HAPPPY READDING....
Salsha menuruni bus dengan wajah kusut, khas baru bangun tidur. Rambut sepunggung miliknya dibiarkan acak-acakan. Di belakangnya, sosok Dimo dan Steffi mengikuti.
"Chindaaaai!" Seorang wanita berjilbab muncul dari dalam rumah bercat hijau-putih dengan senyum mengembang.
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu seketika menoleh. Senyumnya ikut mengembang saat menyadari siapa yang meneriakkan namanya tadi. "Mamaaa!" Ia pun berlari dan menghambur ke pelukan wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mama Aldi tersebut.
Mama yang siang itu mengenakan jilbab krem dan terusan coklat tua polos mengelus punggung calon menantunya yang sedang beliau peluk. Kemudian melepaskannya beberapa saat kemudian. "Gimana perjalanannya? Capek, ya?"
Salsha menggeleng mantap. "Enggak kok, Ma. Kan mau ketemu sama Mama, jadi bawaannya semangat."
"Aduh, sekarang udah pinter ngegombal, ya!" Mama menjawil hidung perempuan itu, gemas.
"Ehem."
Wanita berjilbab tersebut langsung menoleh saat mendengar deheman yang khas itu. Milik putra semata wayangnya. Membuat beliau kontan berbalik dan memeluk erat laki-laki yang jelas lebih tinggi darinya tersebut.
Aldi memeluknya dengan ekspresi datar. Begitupun ketika melepaskannya. "Aku sebenarnya merasa tersakiti loh, Ma. Masa Mama gak nyadar anaknya nontonin adegan temu kangen kalian?" gerutunya. Persis anak kecil yang sedang mengadu.
Mama terkekeh pelan seraya menjitak kepala anaknya. Lalu, beliau merasa sesuatu yang ganjal."Kalian... ke sininya gak bareng, ya? Kok tadi Mama liat Salsha turun dari bus,sih? Bukannya kamu bawa mobil?" tanyanya, mengungkapkan keheranan.
Aldi langsung memandang Mama dan Salsha bergantian. Namun saat mengingat apa yang dilakukan Salsha pada Dimo di bus tadi, rahangnya mengeras.
"Salsha kan mahasiswi,Ma. Harus ngikutin peraturan kampus, jadi mau gak mau yaa mesti naik bus sama temen-temen yang lain." Perempuan itu yang menjawab. Lengkap dengan senyum manis, namun tatapan menusuk ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh darinya.
***
Dokter Bella pura-pura tidak melihat saat Salsha melemparkan tatapan sinis ke arahnya. Ia malah tertawa dalam hati. Anak ingusan itu udah mau frontal kayaknya. Liat aja selama seminggu di sini. Kamu yang seneng, atau aku... bisiknya dalam hati. Sembari menurunkan koper pakaiannya dari dalam mobil milik Aldi.
***
Salsha menyeret kopernya dengan emosi. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki yang mengaku tunangannya ini bisa bersikap penuh perhatian pada perempuan lain. Perempuan yang jelas-jelas sedang mencoba menarik perhatiannya.Entah tidak peka, atau memang menikmatinya.
"Lo kenapa, sih?"tanya Steffi sambil memasuki kamar yang ditunjukkan Mama Aldi tadi. Kamar berwarna putih dengan aura nyaman.
"Gue sebel! Gila aja!Gue dosa apa sih sampe harus serumah sama Dokter Bella? Gak mungkin kebetulan gini. Dia pasti udah ngerencanain biar bisa serumah sama Aldi! Gue yakin! Ck!"
Steffi meletakkan tas miliknya ke depan pintu lemari besar di dalam sana. "Gue juga curiganya kayak gitu. Kalaupun ini kebetulan, kemungkinannya kecil banget. Apalagi buat Dokter Bella yang tadi aja udah usaha banget bikin lo gak semobil sama Dokter Aldi."
Perempuan berambut ikal di depannya tidak menggubris. Ia malah sibuk merapikan beberapa barang yang ia bawa ke atas meja kayu di samping tempat tidur.
"Eh, tapi... Kok lo keliatan gak suka gitu, sih?" lanjut Steffi. "Jangan-jangan lo cemburu, ya?Hayo, ngaku!"
Salsha spontan menoleh. Wajahnya masih ditekuk. "Enak aja lo!"
"Trus, ngapain daritadi ngomel gitu?" Perempuan berlesung pipi yang notabene adalah sahabatnya itu terus menggoda.
"Ya... Gue gak suka aja. Jadi dokter kok ganjen banget. Harusnya kan dia punya wibawa, karisma,whatever-lah. Kalo lagaknya kayak gitu sih, kita-kita pasti jadi gak respect lagi. Iya, kan?" Salsha menjawab dengan berapi-api.
Steffi tertawa dalam hati. Mereka berdua sudah saling kenal tiga tahun terakhir ini. Jadi, ia bahkan sudah bisa membedakan kejujuran dan kebohongan perempuan satu itu.
"Ngapain lo senyum-senyum gak jelas gitu?" tanya Salsha. Masih dengan nada sewot.
"Siapa yang senyum-senyum? Sok tau!" balas Steffi. Perempuan berlesung pipi tersebut mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. "Ini kamar siapa, sih?" tanyanya kemudian.
"Aldi."
"What? Ini... kamarnya Dokter Aldi? Trus ngapain kita tidur di sini? Emang gak ada kamar lain?" Steffi kedengaran shock.
Salsha langsung berbaring di atas tempat tidur dengan wajah penuh keletihan. "Gue gak suka tidur di kamar tamu. Katanya dari dulu emang kayak gitu. Eh, malah kebawa sampe pas amnesia gini . Mungkin karna kamar tamu jarang dipake kali, ya? Bawaannya horor, sih."
"Eh, jadi ntar kita tidur sama Dokter Bella juga?" Steffi ikut berbaring di sebelah kanan sahabatnya.
"Iya juga, ya?" Salsha mendengus kesal. "Kenapa dia mesti tinggal di sini juga, sih? Ck!"
***
"Salsha?"
Perempuan yang kini sudah mengenakan piyama bergambar chasper tersebut kontan menoleh. Memastikan penglihatannya sejenak, lalu... "Dimo? Kamu tinggal di sini juga?"
Dimo yang juga sudah mengenakan pakaian santai tersenyum tipis. "Iya, nih. Kebetulan banget."
"Kebetulan apa kebetulan?" Sebuah suara muncul dari arah dalam rumah.
Salsha dan Dimo menoleh bersamaan. Kemudian mendapati lelaki tinggi berkulit kecoklatan sedang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana kargo yang ia kenakan. Kacamata bening masih setia menghiasi kedua mata teduh miliknya.
"Saya shock banget loh denger kata kebetulan hari ini," sindir lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aldi tersebut. "Kebetulan gabung di acara penyuluhan ini, kebetulan satu bus sama Salsha, sampe kebetulan nginap di rumah saya. Kebetulan ternyata bisa datang terus-terusan ke kamu, ya?" lanjutnya dengan tatapan tajam. Tentu saja ke arah Dimo.
"Bukannya dunia ini emang penuh sama kebetulan, ya?" timpal Salsha. Ekor matanya melirik perempuan lain yang juga baru muncul dari dalam kamar.
Perempuan yang merupakan Dokter Bella itu menghentikan langkahnya tepat di sebelah Aldi. Dengan piyama putih bergambar teddy bear. Menghadap Salsha dan Dimo di depannya.
"Maksud kamu apa?"tanya Dokter Bella. Tersinggung akan kalimat terakhir yang didengarnya saat tiba di ruang tengah rumah Aldi.
"Gak pa-pa kok, Dok.Saya cuma ngomongin fakta tentang kebetulan," balas Salsha. Ia berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya masih kesal. Mengingat bayang-bayang Dokter Bella di mobil Aldi siang tadi.
"Kamu kenapa? Sejak kapan cara bicara kamu jutek gitu sama dosen?" tegur Aldi. Merasa tidak enak hati atas sikap tunangannya barusan.
"Aku kenapa? Perasaan biasa aja, deh."
"Salsha, cara bicara kamu itu dipelanin dikit. Kesannya gak sopan banget," ucap Aldi lagi.
"Mau-mau aku, dong!Ini kan suaraku. Aku bukan putri keraton yang ngomongnya harus lembut terus!"seru Salsha, antara emosi dan frustasi.
"Salsha! Kamu tuh-"
"Dokter Aldi, gakpa-pa, kok." Dokter Bella langsung menyela sambil memegang lengan kiri milik lelaki di sebelahnya.
Mata Salsha sontak dibuat melebar mendapati kejadian di depannya tersebut. What? Yang barusan itu... Aldi... Lebih ngebelain perempuan lain dibanding aku? Geramnya dalam hati. Lalu buru-buru meninggalkan ruang tengah dengan segenap emosi.
"Salsha! Kamu mau kemana?" adalah teriakan terakhir dari Aldi yang ia dengar sebelum keluar dari rumah.
***
"Sebel! Sebel! Sebeeel!!!" Perempuan berpiyama chasper itu menginjak-injak tanah sekuat tenaga. Ia duduk di atas saung yang terletak di dekat puskesmas yang besok pagi akan menjadi tempat penyuluhan kesehatan dari dokter dan mahasiswa kampusnya.
"Eh, berisik banget!"Sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingnya. Suara berat khas laki-laki. Tanpa menoleh pun, Salsha sudah tahu bahwa itu adalah suara Dimo.
"Kamu pasti kesel banget gara-gara Dokter Aldi sama Dokter Bella tadi. Iya, kan?" lanjut Dimo. Ia ikut duduk di sebelah perempuan dengan wajah cemberut tersebut.
"Bukan sebel lagi. Aku malah pengen bikin orang babak belur sekarang." Salsha mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Membuat buku-buku jarinya memutih. Kukunya yang mulai panjang sedikit melukai telapak tangannya, namun tak ia pedulikan sama sekali.
"Aku juga sempet shock pas Dokter Aldi ngebelain Dokter Bella dan malah ngebentak kamu. Padahal,biasanya kalian kan mesra banget," komentar Dimo. "Kok Dokter Aldi bisa berubah gitu, ya? Aku aja pasti gak bakalan tega ngelakuin itu ke kamu. Apalagi kalo kamu itu... tunangan aku."
"Apa sebelum ini, dia juga suka ngomong kasar ke aku, ya?" gumam Salsha. Lebih untuk dirinya sendiri.Pandangannya menerawang, mencoba mengingat masa lalu. Namun tetap tak membuahkan hasil apapun.
Dimo meliriknya dengan senyum lebar. "Kalo kamu butuh bahu, aku selalu ada buat kamu."
Tanpa suara, perempuan itu langsung menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan Dimo. Menenangkan memang, namun tetap hangat dari Aldi yang terbaik.
***
Salsha memasuki rumah dalam diam. Tubuhnya sudah dibalut jaket tebal berwarna khaki milik Dimo.
"Kamu darimana aja?"Aldi langsung berdiri dari sofa ruang tamu. Menghampiri sang tunangan.Ekspresinya jangan ditanya lagi. Sudah mengalahkan istilah kebakaran jenggot saking cemas dan merahnya.
Perempuan itu melanjutkan langkahnya ke bagian dalam rumah dengan tatapan datar. Seolah-olah tidak mendengar pertanyaan lelaki berkacamata itu.
Merasa tak diacuhkan,Aldi langsung mencekal lengan kanan Salsha. Membuat tubuh mungil tersebut terhuyung ke belakang. "Kalo aku nanya, kamu jawab, dong!"
Salsha menoleh dan sontak melemparkan tatapan tajam ke dalam mata lelaki yang kini menggenggam lengan miliknya. "Mau kamu apa, sih?" tanyanya.
"Harusnya aku yang nanya. Mau kamu apa? Tiba-tiba pergi dari rumah, trus pulangnya sama cowok lain!" Aldi melirik Dimo dengan pandangan tidak suka yang sangat kentara.
"Apa peduli kamu?Hah?" sorak Salsha. Ia menyentakkan tangannya dengan kasar. Membuat genggaman Aldi spontan terlepas.
"Chindaaai!"
"Kenapa? Teriak aja!Bentak aku sampe kamu puas!!!" seru perempuan itu.
Sedetik kemudian,Steffi dan Dokter Bella keluar dari kamar. Disusul Mama dengan wajah khas bangun tidur.
"Kalian kenapa, sih?"tanya wanita paruh baya tersebut.
Aldi malah meremas kepalanya sendiri. Lalu melangkah memasuki kamar tempatnya dan Dimo tidur bersama untuk satu minggu ke depan. Meninggalkan kelima sosok yang masih bergeming di ruang tamu.
Sepeninggal putranya,Mama langsung mendekati dan merangkul pundak calon menantunya yang sedang memijat kepala tersebut. "Kalian kenapa sih, sayang?"
"Gak tau, Ma. Aku juga gak ngerti," balasnya. "Oh iya, Ma. Aku... boleh tidur sama Mama, gak?"
Mama mengerutkan dahinya sejenak. Kemudian mengangguk pelan, dan menggandeng Salsha menuju kamar.
***
Salsha menaruh piring berisi omlet untuk sarapan di pagi pertama mereka disini. Lalu duduk di kursi kosong yang terletak antara Aldi dan Steffi. Diseberang, duduk Dimo dan Dokter Bella. Sedangkan Mama duduk di ujung meja sebelah kanan Aldi seorang diri.
Mereka menyendok nasi goreng, omlet, dan nugget ayam ke piring masing-masing dalam diam.
"Oh iya, Dok..."Dokter Bella yang pagi itu terlihat lebih fresh dengan rambut kuncir kuda dan long dress merah muda memecah keheningan. "Kita langsung ngumpul dipuskesmasnya jam sepuluh, ya?"
Aldi mengunyah sejenak. "Iya, Dok. Ada apa?"
"Enggak pa-pa, sih.Cuma kita ke sana naik apa? Kemarin saya liat tempatnya lumayan jauh juga kalo jalan kaki."
Salsha melirik perempuan di depannya dengan ekor mata. Mau ngapain lagi nih si dokter ganjen?
"Saya sih biasanya kesana naik motor. Kebetulan di garasi rumah ini saya naro' motor biar gak ribet.Tapi karna kita ke sananya rame-rame, mungkin saya jalan kaki aja."
"Gimana kalo kita naik motor aja, Dok? Puskesmas itu kan jauh," balas Dokter Bella.
Salsha menghentikan kunyahannya dengan dahi berkerut. Kita? Nah, aku bilang juga apa! Pasti dia punya rencana lagi! Mau modus lagi! Ck!
Aldi langsung melirik perempuan di sebelah kirinya tersebut. Membuat sang objek buru-buru memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan pipi menggembung. "Saya kayaknya jalan kaki aja deh, Dok. Sekalian olahraga sambil ngobrol sama dosen dan mahasiswa yang lain," jawabnya.
"Tapi kan jauh,Dok..."
"Kenapa Dokter Bella gak naik motor sendiri aja?"
Jengjeeeng! Semua mata kontan menatap Mama yang baru saja nyeletuk dengan santainya. Salsha dan Steffi malah harus menahan senyum setengah mati.
"Saya gak tau bawa motor, Bu. Makanya saya minta Dokter Aldi yang bawa," ucap Dokter Bella. Tak lupa memamerkan senyum manis andalannya.
"Ya udah. Berarti Dokter harus rela jalan kaki. Kecuali kalo mau bawa mobil. Eh, tapi jalanan kepuskesmas itu agak sempit. Gak ada tempat parkir." Mama menjelaskan dengan raut wajah yang keras. Ekspresi yang belum pernah dinampakkannya di depan Salsha.
"Salsha gak apa-apakan jalan kaki ke sana?" Mama mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan mungil dengan rambut ikal tergerai dan mini dress summer di sebelah putranya.
Salsha menggeleng mantap. "Enggaklah, Ma. Di sini kan adem. Lagian kalo di sana aku gak pernah olahraga, bosen naik kendaraan mulu."
"Tuh, Dok. Dosen itu ya wong nDiih contoh ke mahasiswinya. Dokter gak malu apa liat mahasiswinya lebih semangat?"
"Uhuk! Uhuk!" Salsha langsung tersedak gara-gara menahan tawa sambil berusaha menelan makanannya.
Aldi buru-buru menyodorinya segelas air putih seraya menepuk-nepuk punggung perempuan itu.
Saat batuknya sudah reda, Salsha langsung menepis jemari tunangannya tersebut dengan kasar.Sisa-sisa emosi kemarin masih menguasainya.
"Oh iya, Di. Kamu harus jagain Salsha loh selama di sini. Mama gak mau dia kenapa-kenapa.Ngerti?"
Lelaki itu mengangguk mantap.
Sedangkan Salsha seketika mendengus kecil.
***
"Saya yakin kalo si Salsha minta bantuan mamanya Aldi buat ngebelain dia. Ck!"lirih Dokter Bella, diiringi decakan kesal pada akhirnya. Ia berjalan di barisan agak belakang bersama Dimo.
"Apa jangan-jangan mamanya Aldi yang gak suka sama kita, Dok? Tadi aja saya disinisin mulu Cuma gara-gara bantuin Salsha nyari buku." Dimo yang pagi itu terlihat santai dengan kaos polo abu-abu dan celana jeans berwarna senada tersebut memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan. Lalu menghirup udara segar disekitarnya tanpa sadar.
"Whatever-lah. Intinya dia bisa jadi penghalang rencana kita. Huh, percuma kita minta bantuan Dokter Difa biar kita bisa serumah sama mereka di sini." Dokter Bella menendang kerikil di depannya. Sekaligus melampiaskan kekesalan karena harus berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke puskesmas tempat penyuluhan diadakan.
"Iya juga, Dok. Jadi kita mesti gimana?"
Perempuan itu langsung melemparkan pandangannya ke arah Salsha yang sedang menoyor bahu Steffi di depan sana. "Kita tetep berusaha ngejauhin mereka aja. Gimanapun caranya."
***
"Lo kayaknya seneng banget," cibir Steffi ke arah sahabatnya yang melangkah dengan riang sedari tadi. Kadang sambil menyanyi, bahkan tertawa sendiri.
Salsha menoleh dan menatap perempuan berlesung pipi di sebelahnya sambil tertawa lebar. "Gakpa-pa, kok. Gue cuma seneng aja. Finally bisa terbebas dari suara anak kecil yang berisik, dan kerja di daerah terpencil."
"Idih, siapa tau disini kebanyakan anak kecil yang sakit, gimana? Ujung-ujungnya lo ngerawat anak kecil juga, kan?"
Langkah Salsha berubah pelan seketika. "Eh, iya juga, ya?" gumamnya. "Ah, sialan lo!" sambungnya sambil mendorong bahu kiri sahabatnya itu dengan kesal.
Steffi spontan tertawa puas.
"Eh, by the way,Dokter Bella kemana? Tumben gak nempelin tunangan lo," bisik Steffi sembari celingukan, mencari sang topik pembicaraan.
Salsha ikut mengedarkan pandangannya. Lalu menemukan perempuan yang dimaksud sedang berjalan di bagian agak belakang dari rombongan berjas dokter ini. Bersama Dimo."Tuh, dia ada di belakang. Lagi asik ngobrol sama Dimo," ucapnya sembari mengembalikan konsentrasi ke jalanan di depan.
Steffi menoleh dan mendapati keduanya sedang berbicara dengan serius. Kemudian ganti menatap Salsha. "Lo ngerasa gak, sih?" tanyanya.
"Ngerasa apa?"
"Dokter Bella sama Dimo... Mereka deket banget, kan? Kalo Dokter Bella gak nempelin Dokter Aldi kayak tokek, dia pasti bareng Dimo. Kayak sekarang. Gue jadi curiga."
"Curiga apa? Masa Dokter Bella doyan brondong macem Dimo? Jangan fitnah orang sembarangan, ah."
"Dasar sotoy! Bukan gitu maksud gue!" Perempuan berlesung pipi itu menoyor kepala Salsha dengan gemas. "Maksudnya, jangan-jangan Dokter Bella sama Dimo setongkol buat misahin lo sama Dokter Aldi, lagi. Yah, siapa tau kan..."
"Wah, parah lo! Ya gak mungkinlah. Gue kenal Dimo, dia itu baik banget. Kayaknya dia gak bakal sepicik itu. Apalagi dia kan ganteng, ngapain juga mau sama gue. Lagian gue sama dia udah selesai dari SMP. Gue aja udah gak punya feeling apa-apa sama dia."
"Who knows, Cha? Nothing impossible, right? Tuh, buktinya." Steffi menoleh. Lalu menunjuk Dokter Bella dan Dimo yang masih ngobrol, dengan dagu.
Salsha ikut memandangi kedua orang yang terlihat asik berbincang tersebut. Kedua alisnya menyatu.Ingin mengikuti kecurigaan sahabatnya, namun belum memiliki bukti nyata.Akhirnya, ia memilih mengembalikan pandangan. Ke arah sang tunangan yang berjalan di barisan paling depan, bersama beberapa mahasiswi yang terlihat berusaha menarik perhatiannya.
***
Salsha duduk di kursi depan puskesmas sambil menyelonjorkan kedua kakinya.Sudah jam makan siang, tapi ia belum menemukan semangat setelah tiga jam lebih berurusan dengan pasien di puskesmas tersebut. Bukan untuk mengobati, tapi untuk menerima wawancara sebagai tunangan Aldi. Entah mengapa karisma lelaki itu selalu saja membuatnya gerah menghadapi respon orang-orang di sekitar.
"Kok masih di sini,Cha?" Suara Dimo muncul di sebelahnya.
Salsha menoleh. "Iya,nih. Masih capek."
"Trus, Dokter Aldi mana?"
Perempuan itu kontan celingukan. Ia memang tidak sempat bertemu tunangannya sejak sampai dipuskesmas tadi. "Gak tau. Udah pulang, kali."
"Kamu gak mau pulang?"tanya Dimo lagi.
"Enggak, ah. Kamu sendiri, kenapa masih di sini? Gak laper?"
"Asal bareng kamu, aku udah kenyang, kok."
Salsha langsung tertawa geli. "Dasar tukang gombal! Kamu cocok tuh bikin geng sama Dokter Aldi."
Dimo yang tadinya ikut tertawa, seketika membeku.
"Aldi tuh ya, kalo aku lagi ngomongin masalah apapun pasti dibelokin jadi gombalan. Bener-bener gak pernah kekurangan stock." Perempuan itu melanjutkan kalimatnya seraya geleng-geleng kepala. Lengkap dengan senyum lebar. "Tapi ya itu, ngeselinnya lebih banyak. Huh! Trus-"
"Cha, gimana kalo kita nyari makan sekarang? Di deket sini ada warung, kan?" Tiba-tiba, Dimo sudah menggenggam jemari miliknya. Kemudian menuntunnya untuk beranjak meninggalkan pelataran puskesmas. Dengan sedikit terburu-buru.
***
"Salsha kemana, Ngel?" tanya Aldi sembari memperbaiki duduknya di kursi meja makan.
Steffi yang juga baru duduk di sana, menggeleng pelan. "Gak tau, Dok. Tadi Salsha masih sibuk nanganin pasien, jadi saya pulang duluan."
Pandangan lelaki berkacamata tersebut langsung tertumbuk pada kursi kosong di seberang meja."Dimo mana?"
Dokter Bella melirik kursi di sebelahnya. "Dia juga belum pulang dari puskesmas."
Mama ikut duduk diujung meja setelah meletakkan piring terakhir berisi sup ayam di depan ketiga orang di sana. "Coba telepon Salsha, Nak. Siapa tau dia udah jalan ke sini."
Aldi langsung merogoh saku celana panjang yang ia kenakan, kemudian menekan tombol 2 yang akan men-dial otomatis ke nomor handphone tunangannya. Nada sambung terdengar. Ia menunggunya dengan tidak sabar. Sampai nada konstan tersebut digantikan oleh suara operator pada akhirnya.
"Kenapa?" tanya Mamasaat mendapati putranya mendecak kesal.
"Teleponnya gak diangkat, Ma."
"Coba aku telepon Dimo,Dok. Siapa tau mereka lagi barengan," ucap Steffi sambil meraih ponselnya diatas meja. Lalu merutuk sesaat setelah mendapati tatapan tajam si dokter ganteng karena kalimat terakhirnya barusan. "Gak diangkat juga," lanjutnya kemudian.
Aldi sontak berdiri dari duduknya. Lalu melangkah meninggalkan meja makan.
"Kamu mau kemana,Di?" seru Mama.
Lelaki itu menoleh sekilas. "Nyari Salsha."
***
Aldi memelankan laju motor ninja miliknya sembari mengedarkan pandangan kekiri-kanan jalan. Setelah satu kilometer dari kediamannya, ia merasa melihat seorang perempuan mungil dengan jas dokter sedang jalan berdampingan bersama seseorang yang sangat ia yakini sebagai Dimo.
"Salsha!!!" sorak Aldi seraya menepikan motornya.
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu seketika berbalik. Lalu bertemu pandang dengan sang tunangan.
"Kamu darimana?" tanya lelaki yang sedang menatapnya tajam tersebut.
"Abis makan sama Dimo.Kenapa?"
Mata Aldi langsung membesar. Shock. "Hah? Kamu ini... Ck!" Ia lalu mengalihkan perhatiannya kearah Dimo. "Lo ngapain ngajak tunangan gue? Hah?"
***
Jengjeeeng!!!
Salsha langsung tegang mendengar Aldi yang sangat menjunjung tinggi keprofesionalan tersebut sedang berbicara menggunakan 'gue-elo' pada mahasiswa sekaligus asistennya sendiri.
"Salah Dokter, kenapa punya tunangan tapi malah ditinggal sendirian." Dimo melipat kedua tangannya didepan dada. Terlihat menantang. Membuat Salsha semakin menahan nafas.
"Lo nantangin gue?"Aldi melangkah maju, mempersempit jarak antara dirinya dan laki-laki yang memiliki postur tak jauh beda darinya tersebut.
"Dokter pikir saya takut?" Dimo tertawa meremehkan di ujung kalimatnya. "Apa saya mesti ngaku dulu kalo saya masih sayang Salsha baru Dokter mau ngejagain dia 24 jam biar gak saya rebut?"
BUK! BUK!
Salsha memekik tertahan ketika melihat tunangannya melayangkan kepalan tangan kanan ke hidung mantan pacar semasa SMP-nya sebanyak dua kali. Ia ingin berteriak, namun tubuhnya seakan dipaku. Ingin memisahkan, tapi takut jadi korban salah sasaran.
BUK!
Kali ini, giliran Dimo yang membalas. Hanya satu pukulan, tepat ke ulu hati Aldi. Membuat lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"KALIAN NGAPAIN?"sorak perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang tubuh Aldi.Kemudian berusaha menjauhkan kedua laki-laki yang sepertinya bisa saling menghilangkan nyawa jika tetap dibiarkan.
Perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dokter Bella itu sontak menarik kemeja Dimo, walau dengan susah payah.
"Kamu ngapain diem disitu? Kenapa gak misahin mereka, sih?" teriak Dokter Bella lagi, agak emosi.Untung suasana di sekitar mereka sedang sepi. Jadi tidak mengundang keramaian orang-orang.
Salsha yang menjadi objek teriakan Dokter Bella barusan hanya memasang ekspresi bersalah. Ia terlalu shock untuk berpikir apa yang bisa ia lakukan beberapa saat yang lalu.
"Kalo kamu bangga direbutin dua laki-laki sekaligus, seenggaknya kamu pikirin gimana keadaan mereka kalo babak belur atau cacat gara-gara berantem gak penting ini!" sambung perempuan itu, jemarinya masih meremas lengan kemeja Dimo.
Salsha menundukkan kepalanya dalam-dalam seraya memejamkan mata. Menghalau butiran bening mengalir tanpa izin di pipi mulus miliknya.
"Gue ingetin sama lo!Sekali aja lo coba-coba deketin tunangan gue, gue gak bakal bikin lo tenang!Ngerti?" Aldi mengusap keringat yang menetes dari dahinya dengan kasar. Lalu menarik pergelangan tangan Salsha untuk pergi, sebelum menabrak bahu Dimo dengan bahunya yang kekar.
***
"DAMN IT!!!"
Dokter Bella menatap Dimo yang berdiri di sebelahnya dengan dahi berkerut. Lelaki itu terlihat seperti sedang mencari objek untuk pelampiasan amarahnya. Namun entah kemana."Kamu ini kenapa, sih?"
Lelaki yang ia Tanya tersebut balik memandangnya dengan nafas terengah-engah, bekas pertengkaran tadi. Hidungnya bahkan mengeluarkan darah segar yang enggan ia pedulikan.
"Harusnya kamu bisa ngendaliin emosi kamu. Gimana kalo masalah ini makin panjang? Kamu itu statusnya masih mahasiswa, Dimo!"
"Dokter Aldi yang mulai mancing perkelahian tadi, Dok! Masa saya mesti tinggal diam?" Dimo menjawab sembari meneruskan langkahnya.
Dokter Bella langsung menahan kemeja lelaki itu. Membuat langkah lebar Dimo sontak berhenti. Lalu berbalik dan berhadapan dengannya.
"Kamu mau pulang dengan muka biru dan berdarah gitu? Gak takut diinteroDii sama mamanya Dokter Aldi?" tanyanya.
Lelaki tersebut spontan mengusap daerah di bawah hidungnya, tempat darah hasil bogem mentah Aldi mulai mengering. Ia meringis pelan sembari meraba hidung dan pipinya.Untung tidak ada tulang yang patah.
"Sini..." ujar Dokter Bella seraya menggandeng tangan mahasiswanya itu ke tepi jalan. Ke arah sebuah akar pohon yang lumayan besar berada. Kemudian duduk di atas sana, dan mengeluarkan sebungkus tisu basah dari dalam saku pakaiannya.
"Auw," ringisan Dimo semakin menjadi saat Dokter Bella mencoba membersihkan luka di wajahnya dengan selembar tisu basah. "Itu sakit, Dokter. Pelan-pelan, dong."
"Heh! Dasar gak tau diri! Udah untung saya mau bantu ngobatin!"
Lelaki itu sontak bungkam. Perempuan cantik manapun tetap saja terlihat menyeramkan saat marah.
***
Salsha memasuki kamar dengan wajah cemberut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tidak terlibat percakapan apapun bersama sang tunangan.
"Salsha, lo gak kenapa-kenapa?" Steffi muncul dari pintu dengan wajah cemas. "Tadi gue liat Dokter Aldi. Kok mukanya kayak lagi marah, ya? Lo darimana aja, sih?"
"Ceritanya panjang.Gue mau mandi dulu. Lo gak ke puskesmas?" Salsha balik bertanya dengan lesu.
"Ini, gue udah mau jalan. Mau barengan?"
"Gak usah. Lo duluan aja," balas perempuan itu sambil melangkah menuju kamar mandi yang berada disudut kamar.
***
Salsha duduk di atas tempat tidur sambil menguncir rambut sebahu miliknya.Rumah sudah sepi. Sepertinya penghuni yang lain sudah berangkat ke puskesmas untuk kembali melayani warga.
"Kamu udah mau kepuskesmas, sayang?"
Perempuan itu menoleh.Lalu menemukan sosok Mama sudah ikut duduk di sebelahnya.
"Iya, Ma."
Hening sejenak.
"Mama udah denger masalah kalian berempat," ucap wanita berjilbab tersebut.
Salsha kontan mengerutkan dahinya. "Hm?"
"Iya. Antara kamu,Aldi, Dokter Bella, dan Dimo." Mama mengelus rambut ikal calon menantunya itu."Kalian berdua kan udah tunangan, kenapa mesti cemburuan terus, sih?Seharusnya, mau berapapun orang yang ngedeketin kalian berdua, itu gak masalah.Toh kalian masih saling mencintai," lanjutnya.
"Aku juga mikirnya kayak gitu, Ma. Aku udah nganggep Dimo sebagai temen. Gak lebih, apalagi hubungan kami udah selesai lama banget. Tapi Aldi gak pernah mau terima kalo aku tetep akrab sama Dimo. Sementara dia bisa seenaknya deket sama Dokter Bella yang jelas-jelas selalu berusaha ngerebut perhatian dia dari aku. Egois kan,Ma?"
Mama tersenyum tipis.Jenis senyum menenangkan yang selalu dirasakan Salsha setiap melihat Aldi tersenyum ke arahnya. "Mama ngerti. Cuma harusnya kalian berdua ngehindarin orang-orang kayak Dokter Bella sama Dimo. Mama bukannya su'udzon atau apa yaa, Cuma Mama ngerasa ada yang aneh aja. Kok mereka berdua keliatannya getol banget ngedeketin kalian dalam waktu bersamaan?"
Salsha terdiam. Ia jadi teringat pembicaraannya bersama Steffi tadi pagi. "Tapi Dimo itu baik, Ma.Dia udah aku anggep sahabat banget. Kalo Dokter Bella sih gak tau."
"Tapi... who knows,sayang? Gak ada yang gak mungkin, kan?"
Deg! Kini, perempuan itu benar-benar mengingat kata-kata terakhir Steffi yang hampir sama dengan kalimat Mama barusan.
***
Entah sudah ke-berapa kalinya Aldi menoleh ke arah halaman puskesmas untuk memastikan kehadiran tunangannya. Ia sengaja berangkat duluan untuk menghindari rasa bersalah karena terpancing emosi beberapa jam yang lalu. Apalagi di depan calon istrinya sendiri.
"Ngel, Salsha belum dateng, ya?" Lelaki itu menghalagi Steffi yang lewat di depannya.
"Udah, Dok. Tuh, dia baru aja duduk di ruang tunggu. Ngobrol sama warga yang mau berobat," jawab perempuan berlesung pipi tersebut.
"Ya udah. Makasih,ya!" Aldi langsung melangkah ke ruang tunggu yang terletak tepat di depan pekarangan puskesmas itu. Lalu menemukan seorang perempuan berkuncir kuda dengan jas dokter sedang duduk membelakanginya.
"Waaah, berarti Salsha ini calon menantunya Ibu Irawati, ya?" Seorang ibu dengan anak kecil dipangkuannya terlihat bertanya sambil tersenyum lebar.
Aldi kontan menghentikan langkah. Memilih mendengar pembicaraan tunangannya bersama ibu-ibudi sana dari balik sebuah pilar.
"Iya, Bu." Perempuan itu balas tersenyum. Sesekali, ia menggoda anak laki-laki di pangkuan ibu didepannya.
"Jadi nikahnya kapan,dong?" tanya ibu itu lagi.
"Pasti ntar anaknya ganteng. Wong orangtuanya cakep gini," timpal wanita paruh baya yang lain.
"Ibu Irawati enak banget ya, punya anak sama menantu dokter..." Seorang ibu ikut menyeletuk.
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang hanya dibalas senyuman oleh Salsha. Membuat lelaki itu tidak tahan dan akhirnya memilih menghampiri mereka.
"Lagi ngomongin apa,nih? Kayaknya serius banget." Aldi langsung duduk di samping tunangannya dengan senyum bahagia. Seperti tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
Beberapa wanita paruh baya di sekitar seketika membeku. Ada yang balas tersenyum kikuk, ada yang melotot, bahkan menganga tanpa sadar.
Lelaki itu berusaha menyembunyikan tawanya. Kemudian merangkul pundak Salsha dengan erat.Menghalanginya jika berniat kabur.
"Aldi sama Salsha ini serasi sekali, ya... Kenapa belum nikah, sih? Kasian Bu Irawati, pasti udah mau gendong cucu." Ibu yang sedang memangku anak laki-laki tersebut membuka pembicaraan. Diikuti anggukan manta dari ibu-ibu yang lain.
Aldi bisa merasakan tubuh Salsha menegang dalam rangkulannya. Ia pun mengelus pundak perempuan itu,mencoba menenangkan. "Secepatnya kok, Bu. Doain aja."
***
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Salsha meletakkan sebuah piring besar berisi ayam rica-rica ke atas meja makan. Di belakangnya, Mama ikut menaruh semangkuk jumbo sayur sup kesukaan putranya.
"Salsha, kamu panggilin Aldi sama yang lain, ya!" ujar Mama seraya melepas celemek dari tubuhnya.
Salsha mengangguk pelan. Sepulang dari puskesmas tadi, ia belum mau membuka pembicaraan dengan lelaki itu. Walau sang tunangan sudah berkali-kali mencoba menarik perhatiannya. Ia juga berusaha menghindari Dimo dan Dokter Bella setiap mengingat insiden siang tadi.
Perempuan yang sudah mengenakan daster batik selutut khas ibu-ibu tersebut pun melangkah memasuki kamar yang ditempati Steffi dan Dokter Bella. Keduanya sedang sibuk melihat-lihat buku catatan nama pasien lengkap dengan keluhannya di atas tempat tidur.
Salsha berdehem pelan,membuat Steffi dan Dokter Bella kontan menoleh ke arah pintu kamar.
"Kenapa, Cha?" tanyaSteffi.
"Makanan malemnya udah siap. Mama nunggu kita di meja makan," balas Salsha. Ia bahkan enggan menatap Dokter Bella. Seakan menekankan kata 'kita' hanya pada dirinya dan sang sahabat.
"Oh, ya udah kalo gitu." Perempuan berlesung pipi tersebut langsung turun dari tempat tidur. Lalu memakai sendal mini mouse miliknya.
Salsha mengangguk,kemudian berbalik untuk kembali ke meja makan. Namun tiba-tiba, ia teringat sesuatu. "Eh, Ngel..." ucapnya seraya kembali memandang sahabatnya.
"Hm?"
"Lo tolong kasih tau Dokter Aldi sama Dimo, ya! Gue mau bantu Mama beresin meja makan soalnya."
"Okay," Steffi tersenyum memaklumi. Ia sudah bisa lulus dengan predikat cum laude dalam masalah memahami sahabatnya itu.
***
Aldi duduk paling terakhir di meja makan.Kemudian langsung memimpin doa makan. Setelah itu, bunyi piring dan sendok beradu pun terdengar bersahutan.
"Gimana, Di? Enak?"tanya Mama sambil melirik putranya.
Lelaki itu menghentikan kunyahannya sebelum menjawab. "Iya, Ma. Enak banget, malah."
"Mama jago masak, ya!Saya mau loh kapan-kapan diajarin masak yang kayak begini." Dokter Bella menimpali.
Mama sontak menatap perempuan dengan piyama merah muda tersebut. "Maaf loh, Dokter Bella. Bukannya gimana-gimana, cuma saya gak enak kalo dipanggil Mama sama orang lain, kecuali Aldi dan calon menantu saya." Beliau memasang ekspresi datar, dengan penekanan pada kata calon menantu.
Dokter Bella terlihat serba salah. Ia tersenyum kikuk seraya berujar, "Maaf, Bu. Saya keseringan denger Salsha manggil Mama, jadi ikut kebawa."
Salsha kontan memadangnya takjub. Gila, ngapain bawa-bawa aku, coba? Ck!
"Tapi masakannya bener-bener enak, Bu. Dan masalah belajar masak tadi, saya juga serius," lanjut perempuan itu. Lengkap dengan senyum manis andalannya.
Mama melirik Salsha sekilas. Kemudian mengembalikan perhatiannya pada Dokter Bella. "Emangnya Dokter gak bisa masak?"
"Enggak bisa, Bu. Baru masakan yang instan dan simpel aja."
"Kasian dong, ya?"Mama tersenyum miring, terkesan meremehkan. "Oh, iya. Kalo Dokter mau belajar masak, sama Salsha aja. Soalnya semua makanan yang ada di atas meja sekarang,dia yang bikin."
Dokter Bella tergeragap sejenak. Namun buru-buru menormalkan raut wajahnya. "Oh, ya?" Hanya itu yang bisa ia katakan.
Mama mengangguk penuhsemangat. "Iya. Bener-bener menantu idaman, kan? Makanya saya gak bakal ngijinin mereka pisah. Apalagi kalo Aldi deket sama perempuan lain yang gak bisa masak. Amit-amit deh!"
Dokter Bella sedang menyibukkan diri di teras belakang rumah Aldi. Telunjuk tangan kanannya sibuk mengelus layar I-pad di genggamannya dengan kasar. Mencoba melenyapkan semua babi berwarna hijau di sana menggunakan bantuan sekelompok burung kuning dalam game angry bird.
"Pokoknya saya gak terima! Saya gak bakal biarin mereka bahagia! Gimanapun caranya!!!" lirih perempuan itu dengan segenap emosi jiwa.
Laki-laki yang ikut duduk di sebelahnya hanya menghela nafas panjang seraya mendongak. Menatap keindahan malam dengan cahaya bulan purnama dan jutaan bintang di atas sana.
"Kamu ngomong dong,Dimo! Kamu punya ide lagi gak buat misahin Dokter Aldi sama Salsha?" Dokter Bella kembali mendesis kesal.
Dimo menoleh dan ganti menatapnya. Menatap keindahan lain dari malam hari di tempat itu, namun dalam versi agak menyeramkan. Lagi-lagi, ia menghela nafas panjang. "Apa gak sebaiknya... kita give up aja, Dok? Tadi Dokter denger sendiri kan yang diomongin Bu Irawati? Beliau gak bakal ngizinin anaknya menikah sama perempuan selain Salsha."
"Gak ada yang gak mungkin, Dimo. Kamu harus inget itu!"
"Tapi kita juga gak bisa menyalahi takdir Tuhan kan, Dok? Kita cuma manusia yang bisanya merencanakan. Malah saya pikir, kita udah dalam konteks memaksakan sekarang."
Perempuan itu seketika meliriknya denga pandangan tajam. "Kamu itu laki-laki kan, Dimo? Masa cuma karna ini kamu udah hopeless? Saya gak mau tau, pokoknya kita harus tetep bikin mereka pisah. Titik!" tandas Dokter Bella sembari buru-buru berdiri, kemudian melangkah memasuki rumah. Meninggalkan Dimo.
***
"Gue udah denger semuanya..." Sebuah suara muncul di sebelah kanan lelaki bersweater coklat tua tersebut.
Dimo kontan menoleh dan menemukan perempuan berlesung pipi sudah duduk di sampingnya, menggantikan posisi Dokter Bella beberapa menit lalu.
"Gue udah curiga dari awal. Kalian pasti punya niat jahat sama Salsha dan Dokter Aldi. Tapi gue gak nyangka rencana kalian bisa sepicik ini. Jahat banget, tau gak!" sambung perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Steffi itu.
Lelaki di sebelahnya tersenyum sekilas. "Gue juga baru tau kalo lo suka nguping pembicaraan orang,"balasnya. Lalu mengembalikan perhatiannya ke langit di atas mereka.
Steffi mencibir sejenak. "Lo kenapa segitu sayangnya sama Salsha, sih? Sampe mau ngerusak kebahagiaan mereka," tanyanya.
"Gue gak punya niat kayak gitu sedikit pun, Ngel. Cuma karna Dokter Bella nawarin, jadi gue ngikut aja. Mumpung Salsha masih amnesia, kan?" Dimo tertawa getir di ujung kalimatnya. "Tapi setelah gue pikir-pikir, gue emang jahat, ya?"
"Emang jahat! Lo gak pernah denger istilah 'cinta itu bahagia melihat orang yang dicintainya bahagia,walau bukan bersamanya'? Nah, harusnya lo juga kayak gitu!"
"Bawel lo, ah.Emangnya lo pernah jatuh cinta kayak gue?" Dimo meliriknya dengan pandangan meremehkan.
"Sialan! Ya pernah,dong!" Steffi langsung meninju bahu kekar milik lelaki di sampingnya. "Tapi yaa,gitu. Nasib kita sama," lanjutnya. Yang spontan disusul tawa mengejek dari Dimo.
***
Salsha mengitari pekarangan rumah bercat hijau-putih tersebut sambil bertelanjang kaki dan menunduk-nunduk seperti anak babi. Sesekali, ia juga mendecak kesal.
"Lagi ngapain, Cha?"
Perempuan dengan kemeja hijau dan rok putih itu sontak mengangkat wajahnya dan menatap lelaki yang sudah berdiri di depannya saat ini. "Sendalku ilang. Perasaan semalem aku taro' di sini, tapi sekarang gak ada. Males pake flat shoes, nih."
Dimo yang mengenakan polo shirt abu-abu dan celana kargo berwarna senada itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Aku mau bantu sih, tapi mau buru-buru ke puskesmas. Hari ini disuruh ngedata pasien yang datang."
Dahi Salsha berkerut dibuatnya. "Ih, tega banget! Bantu cariin, dong! Aku udah capek nyari sendiri,"keluhnya. Lengkap dengan wajah memelas.
Lelaki itu menghembuskan nafas sejenak. "Tunggu dulu," ucapnya sambil melangkah memasuki rumah.
Dia mau kemana, coba? Dibilangin ilangnya di luar sini, malah masuk ke dalem.Ada-ada aja, dumelnya dalam hati.Kemudian kembali membungkuk dan mencari sampai ke bawah keset.
"Nyariin aku?"
Deg! Salsha seketika berbalik dan berhadapan dengan dada bidang milik tunangannya. Dari jarak sedekat ini, ia bisa dengan puas menikmati aroma parfum yang membuatnya sangat tergila-gila. Namun perempuan itu memilih mundur dua langkah. Lalu mendongak dan menatap kedua mata teduh milik Aldi dengan ekspresi datar. "Apa?"
Aldi menaikkan sebelah alis miliknya. "Katanya kamu nyariin aku."
"Siapa bilang?"
"Dimo."
"Hah?" Maksudnya tuh anak apa, coba? Kurang ajar! batinnya. "Trus, sekarang Dimo mana?"lanjutnya.
Lelaki berkemeja hijau dan celana kain hitam tersebut ikut celingukan. "Gak tau. Udah ke puskesmas,kali."
Salsha tak menggubris lagi. Ia masih heran mengapa Dimo tiba-tiba menyuruh Aldi mendatanginya.Bukannya laki-laki itu tahu bahwa ia masih kesal dengan tunangannya itu?
"Lagi nyari apa, sih?"heran lelaki tersebut.
"Bukan urusan kamu!"
Aldi mendengus sesaat. Lalu mengangkat bahunya. "Ya udah kalo gitu. Aku berangkat ke puskesmas duluan, ya! Klo udah dapetin apa yang kamu cari, langsung nyusul."
Perempuan bertubuh mungil itu sukses melongo dibuatnya. Ia seketika berbalik, kemudian berkacak pinggang. "Heh, kamu emang gak peka atau cueknya kebangetan, sih?" hardiknya.
Lelaki itu kontan mundur selangkah dengan dahi berkerut, sembari mengelus dada. "Kamu kenapa teriak-teriak gitu? Emang salah aku apa?"
"Bodo! Bodooo! Pergi sana!!!" Ia langsung memasuki rumah.
Namun langkahnya terhenti saat Mama muncul dari dalam rumah. "Kamu kenapa teriak-teriak,sayang?" paniknya.
Salsha menghampiri Mama. Lalu berdiri menghadap tunangannya yang masih bergeming di teras depan.Wajahnya dipasang memelas. "Itu, Ma... Masa tadi aku minta tolong sama Aldi buat dicariin sendal yang semalem aku taro' di sini, tapi dia gak mau? Dia malah mau ninggalin aku ke puskesmas duluan, Ma..." Ia mengembang-kempiskan hidungnya, seakan menahan tangis.
Mama serta-merta memandang putranya dengan tatapan membunuh. "Bener, Di?"
"Loh, Mama nih gimana?Manggil Salsha aja pake 'sayang', masa ke aku 'Di' doang?" Aldi tidak terima.Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada bidang miliknya.
Salsha beringsut kebelakang tubuh Mama perlahan, mencari perlindungan. Masih dengan ekspresi sedih yang jelas saja dibuat-buat. "Ma, aku takut..." lirihnya.
Aldi melotot maksimal.
Mama malah melangkah mendekati anaknya. Kemudian sedetik kemudian, beliau dengan senang hati menjewer telinga kiri laki-laki dewasa tersebut.
"Aduh! Auwww! Mama ngapain, sih?" sorak Aldi sambil berusaha mengenyahkan cubitan wanita itu dari telinganya yang sudah memerah.
"Siapa suruh gak mau bantuin calon istri kamu? Hah?"
"Siapa yang gak mau bantuin? Dia gak ngomong apa-apa sama aku, Ma!"
"Boong! Aldi boong,Ma. Tadi dia yang nyuekin aku pas aku minta tolong," sela perempuan itu buru-buru. Bibirnya manyun.
"Hah?" Lelaki itu menganga. "Kamu jangan fit- Auw, sakit tau, Ma!!!"
Mama pun melepaskan telunjuk dan jempolnya yang tadi menjepit telinga Aldi.
"Kenapa? Kamu mau bilang kalo Salsha yang bohong sama Mama? Iya? Kamu bener-bener, ya! Udah gak mau ngebantuin dia, malah fitnah dia yang enggak-enggak. Mama gak nyangka kamu kayak gini, Di..." Wanita itu geleng-geleng kepala. Lalu berbalik dan mengelus pundak calon menantunya.
Salsha langsung memeluk Mama. Wajahnya yang menghadap Aldi seketika memeletkan lidah dan menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.
Lelaki itu mendesis kesal, mencoba menahan amarah. Kemudian meninggalkan kedua wanita yang dicintainya tersebut dan melangkah memasuki rumah.
Membuat Salsha dan Mama kontan melepaskan pelukan.
Sesaat kemudian, ia kembali dengan sendal berwarna biru bergambar chasper di genggamannya. "Nih,semalem aku taro' di dalem. Takut ilang," ucapnya seraya meletakkan sepasang benda itu di depan kaki mungil tunangannya.
Perempuan berjas dokter di depannya langsung memakai sendal miliknya dengan senyum lebar.
"Kamu ini bener-bener ya, Di! Kamu nyembunyiin sendal Salsha, ya?" sorak Mama seraya berkacak pinggang. Matanya melotot.
Mata Aldi ikut membesar. Ia lalu melirik Salsha yang berusaha menahan tawa di sebelah wanita berjilbab tersebut.
Salsha berdehem sejenak. Mencoba menghalau tawanya yang sudah nyaris keluar. "Gak pa-pa kok,Ma. Yang penting sekarang aku udah bisa berangkat ke puskesmas. Keburu siang,nih."
"Tuh, liat. Untung Salsha orangnya pemaaf. Awas kalo nanti kamu bikin calon menantu Mama ini sedih. Mama pecat kamu jadi anak!"
Kali ini, Salsha memilih membiarkan tawanya mengambang di udara. Tawa penuh kemenangan.
***
Salsha turun dari motor ninja milik Aldi di halaman kecil puskesmas tersebut.Sebelum pergi tadi, Mama memaksa mereka untuk naik motor saja agar bisa sampai lebih cepat. Untungnya, sepanjang perjalanan mereka pun terlewati seperti biasa. Seakan tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
"Aku masuk duluan,ya!" ujar perempuan itu sambil menyerahkan helm yang tadi dipakainya ke arah Aldi.
Sang tunangan meraihnya dan menaruhnya begitu saja di jok motornya. "Kita masuk bareng aja. Yuk!"balasnya sembari menggenggam jemari Salsha erat. Seakan menunjukkan pada dunia bahwa perempuan itu masih miliknya. Akan selalu menjadi miliknya.
Salsha menurut.Tenggelam dalam genggaman hangat tersebut. Genggaman yang menenangkan dan tentu saja sangat ia rindukan.
***
Perempuan dengan long dress peach yang baru saja melepaskan stetoskop dari telinganya itu spontan menoleh dan melihat pusat keramaian di bagian depan puskesmas. Ke arah sepasang orang yang sama-sama mengenakan jas dokter dan kemeja hijau. Seketika, dahinya berkerut maksimal. Kemudian mengedarkan pandangannya, mencari seseorang.
"Dimo!" serunya tertahan saat mendapati lelaki ber-polo shirt abu-abu tersebut juga sedang menatap pemandangan yang sama.
Lelaki itu langsung menoleh ketika Dokter Bella sudah berdiri di sebelahnya. Di dekat pintu masuk ruang pemeriksaan gigi yang lumayan sepi.
"Kok mereka bisa baikan lagi? Kenapa kamu gak ke sini bareng Salsha, sih?"
Dimo mengembalikan pandangannya ke arah Salsha yang kini sedang tersipu karena jadi bahan godaan ibu-ibu yang sedang berada di ruang tunggu bagian depan puskesmas. Lalu menghela nafas panjang. "Malah saya yang bikin mereka berdua baikan, Dok."
"Apa? Kamu udah gila,ya?"
"Maaf, Dok. Bukannya malah Dokter Bella yang gila gara-gara Dokter Aldi?" Lelaki itu menatap tepat kemanik mata coklat muda milik perempuan di depannya.
"Kamu! Siapa yang ngajarin kamu gak sopan gitu ke saya? Saya ini dosen kamu, Dimo!" Dokter Bella buru-buru menghela nafas untuk mengontrol emosinya, sebelum orang-orang disekitar mencurigai pembicaraan mereka. "Saya gak mau tau! Kita harus tetep bikin mereka jauh. Kamu mau bahagia atau enggak, sih?"
"Dokter, maaf beribu maaf, ya. Dokter tau arti bahagia yang sebenarnya gak, sih? Cinta itu kanbahagia ngeliat orang yang dicintainya bahagia walau bukan sama dia. See? Jadi Dokter bener-bener mau bahagia apa nyiksa diri sendiri karena obsesi?"
Deg! Perempuan berambut lurus kecoklatan tersebut kontan melotot. Kedua tangannya terkepal,kemudian sambil terkekeh pelan ia berkata, "Kamu mau berhenti dari perjanjian kita? Okay, fine! Asal kamu jangan ngemis-ngemis ke saya kalo kamu nantinya berubah pikiran!" Lalu membalikkan tubuh semampainya dan berjalan dengan langkah lebar ke dalam ruang pemeriksaan.
***
"Eh, lo ngapain niruin kata-kata gue semalem? Dasar tukang copy-paste!" Steffi tiba-tiba sudah berdiri di belakang Dimo sambil cemberut dan melipat kedua tangan di depan dada.
Lelaki itu sontak berbalik dengan dahi berkerut. "Eh, elo keturunan jin apa emang suka nguping,sih? Ngagetin aja!" balasnya, sewot.
Steffi langsung cekikikan. Kemudian menepuk pundak kiri Dimo dengan tangan kanannya. "Gue bangga sama lo. Semoga lo gak berubah pikiran kayak ancaman terakhirnya Dokter Bella,ya!"
"Apaan sih lo! Gak usah sok sweet, deh." Ia memilih beranjak meninggalkan perempuan berlesung pipi tersebut. Melangkah memasuki ruangan pemeriksaan gigi puskesmas.
Sepeninggalnya, Steffi mengendikkan bahu tak acuh. Lalu menghampiri sahabatnya yang masih dikelilingi ibu-ibu di depan sana.
***
Salsha menghentikan langkahnya di depan pintu kamar yang ditempati Aldi dan Dimo. Lalu melongok ke dalam.
"Kenapa, sayang?"tanya lelaki berkacamata yang duduk di atas tempat tidur, menghadap pintu kamar tersebut.
Perempuan yang kini sudah mengenakan piyama polkadot berwarna kuning itu langsung masuk ke dalam kamar tapa permisi. Kemudian naik ke atas ranjang dan duduk bersila di depan tunangannya. "Aku bete. Steffi lagi ngurusin pembukuan dari puskesmas, aku gak ada temen di kamar."
Aldi tersenyum menenangkan. Lalu melepaskan kacamata yang sudah seharian ini membingkai kedua mata teduh miliknya. Ia menguap beberapa detik. "Gak sadar ya, kita udah mau balik aja."
Salsha mengangguk."Besok udah penutupan, kan? Dan aku bakal kembali ke rumah sakit bunda. Huh!"
Lelaki itu tertawa pelan. "Emang KKN kamu masih berapa lama lagi? Ngeluh mulu kerjaannya."
"Tau, ah. Males ngitung." Salsha memilih berbaring di sana. "Kamu tidur di kamarmu lagi aja.Aku sama Steffi di sini. Bosen di situ terus," lanjutnya.
Aldi ikut berbaring di sebelah tubuh mungil tunangannya. Menghadap Salsha dan menjadikan tangan kiri sebagai penyangga kepala. "Hm, gimana kalo kamu tidur di sini aja?"
Salsha kontan menoleh dengan senyum lebar. "Serius?"
Lelaki itu mengangguk mantap. "Asal tidurnya sama aku."
"Huh!" Perempuan itu langsung mencubit pinggang tunangannya. "Kamu nih bener-bener, deh. Kapan bisa seriusnya, sih?"
Aldi mencoba mengelak sambil tertawa. Bukannya merasa sakit, ia malah menahan geli sekuat tenaga."Itu tadi akunya lagi serius loh, sayang. Hahaha..."
"Kamu bisa bedain serius sama mesum, gak? Hah? Hah?" Salsha masih berusaha mencubiti pinggang Aldi dengan jemarinya. Hingga laki-laki itu berteriak minta ampun setengah mati. Sudut matanya pun sampai berair. Membuat perempuan tersebut semakin semangat mengerjainya.
***
"Dokter Aldi! Salsha!"
Dua orang yang sedang asik bertukar tawa di dalam kamar itu sontak menoleh. Lalu menemukan wajah shock milik seorang perempuan cantik di sana.
"Kalian... ngapain berduaan di kamar begini?" tanyanya, teredam oleh telapak tangan yang ia gunakan untuk menutup mulut.
Salsha buru-buru merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk dalam posisi tegak. Ekspresinya tak kalah kaget dengan perempuan yang notabene adalah Dokter Bella tersebut.Sedangkan di sebelahnya, Aldi hanya mengerutkan dahi.
"Ini ada apa, sih?"Tiba-tiba, Mama muncul dari balik tubuh semampai Dokter Bella. Diikuti Steffi dan Dimo di belakangnya. Seketika, tatapan beliau terpaku pada sang anak dan calon menantu yang sedang duduk di atas ranjang bersama.
"Liat deh, Bu!Mereka... Mereka berduaan di kamar ini. Tadi saya liat mereka... Mereka guling-gulingan di atas ranjang, Bu. Mereka juga pelukan. Ini udah gak benerkan, Bu?" Dokter Bella menjelaskan dengan tergesa-gesa. Nafasnya memburu, belum bisa mengendalikan rasa kaget yang mendera.
Mama yang memperhatikan perempuan itu berbicara kembali menoleh dan menatap sang"tersangka" di dalam kamar. Salsha dengan muka merah yang menunduk. Dan Aldi yang memasang wajah tak bersalah.
"Ma, aku sama Cha-"
Wanita paruh baya yang mengenakan jilbab merah marun dan terusan senada tersebut mengibaskan tangan kanannya. Menyuruh Aldi menghentikan belaan yang bahkan belum sempat ia ucapkan. Kemudian menatap perempuan di sebelahnya. "Dokter Bella..."
Semua perhatian ikut tertuju pada objek pembicaraan Ibu Idha.
"Aldi sama Salsha itu udah dewasa. Mereka calon suami istri. Apa salahnya becanda di kamar berdua?Yang penting pintunya dibiarin kebuka, kan? Lagian saya juga yakin mereka bisa bertanggung jawab sama apapun pilihan mereka.Wong di sana aja mereka juga tinggal serumah, kok..." lanjut Mama, cool.
Salsha sontak mengangkat wajahnya yang semakin memerah.
Steffi, Dimo apalagi Dokter Bella, jangan ditanya lagi. Mulut mereka kompak menganga. Bersamaan.
"Jadi Dokter Bella gak usah musingin kehidupan mereka. Saya yang mamanya Aldi aja gak ambil pusing,"tutup beliau. Seraya melenggang meninggalkan kamar tersebut. Menuju kamarnya sendiri, tanpa menoleh sedikit pun.
Sepeninggal Ibu Irawati,Salsha dan Steffi bertukar pandang. Lalu sama-sama berusaha menahan tawa melihat ekspresi Dokter Bella. Hidung mancungnya yang kembang-kempis, bahu seksinya yang naik-turun, sampai wajah putih mulusnya yang berubah merah. Menahan amarah sekuat tenaga.
Dengan satu sentakan keras, perempuan itu balik badan dan meninggalkan keempat orang yang langsung saja tertawa puas tanpa bisa dicegah lagi itu.
Tanpa kentara, Steffi melirik Dimo yang sedang tertawa lebar di sebelahnya.
Tawa lepas yang pertama kali ia dapati dari lelaki itu. Sekaligus menjadi alasan sesuatu yang tiba-tiba mengusik di hatinya. Entah apa.
***
"Udah gak ada yang kelupaan kan, sayang?" tanya Mama yang duduk di samping Salsha.
Perempuan ber-cardigan putih tulang itu kembali meneliti isi tasnya. Mengetuk-ngetuk dagu sejenak,kemudian tersenyum simpul. "Udah lengkap kok, Ma..." balasnya. "Hm, sebenernya aku masih mau tinggal di sini. Tapi aku harus balik buat nyelesaiin KKN, Ma."
Mama langsung memeluk tubuh mungil itu. Mendekapnya erat, seakan tak ingin dilepas. Tanpa permisipun, butiran bening sudah mengaliri pipi mulus keduanya.
"Loh, apa-apaan, nih?"Suara Aldi kontan merusah moment haru kedua wanita tersebut.
Mama menyeka air matanya pelan. "Aldi, abis ini kamu pasti bawa Salsha ke sini lagi, kan?"tanyanya dengan suara serak. Khas orang yang baru saja menangis.
"Ya iyalah, Ma. Mama jangan sentimental gitu, ah. Kayak rumah ini sama rumah Salsha nyeberang benua aja." Lelaki itu meraih koper milik tunangannya ke luar kamar.
Mama dan Salsha mengikuti dari belakang.
"Kalian berdua ajakan di mobilnya?" tanya Mama lagi, tepat saat mereka sudah sampai di depan pintu rumah. "Mama udah gerah seminggu ini liat dokter ganjen itu."
"Hus, Mama nih!" tegus Aldi.
Salsha hanya tersenyum sekilas.
"Iya, iya... Kalian hati-hati, ya! Kamu nyetir mobilnya jangan ngebut. Pake seatbelt biar safety.Jangan becanda yang heboh kalo di jalan. Trus-"
"Siap, Ma." Lelaki bersweater coklat itu buru-buru mencium pipi mamanya sebelum memperpanjang ceramah. "Mama tumben banget sih nDiih wejangan sebelum pergi gini. Biasanya juga santai banget."
Mama merangkul bahu calon menantunya. "Gak tau. Kok rasanya Mama gak rela pisah sama Salsha, ya?Kamu bisa tunda jadwal KKN-nya Salsha, gak? Kamu kan dosen,Di."
Perempuan mungil tersebut buru-buru mengangguk mantap. Mengamini kata-kata sang calon mertua.Dilengkapi wajah memelas, agar tunangannya ikut tergugah dan mengabulkan keinginannya.
"Gak bisa, Ma. Dia aja udah izin seminggu. Masa mau ditambah lagi? Kecuali dia mau ngulang taun depan," ujar Aldi sembari memasukkan kopernya dan koper Salsha ke dalam Aldii mobil.
Di belakangnya, kedua perempuan tersebut kembali berpelukan.
"Kamu hati-hati ya,sayang..." lirih Mama sambil mengusap punggung Salsha.
"Iya. Mama juga hati-hati di sini. Aku pasti bakalan rindu banget sama Mama..." Ia balas berbisik. Sepenuh hati.
***
Hujan deras mengiringi perjalanan pulang Aldi dan Salsha.
"Kamu gak mau tidur?"tanya lelaki itu sambil melirik tunangannya yang sedang asik melukis sesuatu dikaca mobil yang berembun.
Salsha langsung menoleh. Memperlihatkan gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang bergenggaman tangan dan tersenyum lebar dengan gambar hati di sekitarnya."Enggak ngantuk." Ia lalu membuka dashboard mobil, meraih CD Ten 2 Five dari dalam sana. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di sana.
Youstood in the rain Packed up and ready to go My tear are falling again It's because of you
Lagu Don't Say Goodbye terlantun perlahan.
Willyou call me when you get there? Will you miss me everyday? Cuz' I'll be waiting here at home Till you knock on my door again
Salsha dan Aldi langsung bernyanyi bersama.
Babyplease don't say goodbye I love you to much just to let you fly I need you to be my only one Even if you're thousand miles Away from here... away from here
Sementara intro mengalun, Aldi menggenggam jemari Salsha. Lalu mengecupnya perlahan. Penuh rasa sayang dan kelembutan. Seakan tak ingin merusaknya. "I love you..."
Perempuan di sebelahnya tersenyum lebar. Mengangguk, dan menjawab, "I... love you too."
Tiba-tiba, dari arah tikungan pada arah berlawanan, sebuah truk muncul dan mengambil jalur yang dilalui mobil mereka. Sontak saja Aldi melepaskan genggaman pada tangan tunangannya. Kemudian buru-buru menginjak rem, tapi... "Loh, ini kenapa? Remnya blong, sayang!"
Salsha kontan histeris. "Truknya makin deket, sayang! Putar stirnya! Cepetannn!"
Aldi langsung memutar stir ke arah kiri. Kondisi jalanan yang licin karena hujan deras dan rem yang tidak berfungsi malah membuat mobil berwarna silver metalik itu tergelincir menabrak pembatas jalan sejauh sepuluh meter. Seakan tak cukup, mobil tersebut berguling beberapa kali. Sampai berhenti dalam keadaan bagian bawah mobil berada di atas. Dan ringsek sedemikian rupa.
Lelaki itu mengembalikan kesadarannya saat mobil berhenti berguncang. Lalu melirik ke jok di sebelahnya, mencari perempuan yang baru saja mengatakan 'I love you' padanya beberapa saat lalu. Namun... "Salsha?SALSHAAAA? KAMU DIMANAA?"
Babyplease don't say goodbye I love you to much just to let you fly I need you to be my only one Even if you're thousand miles Away from here ♫♪
Next?Jgn lupa divote dan dicomment
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Berjuang Sama Sama
Randomgimana perasaan kamu jika tunangan kamu melupakan kamu selama bertahun tahun dan tidak ingat kamu. mau tau kelanjutannya pantengin terus cerita ini