Sudah berhari-hari, Zilong menuruti permintaan Alu yang satu: berlatih bersama.
Hanya itu yang permintaan yang ia kabulkan. Selain itu, tidak ada. Ia tahu permintaan Alu akan semakin aneh jika ia terus mengabulkannya dan menurutnya satu-satunya permintaan Alu yang menguntungkannya hanya berlatih bersama. Bukan hanya melatih fisiknya, namun itu juga menguntungkan Zilong dalam hal bersosialisasi juga. Ia lebih mengenal orang asing yang ada setiap harinya.Meski begitu, Alu tetap mengikuti Zilong kemana pun ia pergi. Semuanya kecuali kamar ayahnya, kamarnya, dan kamar mandi (itu pun terkadang Alu nyaris masuk dengan alasan 'aku lupa kau disini' atau 'aku ingin lihat bentuk fisikmu yang sebenarnya!')
Memang, Alu tidak lagi membuatnya merasa kesepian. Ia jauh lebih menempel padanya daripada Chou. Lebih berisik, dan lebih menyebalkan. Namun, seperti Chou, Alu adalah orang yang cerdas. Ia tidak mengusik atau membuat Zilong sakit kepala dengan pertanyaan bodoh atau pernyataan bodoh.
Hanya saja ia butuh waktu sendiri. Waktu istirahat. Waktu dimana ia bisa diam dan membiarkan angin mengelus kepalanya dengan sunyi. Tanpa gangguan suara ataupun padangan yang mengganggu.
Adakah ia punya waktu untuk itu?
Mungkin.
Adakah ia punya kesempatan untuk sendiri?
Jika Alu lengah dan tidak mengikutinya, tentu saja.
Adakah tempat baru yang bisa ia tempati untuk bernafas dan beristirahat?
Tidak tahu.
Atau mungkin...
Padang rumput itu.
Padang rumput yang membuatnya tenang.
Padang rumput yang membuatnya takjub.
Padang rumput yang hijau seolah-olah lahir dari sang ibu. adalah padang pasir sahara yang baru lahir dan berwujud segar dan hijau, tak seperti ibunya yang sangat luas namun tak berkehidupan dan kejam.
Sudah dua hari berlalu ia tak melihat padang rumput itu. Tak tahu apa kabarnya.
Bagaimana wujudnya saat siang hari? Saat malam, ia menggunakan gaun hitam indah dihiasi oleh bulan dan bintang dengan pernak-pernik kunang-kunang.
Apa wujudnya saat siang?
Zilong jadi penasaran. Tak bisa dipungkiri, rindu juga ia pada tempat itu. Rindu dengan ketenangannya. Mungkin, jika ia merasakan ketenangan itu sekali lagi, ia bisa bertahan dengan alu yang selalu menempel padanya seperti lintah. Dan membuatnya kesal dan gatal untuk memukulnya seperti kutu.
Zilong melirik Alu. Ia sibuk berlatih dengan Chou. Tak sia-sia, ia menggunakan kekuatannya untuk berubah menjadi api dan lari secepat mungkin keluar menuju gerbang kuil. Toh, mungkin Alu tak mengenal wujud apinya itu. Zilong tak pernah ingat pernah menunjukkannya pada Alu.
***
Pohon rindang nan subur menggugurkan daunnya yang menguning. Angin yang kejam meniup daun-daun yang tak berguna dari induknya. Angin yang kejam itu, juga meniup kapas putih yang menggantung di langit yang biru. Menutupi sang surya yang bersinar dengan terik. Begitu panas dan terang hingga membuat semua makhluk yang dibawahnya mencari perlindungan dari panas matahari yang tak terampunkan.Begitu juga dengan seorang pemuda yang tak tahan dengan teriknya sang matahari. Ia berlindung di bawah pohon yang rindang nan subur. Tumbuh di tengah-tengah padang rumput, hijau dan sejuk. Angin, yang meniup daun-daun dari pohon membuat melodi yang indah di tengah-tengah pancaran matahari yang panas. Siapa yang tak ingin mengunjungi si pohon yang besar dan anggun itu?
Sang pemuda berlari melewati padang rumput yang terang dan terik, dengan kejamnya membakar kulit bagi siapapun yang menginjakkan kaki ke situ.
Tanpa permisi, ia berlindung dibawah pohon dan berbaring, membiarkan keringatnya menetes dari setiap pori-pori kulitnya yang mulus dan putih. Membiarkan kulitnya tertiup oleh angin. Membiarkan telinganya lagu dari sang angin, yang memainkan instrumennya dengan bebas. Menggesekkan daun pohon dengan lihai dan bagi siapapun yang mendengarnya, pasti dibuat kantuk dirinya."Selama ini kau disini?" Suara seseorang menghancurkan lagu sang angin. Sang angin pun menghentikan lagunya. Memberikan pengganggunya itu kesempatan untuk mengeluarkan suara.
Sang pemuda yang berbaring membuka matanya. Yang ia lihat sebelum ia menutup matanya, adalah pohon dengan daun-daunnya yang bergoyang, menggeseki satu sama lain, bertahan agar tak tertiup angin. Begitu pula ranting pohon yang menahan daun-daunnya agar tak terbang pergi dari sang induk.
Sekarang, yang ia lihat adalah wajah seorang pemuda yang ia kenal. Warna kulitnya pucat rambutnya pun pirang pucat. Kepalanya sedikit tirus menambah cekungan di pipinya. Matanya terlihat sinis walaupun sebenarnya itu adalah sepasang mata yang tak sengaja terlihat jahat. Mulutnya nyaris tak terlihat. Pucat seperti warna kulitnya, terlihat melengkung ke atas.
"Aku baru saja sampai disini. Apa maumu?" Si pemuda terlihat kesal, tidur siangnya yang ditemani oleh pohon dan angin malah dirusak oleh pemuda berwajah seperti vampir ini.
"Galak sekali... aku hanya ingin bersamamu, apa itu tak boleh?" Tanya si wajah vampir ini dengan muka polos yang dibuat-buat.
"Tidak. Kau mengganggu. Pergi." Si pemuda kembali menutup matanya dan mencoba kembali tidur.
Ia masih merasakan hembusan napas yang hangat di kulit wajahnya. Ia membuka matanya sekali lagi dan wajahnya benar-benar merah seperti tomat. Kesal karena ia tidak dibiarkan tidur oleh si wajah vampir brengsek ini.
"Kubilang, pergi."
"Ayolah. Aku tak akan pergi sampai kau membiarkanku berbaring disampingmu. Aku suka tempat ini. Berbagilah."
"Tidak. Aku menemukan tempat ini duluan. Pendatang harus pergi."
"Baiklah."
Ia tidak beranjak. Si pemuda masih merasakan hembusan napas di wajahnya. Angin yang sejuk malah menjadi hangat dan gerah dan juga tidak sehat (tentu saja, kau tahu, napas mengandung CO2?)
Sekali lagi ia membuka matanya. Wajah pucat itu masih ada di depan matanya. Terbalik, pucat, dan menatap balik si pemuda dengan lekat. Jelas, siapapun yang berada di situasi ini merasa risih.
"Kau senang melihat wajahku dari bawah?"
"Kau senang membungkuk dan mengganggu tidur siangku?"
"Jadi... itu artinya aku boleh...??"
"....jangan terlalu dekat. Ini panas"
"Akhirnya!!" Si pemuda tertawa kecil penuh kegirangan. Ia langsung merebahkan dirinya dan menutup matanya.
"Kau benar-benar tahu tempat yang enak untuk istirahat setelah latihan! Dan kau tidak mau berbagi? Pelit sekali! Haaahh.... kau tahu? Tombakmu lebih ringan daripada pedangku! Seharusnya kau membiarkanku tidur disini. Aku jauh lebih kelelahan daripada dirimu. Dan—"
"Jika kau meremehkan tombakku lagi, aku akan benar-benar menusukmu dengan itu."
"Masih galak? Oh ya... maaf tuan, tamu hanya bisa diam dan mendengarkan bukan? Baiklah baiklah."
"Aku benar-benar ingin menginjakmu"
"Kau tahu apa? Aku suka melihat wajahmu seperti tadi. Meskipun wajahmu terbalik karena aku berdiri diatas kepalamu, tapi kau tahu, sebelum kau menyadari aku ada disini, kau terlihat begitu tenang dan damai."
"Ya, lalu?"
"Aku suka wajah itu."
"Menggelikan."
"Tapi kau tahu... tidak, kau tidak tahu. Maka akan kukatakan sekarang. Kau pasti akan merindukan wajahku yang melihatmu dari atas."
"Aku akan merindukan waktu dimana kau belum datang ketempat ini. Jangan berharap, Alucard." Zilong memunggungi Alucard dan menutup telinganya.
Alucard tersenyum melirik ke arah si pemuda yang memunggunginya.
"Kau pasti akan merindukannya, Zilong. Terkadang sesuatu yang sering mengganggumu bisa membuatmu merindukannya saat ia pergi. Itu pernah terjadi padaku. Kau pasti merindukannya."
"Semoga berhasil."
"Hei omong-omong, aku tak menyangka kau menyukai tempat ini." Kata Alu. "Kukira kau bosan lho."
Zilong tidak menjawab. Mulai ia bersandiwara. Bersandiwara menjadi seorang yang tertidur. Dalam hati, ia memang berkata 'tentu saja aku menyukai tempat ini.' Tetapi, ia tahu, itu hanya membuat Alu menggodanya hingga wajah Zilong menjadi merah karena marah.
"Aku suka anginnya. Aku suka daunnya. Aku suka pohonnya. Aku suka rumputnya." Alu masih berbicara. Apakah ia tahu bahwa Zilong masih bangun?
"Aku suka padang rumputnya. Aku suka bangunannya. Aku suka budayanya." Lanjut Alu.
"Sungguh, negara yang pantas untuk dicintai dan dilindungi. Tak bisa dipungkiri, bahwa aku bukanlah anak yang lahir di tanah ini. Tapi bukankah itu lebih istimewa jika orang yang tak pernah menginjak dan mengenal tanah ini langsung mencintainya?"
Zilong tersanjung mendengar seseorang yang asing mengatakan bahwa ia cinta negaranya.
"Tapi tentu saja, aku tak akan mengenal negara ini tanpa dikenalkan. Aku tak akan mengenal padang rumput ini jika tak ditemani."
Ia membicarakan dirinya?
"Orang yang membuatku mencintai negara ini, sepantasnya kucintai lebih dulu. Orang yang membuatku bahagia dan senang di negara ini, sepantasnya kucintai melebihi negara ini. Orang yang membuatku mengenal hal baru dan mengenal kecantikan negara ini, haruslah aku mengenal keindahan dan kehebatan dirinya. Tanpa dirinya, mana bisa aku temukan kecantikan dan keagungan negara dan padang rumput yang hanya kita berdua di dalamnya?"
Wajah dan tubuh Zilong mulai memanas.
"Meski begitu, jika aku melihat kegagahan, keagungan, kehebatan, dan keindahan sang pengantar cerita negeri yang menajubkan ini, pastilah hatiku tak tertolong jatuh kedalam lembah penuh asap belerang cinta. Tak peduli jenis kelaminnya, tak peduli sifatnya, tak peduli apa yang ia sukai. Tetap saja, keindahan suara, keindahan matanya, semuanya. Mendorongku ke lembah— oh bukan. Jurang cinta yang curam dan dalam. Biarlah kataku. Perasaan ini juga baru dan indah pikirku."
Alu terdiam. Terdengar hembusan nafasnya yang tenang dan panjang. Tampaknya, sang angin dan pohon mulai meneteskan air mata ketenangan pada Alu. Ia tertidur dan dibelai oleh angin yang lembut dan telinganya dinyanyikan lagu oleh sang pohon dan rantingnya dengan instrumen daun yang bergesek seperti biola dengan busurnya.
Pastilah, orang yang mendengarnya langsung tertidur oleh ketenangan.
Namun sayang Zilong tak bisa mendengar lagu alam yang sedang berlangsung.
Gilirannya untuk mendengar lagu alam, sekarang giliranmu mendengar laguku. Kata detak jantung Zilong yang berdetak seperti gendang yang dipukul. Tak henti-hentinya ia berdetak. Tak ingin dirinya Zilong menolehkan telinganya pada alam. Jantung itu, menjadi komposer didukung oleh semua kata-kata Alu yang baru saja ia dengar.
Terngiang-ngiang terus dikepalanya hingga jantungnya juga ikut terngiang dan membuat darah menjalar ke wajah dan semua tubuh Zilong menjadi merah dan panas.
Berdesir darahnya seperti desir pasir di padang sahara.
Tak henti, dan tak memberi ampun hingga Zilong, tertidur karena tak kuat memikirkan kata-kata tadi.
.
.
.
((SUAMI MU PINGSAN KARENA KAMU MAS ALU))
KAMU SEDANG MEMBACA
When you look down at me
FanfictionSeorang pria yang usil dan menyebalkan selalu mengganggu pemuda Cina yang selalu menggerutu. Ia selalu mengganggu tidur siangnya. Ia selalu memaksa untuk membagi kan tempat tidur siangnya. Ia selalu menghembuskan napasnya ke wajah si pemuda Cina. Ia...