2

383 48 3
                                    

Jalinan kata yang tak pernah terucap.

Menimbulkan penyesalan atas betapa bodohnya dunia.

Menjejal pemikiran setiap makhluk bahwa sesungguhnya mereka itu tidak berguna.

Tapi tidak.

Manusia tidak selemah itu.

Dan terlebih, mereka bukanlah sampah.

Yang setelah dibuang, berakhir ke penggilingan.

Mereka berbeda.

Setiap makhluk berharga.

Tuhan menciptakan itu bukan untuk pengolokan.

Justu pembuka hati, yang mungkin saat ini sebeku es.

Perbedaan bukan kesalahan.

Justru kriteria.

Pembeda satu dengan lainnya.

Bahkan sampah pun akan didaur ulang, dan menjadi baru.

Begitulah hinata, pembeda kageyama.

Tak ada yang sama persis.

.
.
.
.

Semerbak tirai mengacau tidurnya. Bersamaan dengan pembiasan sinar sang surya melalui kaca jendela. Ia menggeliat, mencari posisi aman dari cahaya menyilaukan. Bolak-balik menggulung tubuhnya yang masih terasa kebas.

Perjalanan pulang semalam—dengan udara dingin mencekik pernafasannya—terasa sangat melelahkan. Terutama kekesalannya pada partner iblisnya satu itu. Tak henti ia menggeram sepanjang perjalanan. Apalagi pekerjaannya memaksa untuk mempertemukannya–dia dan si iris mata biru kelam–hampir setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan detik. Ia bisa gila karenanya.

Setelah tak berhasil menemukan tempat aman, Hinata membuka kelopak matanya perlahan. Intensitas cahaya masuk menerobos kornea matanya, membuatnya mengerjap beberapa kali–sebelum akhirnya terbuka–. Dirasakan tubuhnya sangat berat, sebelum akhirnya mendongak ke atas. Ia melonjak kaget. Adiknya berada dihadapannya–mengkungkung tubuhnya–dengan memanyunkan bibirnya lucu.

"Kakak! Bangun!!," bentaknya.

Hinata terkekeh. Adiknya masih saja imut. Berbanding terbalik dengan partnernya yang seperti mimpi buruk. Ia heran. Kenapa saat pemilihan partner, dia dipasangkan dengan kageyama?.

Jelas sifat mereka berbeda jauh.

Hinata terbiasa gembira dan ceria dihadapan semua orang, sedang orang itu terlampau cuek dan tidak peduli. Bagai matahari dan rembulan. Terkadang ia tak dapat memahami pemikiran atasannya.

"iya iya, ini aku bangun, tsu-chan," hinata berujar sembari menyingkirkan tubuh bocah berusia 16 tahun tersebut.

Hinata Natsu.

Helai secerah senja dengan kelopak mata yang seperti pohon musim gugur. Sangat mirip dengannya seperti dopelgangger. Tubuh semampai yang ramping, ideal anak sekolah menengah atas.

Adiknya memang karunia tuhan. Lihatlah betapa cantiknya dia sekarang!. Bahkan perjuangan hinata merelakan masa mudanya terbayarkan.

Hinata mengulas senyum, bahkan sebelum ia menyadari itu. Ia seperti disejukkan hanya dengan memandangnya. Baginya, adiknya adalah segalanya.

"Bergegaslah, aku sudah memasak makanan favoritmu, onii," ujarnya dengan raut tak terbaca.

Hinata yang sibuk merapihkan pergelutannya semalam, memandang gadis didepannya nyalang. Sekiranya heran dengan rangkaian kata yang barusan ia ucapkan.

Between Us [Kagehina] (On-Hold) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang