Bab 1 (Three)

23 3 4
                                    

***

"Ada apa?" sergahku dengan sedikit takut, mengingat kabar daru Joshua biasanya tidak enak didengar.

Ku perhatikan Joshua mengambil napas, kemudian tersenyum. Benar-benar tersenyum disetiap lipatan-lipatan wajahnya, bukan hanya menarik bibir seperti yang sering kulakukan untuk membalas sapaan murid-murid di collage. "Ayahmu mengenali wajahku lagi".

Aku menahan napas. "Mengenali wajahmu? Lagi?"

Joshua mengangguk "sekitar lima hari yang lalu. Ketika aku mengunjungi kamarnya, dia mendingan dari bukunya, lalu tersenyum dan menyapaku. Menyapaku tanpa berpikir keras",katanya semringah. "Dia mengatakan, 'hai Joshua'."

Aku menarik napas,terkesiap. "Dia langsung memanggil namamu?"

Joshua kembali mengangguk bersemangat. Tersenyum riang. "Dengan sangat enteng, seperti menyala teman sekelas di pagi haru. Dan bukan hanya itu, saat aku bertanya, 'apa kau mengenali wajahku?' dia menatapku seperti aku baru saja mengajukan pertanyaan gila. Ya, Anna. Dia mengenali dari wajahku. Bukan dari pakaian, bauku. Atau rambutku. ini jelas merupakan prospek besar".

Kucoba menekan segala sukacita yang ingin melompat keluar dari dadaku karena teringat bahwa harapan yang melambung tinggi pada akhirnya hanya akan menghempaskanku dengan cara yang sangat menyakitkan. Jadi, yang kulakukan hanya menutup mata dan mengenyakkan diri ke punggung sofa. "Ya, selama bertahun-tahun hal itu cuma terjadi sebanyak empat belas kali. Lima bekas dengan ini, jika kau serius".

"Aku serius. Dan jika perlu kutambahkan, ini pertama kalinya hal itu terjadi dua kali dalam sebulan", tegasnya.

"Oke, tapi hal itu sesungguhnya tidak berpengaruh besa",sahutku, sambil menatapnya sangsi, "katakanlah––entah bagaimana, dan jenis keajaiban macam apa yang terjadi––dia akhirnya pulih dari kebutaannya mengenali wajah. Kegilaan lain masih menggerogotinya. Itulah alasan kenapa aku harus gonta-ganti identitas,kan? Trauma nya tidak akan ikut hilang. Dia tetap akan menjerit jika mendengar nama 'Ayanna'. Namaku tetap membawanya kembali pada kilasan-kilasan mengerikan kecelakaan itu". Napasku memburu. "Tetap tidak ada yang akan berubah",bisikku, lebih kepada diriku sendiri.

"Masih ingat tentang apa yang kukatakan padamu diawal pertemuan kita?" nada bicara Joshua tidak setenang sebelumnya. "Aku akan membeberkan semua data yang kuperoleh tanpa menggunakan kalimat yang berputar-putar hanya akan terkesan lebih ramah, lebih halus. Jika memang kondisi ayahmu sudah tidak memiliki harapan, akan ku katakan tepat seperti itu. Karena aku tahu kesengsaraan macam apa yang telah kau lalui, memberimu harapan palsu sama saja membangun jembatan baru untuk perjalanan itu", katanya.

"Jadi, sekarang dengarkan aku" intensitas tatapannya padaku membuatku terpaku. "Ayahmu memiliki harapan. Kemajuan signifikan tidak hanya terjadi pada memorinya, respons pada terapi nya juga. pelan-pelan resep obatnya dikurangi karena dia mulai bisa mengontrol kegelisahan dan kecemasannya secara sistematis. memang tidak ada yang bisa menjamin kesembuhan total, namun jika dia terus menunjukkan kemajuan seperti itu––hingga pada akhirnya dia tak memerlukan sebutir pil antidepresan pun, tak ada lagi alasan untuk terus merawatnya disini".

Tenggorokanku tercekat. "Maksudmu dia bisa pulang.. Maksudku, tinggal bersamaku?" Joshua hanya mengangkat bahu dan tersenyum penuh arti

"Lalu apa yang harus aku lakukan untuk itu?" tanyaku.

"Apa yang harus kita lakukan, Anna. Kau tidak sendiri". Dia kembali menatapku lekat-lekat. Aku memang hampir lupa bagaimana rasanya memiliki seorang ibu. tapi rasanya tatapan Joshua sekarang seintens tatapan seorang ibu pada anaknya. "pertama-tama yang perlu dilakukan adalah lihat dia seperti kau melihat ayahmu, bukan karena kau melihat orang yang otaknya sedang rusak".

Aku tidak melihatnya seperti orang yang otaknya sedang rusak," kataku membela diri.

"Itu bukan tuduhan. Itu sesuatu yang baru saja ku saksikan diluar tadi". Aku membisu sejenak saat kalimat itu menggema di kepalaku, lalu tertunduk karena pipiku mendadak terasa membara.

"Dan cobalah bicara dengannya....", katanya lagi. Firasat ku mengatakan kalimat selanjutnya yang akan meluncur daru bibirnya bukanlah hal bagus––dan itu terbukti, ".... Mengenai keluarganya. Mendiang istri dan anak laki-laki nya, beserta kau".

Aku serta merta menggeleng cepat. "Tidak. Tidak! aku tidak bisa melakukannya. itu akan menyakitinya". Dan praktis menyakitiku juga.

"Psikoterapi itu sudah sejak awal diterapkan dan hasilnya selalu mengecewakan. Tapi selama ibu kita belum mencoba itu melalui perantara dirimu".

"Karena aku menolak".

"Ya, dan aku mengerti alasan mu",sahutbta cepat. "Sempat kuprediksi juga hal itu tidak akan banyak membantu. Tapi kali ini berbeda." ada jeda panjang sebelum dia melanjutkan, dan selama itu jantungku mengentaj-entan tak beraturan. "Peningkatan yang terjadi padanya merupakan sebuah pertanda untuk mencoba metode baru".

Aku menggeleng. "Jika kau memintaku––"

"Dengarkan aku duku",selanya. "Kau percaya padaku,kan?" aku mengangguk ragu. "Dia membutuhkan putrinya. Karena jiwa sesungguhnya dari ayahmu, aku yakin sedang berjuang mencari jalan keluar untuk mengambil alih tubuhnya dan pikirannya sekali lagi. Demi menemui mu. Dia membutuhkan mu untuk percaya padanya. Untuk memberinya kesempatan."

"Kau yakin ini akan berhasil?" bisikku serak.

"Aku tidak bisa menjamin apa-apa. kau tahu itu. Tapi kau juga tahu bahwa jika ada sesuatu yang mutlak mustahil, itu adalah hasil dari tidak pernah mencoba".

Aku tertegun beberapa saat, lalu kembali meraih cangkir teh ku yang sudah dingin dan menebaknya habis.

***

Yang bab 1 tinggal 1 periode lagi nih😂.

Love,
Nalmaa16

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Almost 10 Years AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang