..Jalan Magelang..

26 2 0
                                    

Satu setengah mangkuk bakso sudah habis dari tadi. Aku masih betah mangkal di sini, menghabiskan es teh manisku yang semakin berkeringat. Dua teman usilku sedang membuat candaan yang sama sekali tidak bisa membuatku tertawa. Mereka bercanda tentangku seperti aku tidak ada di antara mereka. Ah, inikah yang dinamakan kedekatan? Berbicara seenak dengkul tentang satu sama lain tanpa merasakan sakit hati maupun perasaan lain. Hanya ikut tertawa atau ikut mengejek masa lalu itu.

"Udah jam setengah lima. Mau pada pulang nggak ini?" tukang bakso yang sepertinya sudah bosan menunggu kami bercanda mengintrupsi dengan sangat sopan. "Nggak baik lho, perawan pulang malem-malem." Tambahnya disertai sisa senyum menawan di masa mudanya.
"Hehe berarti yang nggak perawan boleh pulang malem dong, Pak?" Tanya temanku usil.
"Ya, apapun lah." Tukang bakso itu mengerti betul tentang temanku yang satu itu. Dia sering dibicarakan oleh siapapun, hanya karena dia dulu adalah korban pelecehan s*ksual. "Hehe ya udah deh, Pak. Kita pulang. Jangan kangen ciwi-ciwi ini lho, Pak! Kita bakalan libur seminggu ini, Pak." Sambil terkekeh, aku pamit kepada tukang bakso tercinta itu.

Dua temanku langsung melesat dengan motor mereka masing-masing. Aku yang belum mendapat lisensi menggendarai motor dari orangtuaku hanya bisa berjalan di tempat yang aman untuk menunggu salah satu anggota keluargaku menjemput. Kalau ada yang ingat. Jalanan mulai ramai karena ini adalah jam menjelang pulang kantor. Matahari juga sedang mengucapkan selamat tinggal. Jadi, di sini aku sendiri. Satu-satunya "makhluk hidup" yang aku kenal hanyalah handphone di genggamanku. Untung tadi sudah aku charge.

Aku memasang headset hijau membahanaku ke handphone, menyalakan lagu, kemudian menempelkan dua bulatan penyumpal itu di salah satu lubang telingaku. Menyenangkan rasanya, menikmati sore saat perutmu kenyang, ditambah lagu yang menemanimu, dan jalanan yang ramai. Oh, jangan lupakan suasana sisa panas siang dan sedikit dingin yang akan datang. Langit orange gelap yang indah juga salah satu pelengkap kebahagiaan. Tapi satu kesedihan yang aku rasakan saat ini: rindu.
Rindu pada seseorang yang bahkan diragukan ingat padaku atau tidak. Mending kalau cinta bertepuk sebelah tangan. Ini rindu sebelah tangan yang sangat tidak berfaedah. Saat ini, bahkan hanya rindu sebelah tangan saja sudah sedikit mengacaukan kebahagiaan soreku. Menyebalkan. Tapi menyenangkan.

Aku memandang kosong kendaraan-kendaraan yang berlalu cepat melewatiku. Seakan mereka tidak mengetahui kalau ada makhluk kesepian sedang duduk di pinggir jalan ini. Semakin kupandangi, aku sadar, jalanan semakin ganas saat ini. Terbersit keinginan untuk kabur, tidak usah melewati jalan. Tapi aku tahu, bahkan untuk kabur aku membutuhkan jalan.

"Mbake, sendirian aja?" aku tidak sadar kalau ada motor yang berparkir di dekatku. Pengendaranya sudah turun, bahkan sudah duduk. Dan aku mengenalnya.
Sejenak aku terpesona dengan matanya. Tapi kemudian aku menjawab ragu, "Sekarang.. tidak."
Dia tersenyum. Tidak manis, tapi aku menyukai cara matanya turut tersenyum. "Masih nunggu jemputan?" aku mengangguk, kembali memandang ke depan. Jangan sampai aku larut dalam pandangan matanya yang teduh itu. Bahaya.
"Aku juga lagi nunggu temen. Bisa ngobrol? Biar nggak bosen." Dia terkekeh malu saat mengatakannya. Aku tersenyum setipis mungkin, agar dia tidak menyadari senyumanku. Kumatikan handphoneku, beralih menatap makhluk yang lebih nyata dan indah di depanku.

Dia tidak ganteng. Aku tidak suka cowok ganteng yang digandrungi banyak perempuan lain. Tapi dia manis dengan jalannya sendiri. "Enak ya, besok libur." Bukanya menghapus suasana sepi diantara kami berdua.
"Iya. Semangat ya buat ujian besok, Kak." Aku beralih memperhatikan lampu jalanan yang beberapa sudah menyala. "Besok ujian apa?"
"Bahasa Inggris. Kesukaanku." Aku tahu itu. Kamu suka pelajaran bahasa Inggris. Aku juga, karena kamu.
"Udah belajar?" dia hanya terkekeh. Bahasa Inggris, apa yang akan dipelajari? Semuanya tergantung soalnya. Bacaannya juga.

Sekarang langit benar-benar gelap. Dan aku tebak di rumah tidak ada yang sadar kalau aku belum pulang. Dasar. Keluarga macam apa itu. "Mau aku antar pulang?" seperti itulah manisnya dia.
Aku menggeleng, melihat ke matanya yang indah. "Makasih, Kak. Aku nggak enak. Lagian kamu juga lagi nunggu temenmu." Aku menghela nafas sebelum melanjutkan, "Lagian di sini menyenangkan." Aku tidak berani menatap matanya saat mengatakan kalimat terakhir itu. Takut kalau nantinya dia akan peka.
Dia terkekeh. Tidak tahu karena apa, tapi kelihatannya karena kalimatku. "Hehe, temen yang aku tungguin itu kamu."
Pipiku memanas. Aku menggaruk leherku yang tertutup kerudung hitam. Gugup. "Besok habis aku UN, hari Sabtu ketemu aku di sini, ya? Jam empat sore." Entah kenapa, pipiku tambah panas. Semoga tidak terlihat merah. Aku mengangguk kaku menanggapi ajakannya. "Tuh, adikmu udah dateng."
Segera aku beranjak dari dudukku. "Makasih, Kak. Udah mau nemenin aku." Ucapku lirih seakan tidak punya asupan suara yang cukup untuk dikeluarkan.
"Mas. Panggil Mas. Sampai ketemu, Dek Cinta." Jantungku berhenti. Jangan mati dulu, Dra. Otakku memperingatkan. Adikku sudah ada tepat di depanku, jadi aku langsung menaiki motornya. Sebelum aku dan adikku melesat, aku mengangguk sambil tersenyum canggung.
Jangan berpikiran aneh-aneh, Dra. Dia memanggilmu Cinta karena memang namamu kalau diartikan Cinta. Dan jangan lupa nanti bernapas dan tidur malam. Kamu butuh itu untuk bertahan hidup sampai hari Sabtu setelah UN.

All About Love...Where stories live. Discover now