Prolog

371 37 11
                                    

Pohon rindang nan subur menggugurkan daunnya yang menguning. Angin yang kejam meniup daun-daun yang tak berguna dari induknya. Angin yang kejam itu, juga meniup kapas putih yang menggantung di langit yang biru. Menutupi sang surya yang bersinar dengan terik. Begitu panas dan terang hingga membuat semua makhluk yang dibawahnya mencari perlindungan dari panas matahari yang tak terampunkan.

Begitu juga dengan seorang pemuda yang tak tahan dengan teriknya sang matahari. Ia berlindung di bawah pohon yang rindang nan subur. Tumbuh di tengah-tengah padang rumput, hijau dan sejuk. Angin, yang meniup daun-daun dari pohon membuat melodi yang indah di tengah-tengah pancaran matahari yang panas. Siapa yang tak ingin mengunjungi si pohon yang besar dan anggun itu?

Sang pemuda berlari melewati padang rumput yang terang dan terik, dengan kejamnya membakar kulit bagi siapapun yang menginjakkan kaki ke situ.
Tanpa permisi, ia berlindung dibawah pohon dan berbaring, membiarkan keringatnya menetes dari setiap pori-pori kulitnya yang mulus dan putih. Membiarkan kulitnya tertiup oleh angin. Membiarkan telinganya lagu dari sang angin, yang memainkan instrumennya dengan bebas. Menggesekkan daun pohon dengan lihai dan bagi siapapun yang mendengarnya, pasti dibuat kantuk dirinya.

"Selama ini kau disini?" Suara seseorang menghancurkan lagu sang angin. Sang angin pun menghentikan lagunya. Memberikan pengganggunya itu kesempatan untuk mengeluarkan suara.
Sang pemuda yang berbaring membuka matanya. Yang ia lihat sebelum ia menutup matanya, adalah pohon dengan daun-daunnya yang bergoyang, menggeseki satu sama lain, bertahan agar tak tertiup angin. Begitu pula ranting pohon yang menahan daun-daunnya agar tak terbang pergi dari sang induk.
Sekarang, yang ia lihat adalah wajah seorang pemuda yang ia kenal. Warna kulitnya pucat rambutnya pun pirang pucat. Kepalanya sedikit tirus menambah cekungan di pipinya. Matanya terlihat sinis walaupun sebenarnya itu adalah sepasang mata yang tak sengaja terlihat jahat. Mulutnya nyaris tak terlihat. Pucat seperti warna kulitnya, terlihat melengkung ke atas.
"Aku baru saja sampai disini. Apa maumu?" Si pemuda terlihat kesal, tidur siangnya yang ditemani oleh pohon dan angin malah dirusak oleh pemuda berwajah seperti vampir ini.
"Galak sekali... aku hanya ingin bersamamu, apa itu tak boleh?" Tanya si wajah vampir ini dengan muka polos yang dibuat-buat.
"Tidak. Kau mengganggu. Pergi." Si pemuda kembali menutup matanya dan mencoba kembali tidur.
Ia masih merasakan hembusan napas yang hangat di kulit wajahnya. Ia membuka matanya sekali lagi dan wajahnya benar-benar merah seperti tomat. Kesal karena ia tidak dibiarkan tidur oleh si wajah vampir brengsek ini.
"Kubilang, pergi."
"Ayolah. Aku tak akan pergi sampai kau membiarkanku berbaring disampingmu. Aku suka tempat ini. Berbagilah."
"Tidak. Aku menemukan tempat ini duluan. Pendatang harus pergi."
"Baiklah."
Ia tidak beranjak. Si pemuda masih merasakan hembusan napas di wajahnya. Angin yang sejuk malah menjadi hangat dan gerah dan juga tidak sehat (tentu saja, kau tahu, napas mengandung CO2?)
Sekali lagi ia membuka matanya. Wajah pucat itu masih ada di depan matanya. Terbalik, pucat, dan menatap balik si pemuda dengan lekat. Jelas, siapapun yang berada di situasi ini merasa risih.
"Kau senang melihat wajahku dari bawah?"
"Kau senang membungkuk dan mengganggu tidur siangku?"
"Jadi... itu artinya aku boleh...??"
"....jangan terlalu dekat. Ini panas"
"Akhirnya!!" Si pemuda tertawa kecil penuh kegirangan. Ia langsung merebahkan dirinya dan menutup matanya.
"Kau benar-benar tahu tempat yang enak untuk istirahat setelah latihan! Dan kau tidak mau berbagi? Pelit sekali! Haaahh.... kau tahu? Tombakmu lebih ringan daripada pedangku! Seharusnya kau membiarkanku tidur disini. Aku jauh lebih kelelahan daripada dirimu. Dan—"
"Jika kau meremehkan tombakku lagi, aku akan benar-benar menusukmu dengan itu."
"Masih galak? Oh ya... maaf tuan, tamu hanya bisa diam dan mendengarkan bukan? Baiklah baiklah."
"Aku benar-benar ingin menginjakmu"
"Kau tahu apa? Aku suka melihat wajahmu seperti tadi. Meskipun wajahmu terbalik karena aku berdiri diatas kepalamu, tapi kau tahu, sebelum kau menyadari aku ada disini, kau terlihat begitu tenang dan damai."
"Ya, lalu?"
"Aku suka wajah itu."
"Menggelikan."
"Tapi kau tahu... tidak, kau tidak tahu. Maka akan kukatakan sekarang. Kau pasti akan merindukan wajahku yang melihatmu dari atas."
"Aku akan merindukan waktu dimana kau belum datang ketempat ini. Jangan berharap, Alucard." Zilong memunggungi Alucard dan menutup telinganya.
Alucard tersenyum melirik ke arah si pemuda yang memunggunginya.
"Kau pasti akan merindukannya, Zilong. Terkadang sesuatu yang sering mengganggumu bisa membuatmu merindukannya saat ia pergi. Itu pernah terjadi padaku. Kau pasti merindukannya."
"Semoga berhasil."

When you look down at meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang