Bab 1 ( one)

33 4 1
                                    

"Pertanda ada dimana mana. Kadang untuk menyadarinya,kau harus bergerak mundur".

***

Kali ini sepertinya aku berkunjung terlalu pagi hingga yang terdengar di penjuru koridor hanya gaung langkah sepatuku.

Biasanya disepanjang jalan aku harus melewati berbagai rintangan–seorang wanita yang tertawa histeris seolah sedang menonton acara komedi padahal yang ditatapnya hanya dinding putih menjemukan, seorang pria yang menganggap ku Zeo Heriot dari serial TV klasik Doctor who dan meminta tanda tanganku di keningnya sebelum memperbolehkanku melintas dengan damai, serta tentunya para perawat yang kewalahan dengan ulah mereka.

Ketika berbelok di sudut, aku berpapasan dengan seorang perawat yang sedang mendorong troli nampan. Kami bertukar senyum.

"Pagi sekali," ujarnya sambil mengusap telapak tangan di celemek berendanya, kemudian menunjuk ke ujung koridor tempat seorang pria duduk di salah satu kursi panjang. "Dia ada disana, bangun pagi seperti biasa".

Aku tersenyum dan mengangguk, lalu bergegas ke arah yang ditunjuknya barusan.

Saat jarakku semakin dekat, mataku bisa menangkap sebuah buku yang terbuka di pangkuan pria itu. Dia sedang membaca dengan raut wajah serius hingga hentakan sepatuku tak mengalihkan perhatiannya sama sekali.

Dia membalik satu halaman bukunya ketika langkahku terhenti diujung kursi panjangnya. Caranya duduk dengan kaki di silangkan mengingatkanku pada gaya khas guru matematikaku di kelas sembilan. Bedanya, pria ini tidak mengenakan kacamata yang menggantung di ujung hidung runcingnya. Rambut hitamnya juga masih tumbuh lebat, tidak sepertu guru matematika itu yang hampir botak

Satu lagi perbedaan mencolok diantara mereka: pria ini mengenakan piyama biru muda. Seragam pasien .

Aku rela melakukan apa saja untuk menukar piyamanya, bahkan dengan setelan terburuk milik guru matematika itu sekalipun.

Tubuhnya mendadak tegang saat kuputuskan duduk di bangku yang berhadapan dengannya. Matanya mengerjap ngerjap gugup, napasnya pendek pendek, kemudian dia mengangkat bukunya keatas untuk menutupi wajahnya dari pandanganku.

Aku berdeham deham sebelum menyuarakan aksen Inggris-Spanyol yang baru ku pelajari sebulan ini. "Bukunya sangat menarik, ya?".

Pertanyaan ku berhasil menuntunnya untuk sedikit menampakkan wajah dari balik buku itu. Sepasang mata cokelat nya menatapku awas.

Kulemparkan seulas senyum sambil memperbaiki tata letak sweter kuning yang sudah kukenakan setiap berkunjung selama sebulan ini, berharap dia bisa langsung mengenali nya seperti dua hari yang lalu.

Sayangnya itu tidak terjadi. Tanggapannya hanya sebuah pertanyaan bernada permusuhan yang praktis melenyapkan senyumanku, "Siapa kau?".

Kugigit bagian dalam pipiku. Percuma saja tadi kuhabiskan sejam penuh berdandan semirip mungkin dengan dandananku di hari hari berkunjung belakangan.

"Aku Abrienda Banez, ingat?" sahutku, padahal hal pertama yang ingin kusemburkan adalah sumpah serapah.

Tak ada lagi dandanan nyentik yang tak pernah kukenakan–bergaya seperti gadis di tahun lima puluhan, mengenakan bulu mata palsu mengerikan, menyemprotkan segala macam aroma parfum–demi menyaksikan segelintir cahaya di sepasang mata pria ini, bukan malah kerutan di dahinya yang kian menumpuk dengan setengah wajah tersembunyi dibalik buku, sementara bibirnya membisikkan kata yang sama berulang kali, "benarkah?".

Ku bersihkan tenggorokan dan akal sehat ku sebelum kendali diriku lepas bersama segala makian diujung lidahku. "Ya,benar. Kemarin aku membantumu membuat berbagai macam gelang dari manik manik".

Informasi sesederhana itupun perlu dicernanya selama kurang lebih semenit sebelum kedua alisnya terangkat.

"Oh,benar, kau Abrienda. Ya,ya ya." Dengan perlahan bukunya mulai diturunkan. Kini aku bisa melihat kantung hitam yang menggeluyuti matanya. "Abrienda. Tentu saja aku ingat. Ya.. Tentu saja".

Aku hampir memutar bola mata. "Ya tentu saja". Kuulangi kata kata itu dengan nada cibiran yang langsung kusesali karena rahangnya kini kembali menegang. Telah bertahun tahun ku pelajari bahwa jika kondisi seperti ini terjadi, keadaan sudah terlambat untuk diperbaiki. Ini semacam sinyal untuk segera angkat kaki dan kembali lagi esok dengan identitas baru.

Namun aku bergeming. Aku justru menantang tatapan matanya yang berkilat bengis. "Apa!" bentakku dengan nada siap perang.

Entah dari mana keberanian itu datang. Aku hanya tahu satu hal: aku lelah. Lelah dengan boots kekecilan sialan ini, rambut Brunette bergelombang ini, dan aroma memuakkan parfum ini.

Jika dia ingin mengamuk ,sekalian saja aku ikut serta. Aku hanya perlu merombak total penampilanku besok, mungkin rambutku akan kugunduli–ya, aku belum mencoba gaya plontos sebelumnya–lalu mempelajari aksen slovenia atau semacamnya.

Meskipun esoknya aku masih menjadi Abrienda Banez,dia mungkin saja tetap tidak mengenaliku. Fluktasi memori di otaknya benar benar kacau. Kadang penampilan spesifik seseorang mampu mengingatkannya akan sebuah identitas. Namun seringkali juga semua itu tidak berarti apapun. Seperti hari ini contohnya.

Dia menutup bukunya tanpa repot repot menandai sejauh mana dia sudah membaca. "Ada apa denganmu?". Matanya menyipit.

Aku tidak merasa terancam sekalipun tidak ada perawat yang menjaga di sekitar kami. "Ada apa denganku?"desisku sengit. "Apa kau sudah pernah menanyakan itu pada otak kecilmu?".

"Lancang sekali!" Dia meledak, seraya bangkit berdiri.

Aku ikut bangkit, semakin menentangnya dengan dagu terangkat agar mataku sejajar dengan tatapan murkanya. Dia kurang–lebih dua jengkal lebih tinggi daripada aku.

Langkah langkah kaki bergemuruh di koridor. Perawat perawat yang siaga selalu membuatku takjub.

Pria itu membanting buku yang tadi dibacanya ke lantai, tepat didekat sepatuku. "Kukembalikan buku itu! Jangan coba coba kemari lagi!".

"Kau berani mengusirku?"raungku. "Kau pikir siapa lagi orang waras yang sudi menjengukku,hah? Siapa lagi selain aku yang sudi memberikan separuh harinya agar kau tak hanya bergaul dengan orang orang sinting!"

Sebelum dia mengamuk, beberapa perawat dengan sigap menyergapnya. Dari rahangnya yang mengeras, terbaca jelas keinginannya mencekikku. Tiba tiba saja ada dorongan untuk mengatakan pada para perawat agar jangan melerainya. Sepintas rasanya aku ingin dicekik. Rasa sakit fisik mungkin bisa sejenak menekan rasa sakit mental yang kuderita.

"Anna!" sseseorang memanggilku.

***

Alasan aku repost cerita kak @trini yang udah diterbitin ini karena...
Ini satu satunya novel yang udah aku baca, dan cerita seru bangettt.

Aku saranin kalian yang mau ke toko buku, terutama gramedia. Wajib beli buku ini.

Untuk sementara. baca aja dulu disini.

Gimana komentarnya di bagian pertama cerita ini? Ada yg udh ngerti?

Almost 10 Years AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang