Bab 1 (two)

13 1 0
                                    

***

"Anna!" seseorang memanggilku ketika pria itu sudah diisolasi di ruangannya. Mungkin sudah diikat di ranjang besi, mungkin sudah dicekoki pil-pil penenang karena teriakan nya semakin melemah.

Aku tetap bergeming di tempatku, menatap serial Tom Thorne terbaru yang tadi dicampakkannya di lantai. Novel pemberianku tempo hari.

"Anna". Tepukan di punggungku menyentakku. "Apa yang kau lakukan?".

"Aku... Aku tidak tahu", sahutku nyari berbisik. Jas putih dan aroma mint. Joshua Madison, sang psikiater. "Jangan khawatir aku tidak akan kembali sebelum mengganti warna rambutku".

"Anna–––"

"Apa warna yang menurutmu cocok untukku kali ini?"

"Anna–––"

"Warna rambut Ginny Weasley atau Luna Lovegood?"

"Anna, lihat aku!"

Aku masih bergeming. Bodoh jika aku menengadahkan wajah. Tatapan mata Joshua semacam punya daya magis menelanjangi seseorang. Dia akan langsung tahu level kerapuhanku saat ini––lebih rendah dari sekantung remah roti––dan itu adalah hal terakhir yang ingin kuperlihatkan kepadanya.

"Kau butuh teh hijau hangat".

Ingin kujawab kalimat itu dengan, "Tidak, terima kasih". Tapi ini bukan ajakan basa-basi. Ini perintah.

"Ayo ke ruangan ku", tambahnya lagi.

Aku hampir terbujuk. Teh hijau hangat adalah favorit ku––sesungguhnya segala yang dituangkan Joshua untukku adalah favoritku––tapi kuyakini diriku bahwa aku tidak butuh apa-apa saat ini selain mengunci diri di flat. "Aku lelah josh. aku mau pulang aja".

"Jika aku membiarkan mu,entah apa yang mampu kau lakukan pada dirimu sendiri". Joshua meraih lenganku dan setengah menyeretku bersamanya. "Jadi jangan harap kau bisa pergu begitu saja".

***

Joshua langsung duduk dibalik meja kerjanya saat kami masuk. Aku selalu suka dekorasi ruangannya.

Dulu, disini hanya ada rak-rak yang menjulang sampai langit langit, berisikan buku buka yang menumpuk hingga terkesan membosankan.

Setelah Joshua menempati ruangan inu menggantikan dokter-dokter sebelumnya, dekorasi nya disulap menjadi lebih hidup dan dinamis. Rak-rak buku tak hanya di jejalkan buku-buku medis tetapi ada juga berbagai buku fiksi, sebuah globe berukuran besar, foto-foto berpigura, bahkan action figure Batman. Dindingnya dilapisi wallpaper motif langit biru cerah di satu sisi, sementara di ambang jendela ada pot tumbuhan peppermint dan lavender yang menyebarkan aroma menyenangkan.

Suara musik juga tak pernah absen, kali ini lagu Dear Prudence dari The Beatles mengalun lembut seperti panggilan untuk tidur siang.

"Duduklah, Anna" Ajaknya padaku yang masih berdiri di ambang pintu.

Kupandangi ruangannya sekali lagi dengan ragu sebelum melangkah masuk dan menutup pintu. "Bisakah kau berhentu memakai nada seperti itu? Aku belum resmi menjadi pasienmu."

Almost 10 Years AgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang