangis. Apa ini? Baru saja semalam Bapak berteriak girang saat menyaksikan pemain sepak bolanya menendang bola kedalam gawang lawan. Kenapa sekarang Bapak terbaring kaku tak bernyawa?

Bukan, bukan saat itu aku menemukan titik jenuhku. Karena saat itu, aku masih memiliki Ibu, aku masih memiliki alasan hidup.

Tapi beberapa hari setelah kematian Bapak, dengan teganya Ibu membuat keputusan yang bahkan masih aku benci sampai saat ini; menyusul kasih tercintanya, Bapak.

Ibu tak melakukan hal yang sama sepertiku, Ibu tidak menganggapku alasannya untuk hidup. Ibu mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.
Dan saat itulah aku berada pada titik jenuhku.

Sejak saat itu, aku bukan lagi si ceria yang ramah, aku memilih menarik diri dari bahagia yang kuyakini hanya sementara, aku memilih tenggelam dalam pahitnya kenyataan.

Eyang menarikku dari kota penuh kenangan, Eyang membawaku pada kota asing yang saat ini masih kupijak, Semarang.

Aku tinggal bersama Eyang disini, manusia yang hangat akan perhatian yang kini kujadikan alasanku untuk hidup.

Aku mahasiswi di salah satu universitas ternama di Semarang. Aku hanyalah mahasiswi kupu-kupu, alias kuliah-pulang-kuliah-pulang. Karena aku tak memiliki sebongkah semangat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kampus yang biasanya dilakukan oleh mahasiswa dan mahasiswi lainnya.

Tok tok

Aku bangkit menghampiri pintu kamar lalu membukanya,

"Kenapa Bun?"
Tanyaku. Ah ya, aku mengganti panggilanku dari Eyang menjadi Bunda.

"Itu loh, ada tetangga baru di depan rumah. Bisa kau bantu-bantu?" Tanya Bunda yang menurutku lebih menjurus ke permintaan.

Aku mengangguk lantas segera pergi keluar rumah menuju rumah kontrakan yang sudah lama tak berpenghuni, ah kira-kira siapa yang akan menempati rumah itu? Perempuan atau lelaki? Siapapun dia, semoga tidak mengganggu ketenanganku.

Sepertinya perempuan itu yang akan menempati rumahku, dia tampak lebih muda dariku.

"Mau kubantu Dek?"
Tanyaku.

Perempuan itu menoleh, tersenyum padaku tanpa rasa kikuk.

"Nggak ngerepotin Kak?"

Ah rupanya dia bukan dari kota Semarang. Aku tersenyum kecil, tanpa aba-aba langsung mengambil barang-barang yang berada di atas mobil pick-up. Aku mengikuti perempuan itu hingga ke dalam dan menaruh barangnya, lalu kami keluar bersama.

"Namaku Yuta, nama kakak siapa?"
"Herliani, pendeknya Herlin."

Kami kembali mengangkut barang, lalu membawa masuk kedalam.

"Yang ngontrak disini bukan aku Kak Her, tapi Abangku. Rumah kakak di depan ya? Jaga-jaga, aku mau minta maaf duluan aja kalau nanti Abangku menganggu ketenangan kalian."

Kenapa? Apa Kakaknya lebih cerewet dari adeknya? Rusuh? Kalaupun begitu, semoga saja permintaan maaf Yuta tak terpakai.

"Ngobrol sama siapa sih Dek? Terus memangnya kamu ngapain sampe minta maaf begitu?"

Dia orangnya? Cowok jangkung dengan rambut berantakan. Ah sepertinya apa yang dikatakan Yuta benar, dia terkesan sangat berantakan, arogan, ciri khas orang cuek penampilan yang hobinya merusuh.

Cowok itu masih membungkuk menaruh barang yang ia bawa dari ruang lain,

"Loh Dek? Kamu punya empat kaki?" tanyanya konyol.
"Ngaco. Ini Kak, ada Mbak Mbak ayu dari depan rumah habis bantuin ngangkatin barang." Kata Yuta yang membuatku ingin buru-buru pulang kerumah.

Cowok itu mendongkak, lalu setelah melihatku dia berdiri.

"Oh? Sori nggak fokus tadi."
Katanya, yang tak kubalas apapun.
"Kenalan dong Kak, tetangga baru nih!" Ucap Yuta menyenggol Kakaknya.
"Kamu Ayu? Aku Yuda. Nama kita nyambung ya kalau disatuin, Ayuda."

Aku mengernyit mendengar perkataan Yuda, aneh.

"Ih kak! Namanya bukan Ayu!"
"Tadi kamu bilang Mbak Ayu,"
"Ck, Ayu tuh bahasa jawa! Masa Ayu aja nggak tahu, nggak cocok banget tinggal di Semarang!"

"Yuta, aku pulang dulu ya." pamitku.
"Makasih kak!"

Tuhan kumohon, jangan membuat aku dan Yuda saling mengenal. Buat kami hanya sebatas saling mengetahui nama tanpa pernah terlibat dalam suatu obrolan, Tuhan kali ini kumohon kabulkan doaku.

KelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang