Dark

423 94 25
                                    

Play mulmed,  Use Headphone 🎧

Mata Tiffany masih terus terjaga di sepertiga malam akhir yang tersisa. Dirinya masih terus terkekeh dengan berbagai lelucon yang dia dan Taeyeon tukar melalui chat. Kamarnya tidak lagi gelap di jam seperti ini karena cahaya  dari layar handphone dan lampu powerbank.

Jari-jemari Tiffany terus bergerak mengetikkan banyak kata disana, hingga akhirnya rasa keroncongan menyerangnya.

"Hah.. ''
Tiffany membuang napas, tubuhnya yang sudah lunglai  itu coba digerakkannya, dipaksa berjalan dan jadilah seperti mayat hidup yang berkeliaran di dalam rumah.

Kakinya menuruni anak tangga dengan perlahan karena kondisi ruangan yang gelap, sulit untuk melihat. Satu persatu dilaluinya dengan berhati-hati. Sampai dirinya terhenti di depan sebuah lemari yang menyimpan banyak makanan.

"Ck, "
Tiffany berdecak kesal saat melongok, melihat ke dalam. Disana tidak ada apa-apa kecuali air putih dingin. Tidak ada pilihan lain, pada akhirnya dia menarik kasar beberapa botol dari tempatnya dan membawanya ke meja makan.

"Haiish,"  Tiffany mendudukan dirinya, memegangi perutnya yang terasa semakin perih.

"Mianhae." Tiffany mengelus perutnya, meminta maaf untuk dirinya sendiri karena tidak bisa memberikan nutrisi yang layak di saat dirinya butuh.

"Mianhae. " Ulangnya lagi, kali ini tangannya dengan cekatan membuka botol minuman itu. Menenggaknya sampai habis, agar perutnya terasa terisi.

Rasanya perut Tiffany kembung, membuatnya semakin sulit untuk berdiri kembali ke kamar. Jadi dia memutuskan,  untuk duduk sebentar. Pandangannya menerawang keseluruh ruangan, yang entah kenapa berubah menjadi mencekam. Mungkin karena tengah malam, tapi daripada itu ada yang tidak bisa Tiffany tahan, rasa kantuk.  Yang membuat matanya ingin terpejam.

Tok.

Tok.

Tok.

"Siapa? "
Tanya Tiffany pelan dengan kondisi setengah sadar, kepalanya ia sandarkan di meja makan. Ia mengantuk tapi terlalu malas untuk kembali.

Tok.

Tok.

Tok.

"Siapa?! "
Tiffany sedikit menaikkan suaranya, sebal terhadap orang yang tidak tahu waktu untuk bertamu.

Tok.

Tok.

Tok.

"Harrrggh. "
Tiffany menggeram,  kepalanya ia angkat untuk bangkit dan menoleh ke arah jendela. Tempat sumber suara itu datang.

"Jendela? "
Tiffany bertanya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Tok.

Tok.

Tok.

Suara itu kembali hadir,
membuat bulu kuduk Tiffany berdiri.
Membuatnya menelan ludah, terjadi sesuatu yang jelas tidak beres disana.

Ada masalah,

masalahnya adalah siapa,
yang bisa mengetuk jendela apartement di lantai 12 saat tengah malam?

Tiffany bangkit berdiri, 
"Auwhh. " Dirinya spontan mengaduh kesakitan saat kakinya terantuk kaki meja makan.  Tapi itu tidak menghalanginya untuk terus berlari menaiki anak tangga. Intuisinya mengatakan ada sesuatu yang mengundang bahaya jika dia terus disana.

Napas Tiffany memburu, ngos-ngosan.
Beruntungnya beberapa meter lagi dirinya bisa masuk ke dalam kamar. Sesaat dirinya merasa lebih aman,sampai akhirnya suara jeritan itu menggema memenuhi ruangan. Jeritan yang suaranya sarat akan ketakutan, jeritan yang memperdengarkan sebuah keputus-asaan. Sebuah jeritan,  yang  teramat Tiffany kenal karena itu adalah suara dari wanita yang telah mengandung dan melahirkannya.Ya, itu suara Eommanya.

Eommanya,
Menjerit, memanggil nama Tiffany.

Meminta tolong.

Memohon,
untuk membuka pintu kamar.

Refleks, Tiffany menurutinya.
Mendorong pintu kamar yang selalu jadi saksi pertengkaran kedua orangtuanya itu. Begitu dia membukanya, Tiffany menemukan bau anyir yang lebih pekat dari beberapa hari lalu yang sempat ia cium di mobil Taeyeon.
Bau anyir yang begitu menusuk hidung yang berasal dari tubuh dua orang yang dia kenal.

Appa dan Eommanya,
tergantung terbalik di langit-langit kamar dengan darah yang mengucur deras dari leher keduanya karena kepala mereka yang nyaris tidak menyatu lagi disana.

Tiffany ingin berteriak, tapi tak mampu. Saat itu hanya satu yang dia rasakan,  ketakutan yang luar biasa.

Tiffany secepat mungkin mencoba berbalik,  mencoba pergi mencari pertolongan. Tapi tidak jadi, tertahan. Saat sosok dengan baju serba hitam dengan samurai berlumuran darah itu berdiri di depannya.

" Hajima. "
Tiffany bergerak mundur saat orang itu mendekat ke arahnya, menghunuskan pedang itu ke arah lehernya.

"Hajima, "
Tiffany menangis dengan suara tertahan saat tubuhnya menghantam dinding.

"Jebal. "
Tiffany memohon.

"Akhhh. "
Tiffany menahan rasa perih saat ujung samurai itu menggores tipis pipinya.

"Jangan lakukan ini!"
Tiffany melemparkan berbagai barang yang dekat dengan jangkauannya ke arah sosok itu.  Membuat sosok itu mundur menjauh.
Semua yang sedang dia lalui saat ini terasa begitu menakutkan tapi dari semuanya ada hal yang lebih menakutkan, membuatnya kehilangan harapan.

Yaitu ketika Tiffany mencoba mengambil ponselnya,  menekan nomor telepon seseorang yang ia yakini bisa menolongnya.

Tebak nomor telepon yang ia hubungi itu kenapa?













Bukan,  nomor telepon itu bukan tidak aktif. Panggilannya justru tersambung dan membuat Tiffany menyesal telah melakukannya.

Karena ponsel yang dihubungi Tiffany sekarang tengah bergetar, tepat di saku jaket sosok serba hitam yang tengah menatapnya tajam sambil menyeringai.

"Tiffany,"
Panggil sosok itu.

"Kini kau tidak akan terluka lagi ."

END

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diary'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang