Last Part

2K 89 14
                                    


Aldi langsung membuka pintu mobil dengan bantuan bahunya yang kekar. Walaupun sempat meringis beberapa kali, ia berhasil terbebas dari posisi tubuhnya didalam mobil yang terbalik.

“Salsha? Salsha? Kamu dimana?” Ia berulang kali merapalkan kalimat yang sama. Dengan langkah tertatih, ia terus berjalan. Melangkah ke sekitar tempat kejadian. Ia bahkan tak peduli pada truk yang kini sudah menghilang entah kemana.

Semakin lama, suaranya memelan. Tubuhnya pun sudah mati rasa karena kebanyakan luka. Namun ia benar-benar tak mempedulikan hal lain selain keberadaan perempuan yang dicintainya saat ini.

Ketika pandangannya mulai buram, akhirnya ia menangkap sesosok tubuh yang tergolek lemah kira-kira belasan meter dari posisi kecelakaan beberapa menit lalu. Membuatnya melangkah terseok-seok menghampiri tubuh tersebut.

“Salshaaaaa “lirihnya seraya mencoba merendahkan posisinya sekuat tenaga, mengingat tubuhnya yang sudah seperti kebanjiran darah. Namun belum sempat melihat wajah perempuan itu, ia sudah ambruk ke tanah. Tak sadarkan diri.

***

           Mama Aldi terisak di depan pintu ruang UGD. Sudah hampir dua jam putra dan calon menantunya berada di dalam sana. Entah sedang berusaha bertahan, atau malah meregang nyawa. Beliau sendiri hanya bisa mendoakan yang terbaik.

Kedua orangtua Salsha belum bisa datang ke rumah sakit tersebut, berhubung ibu perempuan itu shock berat dan tak sadarkan diri. Ibu Salsha memang masih trauma dengan kecelakaan,apalagi jika putri satu-satunya kembali terlibat di dalamnya. Karena itu mereka meminta Salsha secepatnya dipindahkan ke rumah sakit tempat mereka bekerja jika kondisinya sudah memungkinkan.

Pintu ruang UGD terbuka lebar.

Mama sontak menghampiri dokter yang keluar dari sana. “Bagaimana keadaan mereka, Dok?Mereka baik-baik aja, kan?” tanya wanita berjilbab tersebut.

Dokter di depannya menyeka peluh yang mengaliri dahi sejenak. “Dokter Aldi sudah melewati masa kritisnya, Bu...” Sepertinya ia mengenal dokter muda itu.
“Tapi perempuan yang bersamanya...”

“Salsha? Salsha kenapa, Dok? Dia... gak kenapa-kenapa, kan?” Mama sampai mengguncang bahu dokter tersebut.

“Kami belum bisa memutuskan, Bu. Kondisinya sangat buruk. Sepertinya dia terlempar cukup jauh dari lokasi kecelakaan sehingga tubuhnya mengalami luka yang cukup serius.Apalagi bagian kepalanya,” jelas sang dokter. “Sampai sekarang, dia masih koma.Kami belum bisa mengetahui kondisi selanjutnya sampai ia sadar. Dan kami tidak tahu kapan ia bisa siuman dari koma ini,” tambahnya.

Tangis Mama langsung pecah.

“Tapi Ibu tenang saja.Setidaknya, Dokter Aldi masih bisa selamat.”

Tapi saya tau, Aldi lebih memilih ikut sekarat kalau keadaan Salsha juga belum jelas, bisik wanita paruh baya itu dalam hati.

***

           Pandangan Aldi membentur langit-langit kamar rawat tempatnya berada sekarang.Hampir sekujur tubuhnya nyeri luar biasa, namun tak ada yang diacuhkannya selain sang tunangan. Ia sempat histeris saat mengetahui perempuan yang dicintainya masih dirawat di ruang ICU, lengkap dengan alat bantu pernafasan dan detak jantung. Lelaki itu tak bisa dan tak mau membayangkan jika semua alat bantu penopang hidup tersebut dilepas dari tubuh Salsha. Dunianya pasti sudah kiamat saat itu juga.

“Kamu mau kemana,Gas?” Mamanya buru-buru menahan lengan Aldi saat putranya bangkit dari brankar.

“Aku mau jengukin Salsha, Ma. Aku gak mau dia bangun dan gak ngeliat aku. Kasian kalo dia nyari aku, tapi aku gak ada di dekat dia.” Ia mencoba meraih kruk di dinding kamar.Namun sang mama menghalangi niatnya.

“Tapi kamu masih lemah. Mama gak mau kamu juga jadi makin parah.”

“Aku udah baikan, kok.Mama tenang aja,” balas Aldi keras kepala. Ia sudah memegangi dua kruk untuk membantunya berjalan, berhubung kaki kanannya harus di-gips sedemikian rupa agar tulang kakinya cepat pulih.

Saat Aldi sudah mencoba berjalan dengan dua kruk diapit oleh lengan kanan dan kirinya,tiba-tiba salah satu kruk tersebut terpeleset di atas lantai yang memang agak licin. Kontan saja tubuh lelaki itu kembali bersandar di badan tempat tidur.Untungnya ia belum melangkah terlalu jauh sehingga tubuhnya tidak sempat mencium lantai.

“Aldi!” sorak Mama sambil buru-buru menghampiri putranya. “Mama bilang juga apa! Kamu gak usah kemana-mana dulu. Mama udah pesen ke pihak rumah sakit supaya kamu dan Salsha mendapat pelayanan terbaik. Kamu gak usah khawatir, Gas!”

“Enggak! Pokoknya aku mau liat keadaan Salsha. Kalo perlu, aku juga mau dipindahin ke ruang ICU biar bisa satu ruangan sama dia. Dan bisa ngeliat keadaan dia setiap saat. Mama jangan bikin aku tambah sakit, dong. Aku gak bisa jauh-jauh sama Salsha,apalagi dalam kondisi kayak gini!”

Mau tak mau, Mama menghela nafas panjang. Ia tahu benar tabiat darah dagingnya tersebut. Aldi tak akan menyusutkan keinginannya, sekuat apapun orang lain menahan. Terlebih lagi ini menyangkut perempuan yang paling dicintainya setelah sang Mama.

“Ya udah. Mama minta kursi roda dulu,” putus wanita itu akhirnya. Kemudian berjalan ke luar kamar.

***

           Lelaki berpakaian hijau muda ala pasien tersebut memutar roda pada kursi yang ia duduki. Sampai berhenti di sebelah brankar tempat seorang perempuan yang terbaring tak berdaya di dalam ruangan tersebut. “Sayang, aku udah datang,”bisiknya pelan.

Tak ada respon dari perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Salsha itu. Wajahnya dipasangi masker oksigen. Kedua tangannya ditempeli selang infus, cairan penambah gula,dan sekantong darah. Di sampingnya, sebuah alat pendeteksi detak jantung berbunyi konstan dengan gambar grafik yang naik-turun.

“Kamu capek banget,ya? Sampe tidur seharian gini.” Aldi mencoba tertawa di ujung kalimatnya.Hambar.

Jemarinya mengusap rambut perempuan itu, lembut. Seakan takut menyakiti atau lebih parah membuat tubuh Salsha hancur berkeping-keping akibat sentuhannya.

Lama ia memilih terpaku dalam posisi itu. Hanya menatap wajah pucat di hadapannya, diiringi suara alat pendeteksi detak jantung. Bagai menikmati bunyi itu, bunyi yang menjadi tanda kehidupan bagi tunangannya.

“Ndai...” lirih Aldi seraya mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu. “Aku akan selalu di sini.Kamu juga jangan kemana-mana, ya! Aku... Aku masih mau denger kamu ngomong ‘I love you’ ke aku.”

***

           Sayangnya, kondisi Salsha menurun drastis setelah itu. Dokter yang menanganinya sampai harus keluar-masuk ruang ICU setiap menit untuk mengembalikan kondisi perempuan itu agar membaik.

Keadaannya semakin kritis malam ini. Detak jantungnya tak terkontrol, baru saja ia terdengar normal, kemudian out of control, hingga sangat lemah sama sekali.
Sialnya, kabar tersebut sampai ke telinga sang tunangan. Lelaki yang kondisinya juga masih jauh dari sehat itu memaksa menangani Salsha dengan kemampuannya sebagai dokter. Ia sudah menyingkirkan beberapa suster dan membentak semua dokter yang menghalangi niatnya. Namun tetap saja ia tak diizinkan.

“Kalian kalo gak mampu menangani satu pasien aja, langsung undurin diri! Indonesia gak butuh dokter yang gak becus menyembuhkan, tapi selalu nuntut gaji tinggi!” teriak Aldi penuh emosi. Ia berdiri tepat di depan pintu ruang ICU yang sudah ditutup rapat setelah lelaki itu memaksa masuk berulang kali.

“Aldi, kamu jangan ngomong begitu, dong! Itu sama aja kamu gak mempercayakan keadaan Salsha ditangan dokter-dokter yang ada di sini,” tegur Mama, berusaha meredam emosinya sendiri.

Laki-laki yang masih mengenakan pakaian pasien tersebut langsung menarik kerah baju salah satu perawat yang menjaga pintu ruang ICU. “Kalo sampe tunangan saya kenapa-kenapa di dalam sana, kamu adalah satu orang yang harus tanggung jawab! Saya gak akan tinggal diam! Ingat itu!” tandas Aldi, penuh penekanan. Matanya yang biasa memandang teduh, kini berubah menyeramkan. Kondisi tubuhnya yang sedang sakitpun tak mengurangi tenaganya yang disulut emosi yang meluap-luap.

Mama menatap putranya,miris. Beliau pernah ditinggalkan orang yang dicintainya setengah mati. Dan ia tahu rasanya. Beliau bahkan pernah mencekik leher seorang suster beberapa tahun lalu, saat suaminya juga sedang berjuang di ruangan yang sama. Yah, wanita paruh baya itu tahu rasanya...

***

           Ibu dan ayah Salsha tiba di rumah sakit saat keadaan putrinya berangsur membaik.

Setelah beberapa jam penuh emosi dan perjuangan, perempuan mungil tersebut pun sudah dipindahkan kekamar rawat biasa. Dan atas paksaan Aldi, pihak rumah sakit memperbolehkan mereka berdua mendiami satu kamar VIP bersama.

Salsha belum juga siuman sejak kecelakaan dua hari yang lalu. Sedangkan Aldi sedang tidur setelah disuntik obat penenang karena tak berhenti mengkhawatirkan kondisi tunangannya, saat ia sendiri belum pulih sama sekali.

Aldi mengalami gegar otak ringan yang untungnya tidak terlalu parah. Tulang kering kaki kanannya bergeser sehingga harus di-gips beberapa minggu. Bagian tubuhnya yang lain juga penuh luka memar yang tentu saja tidak bisa dianggap luka ringan. Tapi entah mengapa ia seakan tak merasakan apa-apa. Pikirannya terlalu dipenuhi Salsha.

“Apa gak sebaiknya Salsha dan Aldi dipindahkan ke rumah sakit tempat kami bekerja aja, Mbak?”tanya Ibu Salsha. Beliau menatap putri dan calon menantunya bergantian. Tisu yang beliau genggam sudah basah, dipenuhi air mata.

“Saya terserah kalian,kok. Kalian berdua pasti lebih mengerti masalah ini,” balas Mama Aldi.

“Kita liat dulu perkembangan mereka di sini. Saya juga udah ngobrol sama Dokter Rafli, beliau tidak keberatan kalau saya membantu penanganan mereka. Yah, walaupun rumah sakit ini juga termasuk bagus,” sela Ayah Salsha.

Alat-alat yang dipasang di tubuh Salsha pun sudah berkurang. Tersisa selang infus dan penambah gula di kedua lengannya.

“Semoga pemulihan Aldi berlangsung cepat. Saya butuh bantuannya untuk menangani Salsha,” tambah lelaki yang rambutnya mulai memutih tersebut.

***

           Aldi duduk di sebelah ranjang tunangannya. Ia sudah melepas selang infus yang menurutnya hanya membuat kepalanya semakin sakit. Lelaki itu bahkan memaksa dokter yang menanganinya agar bisa segera rawat jalan, namun kaki dan luka-luka di sekujur tubuhnya masih mengkhawatirkan.

“Kamu gak lapar,sayang?” tanya Aldi seraya menyelipkan helaian rambut Salsha ke belakang telinga.

Perempuan itu masih pucat, bahkan tubuhnya semakin mungil dengan tulang pipi yang juga semakin jelas terlihat.

“Aku sebenarnya masih mau nemenin kamu di sini. Tidur sekamar biar bisa terus ngontrol keadaan kamu dengan mata kepalaku sendiri. Tapi bener, deh. Sakit itu gak enak banget.Padahal kan aku udah sehat, kenapa selalu dianggap kayak orang sakit, sih?Bener-bener deh dokter di sini...” Lelaki itu menggeleng frustasi. Ia kembali terkekeh pelan. Menghibur diri sendiri, sepertinya.

“Kamu sendiri, kapan bisa ngeliat aku lagi? Apa gak capek tidur terus? Aku aja yang kayak gini udah hampir gila,” lanjutnya sembari memainkan hidung perempuan itu.

“Aku kangen banget loh sama suara cempreng kamu. Rasanya baru tadi kita nyanyiin lagu Ten 2 Five bareng, eh sekarang malah... kayak gini jadinya.”
Salsha tak menunjukkan reaksi apa-apa. Hanya helaan nafas pelannya yang terdengar.

“I love you...” bisik Aldi. Lalu mendaratkan bibirnya ke atas bibir pucat milik sang tunangan. Penuh cinta.

***

           Aldi melangkah di sebelah brankar yang membawa tunangannya ke lobby rumah sakit. Lelaki itu sudah menanggalkan status pasien dari dirinya. Tulang kakinya sudah kembali ke posisi semula, walaupun ia masih harus berjalan agak pincang.Luka-lukanya juga sudah mulai kering, hanya tinggal luka lebam yang belum pulih dan masih menyisakan nyeri.

Hari ini, mereka akan pulang. Bukan ke rumah yang menjadi tujuan akhir setiap perjalanan, melainkan rumah sakit untuk memberi pelayanan terbaik bagi Salsha yang belum menunjukkan tanda-tanda akan siuman.

Saat tubuh tunangannya akan naik ke ambulance, ia mengecup kening perempuan itu. “Sampai ketemu dirumah sakit, sayang...” gumamnya. Kemudian berbalik menuju mobil Ayah Salsha karena di ambulance sudah ada ibu dan mamanya yang menemani Salsha dalam perjalanan nanti.

***

           Ayah Salsha dan Aldi duduk di depan meja Dokter Rafli, selaku dokter yang menangani perempuan itu di rumah sakit yang sekarang di tempatinya.

“Sepertinya luka yang dialami Salsha ini cukup serius. Ada beberapa organ dalam yang mengalami benturan. Tapi yang paling parah... bagian kepalanya,” jelas sang dokter sambil menyerahkan hasil rontgen ke arah dua laki-laki di depannya.

Ayah Salsha yang juga mengenakan jas dokter tersebut meneliti hasil rontgen yang kini telah berpindah ke genggamannya. Ada tanda retak di kepala bagian belakang putrinya.

“Saya juga belum tau pasti, Dok. Tapi kemungkinan besar, luka pada kepala Salsha ini bisa berdampak pada memorinya.”

Aldi mendesah putus asa di kursinya. Ia tak bisa membayangkan kemungkinan apapun, terlebih apabila menyangkut memori Salsha. Sudah cukup perempuan itu mengidap amnesia dan melupakannya, ia tak mau sesuatu yang lebih buruk malah terjadi lagi.

“Untuk saat ini, kita hanya bisa berdoa dan berusaha keras sampai Salsha siuman. Setelah ia sadar,baru kita bisa mengetahui perkembangan selanjutnya. Yah, semoga tidak ada apa-apa,” lanjut Dokter Rafli.

“Iya, semoga...” Ayah Salsha mengamini.

***

           Seorang perempuan dengan long dress ungu muda duduk di sebelah ranjang milik Salsha. Rambut coklatnya yang lurus tergerai tanpa hiasan. Ia menatap perempuan yang tergolek lemah itu tanpa ekspresi.

“Saya gak tau harus prihatin atau bahagia atas kejadian ini,” lirihnya seraya meremas kesepuluh jemari lentik miliknya.

Bahu Salsha naik-turun dengan konstan. Namun tak juga membuka mata.

“Kamu tau? Saya benci banget sama kamu. Kamu cuma perempuan beruntung yang kebetulan bertemu lebih dulu dengan Dokter Aldi. Sedangkan saya? Saya...” Perempuan itu menghela nafas panjang, mengontrol emosinya. “Saya juga mencintainya, Salsha. Tapi saya tidak sepicik kamu yang memanfaatkan kedekatan keluarga kalian demi seorang laki-laki,” tandasnya. Ia berusaha meredam nada suaranya sekuat tenaga.

“Saya gak tau apa rencana Tuhan selama ini. Kamu amnesia dan hanya melupakan Aldi, lalu kembali kecelakaan dan koma seperti sekarang...” lanjutnya. “Kenapa... Kamu gak sekalian meninggal aja, sih? Tuhan kayaknya terlalu bertele-tele menuliskan takdirmu, Salsha.”

Perempuan di depannya masih bergeming.

“Atau... Apa kamu butuh bantuanku untuk membuat takdirmu berjalan lebih mudah?” Senyumnya perempuan ber-long dress tersebut mengembang. Senyum penuh arti. Jemarinya yang lentik pun segera merealisasikan niatnya.

***

           “Dokter Bella?” seru Aldi sambil memasuki kamar rawat tunangannya dengan langkah lebar. “Dokter sedang apa di sini?”

Dokter Bella yang pagi itu mengenakan long dress berwarna ungu muda langsung tergeragap. Ia sontak berdiri dari duduknya saking kaget. “Dok-Dokter Ba-Aldi?” ucapnya,terbata-bata. Seakan memastikan penglihatan.

Lelaki berkaus hijau tersebut mengerutkan dahinya seraya mendekatkan diri di sisi Salsha.

“Saya... sedang menjenguk Salsha. Kebetulan tadi saya baru bertemu dengan Dokter Difa dan dia memberitahu kalau Salsha sedang dirawat di sini,” jelas Dokter Bella. “Dokter sendiri, tidak apa-apa, kan?” tambahnya sembari mengelus pipi kiri lelaki di sampingnya–yang masih memar–.

Aldi tersenyum tipis.Lalu memalingkan wajahnya yang disentuh perempuan itu.
“Gak pa-pa, kok.”

“Syukurlah, Dok. Saya khawatir sekali waktu dapat kabar kalau Dokter kecelakaan dan mobilnya hancur.”

Aldi kembali tersenyum. Ia memandangi tunangannya yang masih terbaring tak sadarkan diri tersebut. Kemudian mengecek infus dan selang oksigen yang menempel di tubuh Salsha. Setelah mengetahui bahwa semuanya masih normal, ia kembali menatap Dokter Bella. “Dokter gak ada tugas hari ini?”

“Sebenarnya saya harus ke rumah sakit kampus. Ada beberapa pasien yang harus ditangani. Tapi saya masih mau menjenguk Salsha,” jawabnya. “Apa Dokter ada kepentingan lain? Saya bisa menjaga Salsha, kok.”

“Oh, tidak usah...”balas Aldi. “Terima kasih, Dokter. Tapi sebaiknya Dokter ke rumah sakit saja.Takutnya nanti ada pasien yang terlantarkan. Saya juga mau berduaan saja sama tunangan saya.”

Wajah Dokter Bella langsung menegang saat mendengar kalimat terakhir lelaki di sebelahnya. “Yasudah. Saya pamit dulu, Dok. Semoga Salsha lekas sembuh. Selamat pagi...” ujar perempuan cantik itu. Lalu berbalik menuju pintu masuk kamar tersebut.

***

           Dimo menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Salsha langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!”

Steffi semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Salsha. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini.Hiks...”

Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Whichis sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Salsha biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.”

Perempuan berlesun gpipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi.

“Dimo bener, Fil.Salsha butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Aldi ikut menatap nanar ke arah tunangannya.

Mereka bertiga berdiri mengelilingi perempuan berbaju pasien tersebut. Sudah tiga hari Salsha dirawat di rumah sakit ini, tapi belum ada tanda-tanda dirinya akan siuman. Walaupun harus diakui, Salsha mengalami perkembangan yang signifikan selama di sini.Bahkan beberapa lukanya mulai mengering.

Saat ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing diselingi isakan Steffi sesekali, tiba-tiba Dimo mendapati jemari perempuan di depannya bergerak. Memang sekilas awalnya, ia bahkan berpikir hanya sedang berhalusinasi. Namun saat mata Salsha ikut terbuka, ia pun langsung berseru, “SALSHA?”

Aldi kontan terhenyak dari lamunannya. “SALSHA?” Ia ikut berseru. Kali ini, mengguncangkan lengan mungil itu tanpa sadar saking shock-nya.

Perempuan yang terbaring lemah itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Seperti mencoba menetralisir rasa silau yang menyeruak ke dalam pandangannya. “Auw,” ringisnya pelan. Kedua matanya kembali terpejam kuat.

“Dimo, cepet panggil Dokter Kka ke sini!” perintah Aldi seraya memegangi kepala tunangannya.Sebenarnya ia sangat ingin memeriksa keadaan Salsha dengan tangannya sendiri,tapi ini di luar wewenangnya.

Dimo langsung melesat ke luar.

Beberapa saat kemudian, ia kembali bersama Dokter Kka dan beberapa suster.
“Permisi, Dokter...”ujar dokter yang sudah berusia akhir empat puluhan tersebut. Membuat Aldi segera menyingkir dari sisi tempat tidur.

Dokter Kka segera mengenakan stetoskop ke telinganya, lalu memeriksa detak jantung Salsha.Sedangkan perawat yang lain sibuk mengecek infus, oksigen, dan detak nadi dipergelangan tangan kiri perempuan itu. Ada juga yang mencatat sesuatu, entah apa.

Setelah itu, dokter tersebut membuka mata Salsha dengan ibu jarinya. “Salsha, kamu bisa dengar saya?” bisiknya sembari menyenteri bola mata perempuan itu, bergantian.

Salsha langsung membuka matanya saat Dokter Kka memundurkan tubuhnya. Kedua alisnya bertaut.Kemudian menatap orang-orang di dalam ruangan tersebut satu per satu. Ia berdehem sejenak, seakan memperbaiki pita suara miliknya yang sudah hampir seminggu tak digunakan.

“Salsha, kamu merasakan sesuatu?” tanya Dokter Kka lagi.

Beberapa pasang mata disana memandangi Salsha, sama-sama menunggu jawaban.

Bruk! Pintu kamar dibuka dengan keras. Sosok ayah dan ibu perempuan itu menyeruak masuk. Masih dengan jas dokter dan ekspresi cemas luar biasa.

“Salsha? Kamu sudah sadar, Nak?” Ibu Salsha langsung berdiri di sebelah Dokter Kka. Sang suami mengikuti di sebelahnya.

Masih dengan dahi berkerut, perempuan yang masih dalam posisi berbaring tersebut menatap kedua orangtuanya.

“Salsha... Kok kamu diem?” sela Aldi. Penasaran dengan respon tunangannya yang sedari tadi takjuga buka mulut.

Kali ini, pandangan penuh keheranan dipusatkan perempuan itu pada Aldis. “SALSHAAAA?” Ia balik bertanya. Suaranya serak sekali.

Hening sejenak. Bahkan tak ada suara desahan nafas sama sekali. Ruangan menjadi sarat akan ketegangan.

“Salsha siapa?” lanjut perempuan itu.

Mama sontak menutup mulutnya dengan tangan kanan. Menyembunyikan rasa kagetnya. Di belakangnya,Steffi mengerjapkan mata dengan mulut menganga.

“Kamu kenapa, sayang?”Ayah Salsha memecah keheningan.

“Bapak... siapa?”tanya Salsha lagi. “Siapa Salsha? Kalian... siapa?” Ia mengedarkan pandangan kesemua orang yang ada di sekitarnya.

Kali ini, ruangan benar-benar seperti terselimut awan mendung. Pekat.

“Saya... Siapa?”tambah perempuan itu.

Bruk! Ibu Salsha langsung roboh, tak sadarkan diri.

           Perempuan itu bisa merasakan kesibukan di sekitarnya. Ia bisa merasakan tubuhnya sedang ditangani dengan intens. Ia bisa merasakan keributan, bahkan teriakan dokter di dekatnya. Namun tak bisa memberi responpun membuka mata.Mungkin efek obat bius atau apa, entahlah.

Tiba-tiba, beberapa potong kejadian memasuki memorinya. Tidak lagi berdesakan dan berebutan masuk seperti beberapa tahun terakhir, semuanya kini teratur.
Mengalir, seakan benar-benar kembali pada tempatnya semula. Diam-diam, perempuan yang tidak lain adalah Salsha itu tersenyum tipis. Sakit itu dilupakannya. Yang paling penting,ia sudah bisa mengingat.

***

Iremember, the way you glanced at me
YesI remember
Iremember, when we caught a shooting star
YesI remember

“Kamu kalo ngambek gitu cakepnya makin keliatan, deh.” Lelaki dengan celana pendek kargo dan kaus bergambar The Beatles tersebut ikut berbaring di sebelah Salsha. Langit malam dari atas rumput taman belakang rumah perempuan itu memang merupakan tujuan rutin keduanya setiap hari. Tak boleh terlewatkan.

“Lo pacaran aja sana sama tugas kampus! Lupain aja gue!” Salsha sontak menyentakkan tangan Aldi yang mengelus kepalanya.

Aldi menghela napas panjang. “Tugasku lagi bener-bener numpuk, sayang. Semuanya harus selesai besok, baru aku boleh ngajuin proposal tugas akhir. Aku mesti jelasin berapakali, sih?”

“Bodo.” Perempuan dengan terusan polkadot tersebut membelakangi tubuh kekasihnya.

“Jadi ngambek, nih?”Lelaki yang malam itu menanggalkan kacamatanya malah mencolek pinggang Salsha,membuat perempuan berambut ikal tersebut tersentak. Kaget bercampur geli.

“Apaan, sih!Nyebelin!”

“Balik sini kalo gitu,” rajuk Aldi tanpa menghentikan aksi telunjuknya di pinggang sang kekasih.

“Gak mau! Sana lo!Balik aja pacaran sama tugas!”

“Beneran gak mau?”

“Menurut lo?”

“Oke.”

Hening.

Aldi kontan mengerutkan keningnya. What? Jangan bilang dia... beneran balik dan kerja tugas? Oh, God! Kapan sih cowok itu bisa peka dikit? Ck! batinnya. Lalu membalikkan tubuh, berniat kembali berbaring dalam posisi telentang dan menikmati langit malam yang penuh bintang.

Namun tiba-tiba, ia menoleh dan merasakan tubuh mungilnya ditarik paksa ke dalam rengkuhan hangat milik seseorang yang ternyata masih berbaring tepat di sebelah kirinya. Membuatnya berontak, apalagi saat sosok itu mendekatkan wajah dan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Sesuatu yang sebenarnya saat ia kenal, sangat akrab dengan kesehariannya tiga tahun ini. Diikuti desakan lidah yang memaksa masuk ke dalam mulutnya, juga jemari yang tersisip di antara rambut panjangnya.

Salsha terpaku. Entah naluri atau apa, ia malah menikmati hal tersebut. Matanya terpejam, sedangkan kedua tangannya meremas lengan lelaki itu.

Saat napas keduanya mulai tak beraturan, pemilik bibir yang tak lain adalah Aldi itu langsung menarik dirinya sebelum tak terkontrol. “Apa aku harus nyium kamu dulu, baru kamu mau berhenti ngambek?”

Wajah Salsha seketika memerah. Kedua pipinya menggembung, tanda ia sedang menahan malu.

Aldi kontan tertawa.Ia lalu meraih tubuh kekasihnya mendekat, merapat dalam dadanya yang hangat.“Tapi aku gak keberatan kok kalo kamu ngambek terus, asal bisa sering-sering nyium.”

Iremember, all the things that we shared
andthe promise we made, just you and I
Iremember, all the laughter we shared
Allthe wishes we made, upon the roof at dawn
Doyou remember?
Whenwe were dancing in the rain in that december
AndI remember, when my father thought you were a burglar

“Salsha! Ini hujan,kamu bisa berhenti kekanak-kanakan, gak? Mau sakit?” Teriakan lelaki itu teredam derasnya hujan.

Di depannya, sosok Salsha terus berjalan membelah hujan yang membasahi jalanan dekat sekolahnya.Dengan Aldi yang mengikuti dari belakang.

“Cha!!!” Aldi langsung mencekal pergelangan tangan kekasihnya tersebut, sebelum ia semakin jauh. Kemudian menariknya ke teras ruko yang tertutup untuk berteduh. Pakaian mereka berdua sudah basah kuyup. Ia dengan kemeja dan celana katun, sedangkan Salsha dengan seragam putih abu-abunya.

“Lo kalo gak niat jemput gue, bilang! Gak usah bikin gue nunggu kelamaan sampe dikira satpam sekolah!” sorak Salsha sambil menyentakkan genggaman kekasihnya dengan kasar.Meluapkan amarah.

“Bukannya aku udah bilang kalo mata kuliahku baru selesai pas sore? Kamu sendiri yang bilang mau nunggu, kan?” Emosi lelaki itu pun ikut terpancing. Pandangan teduhnya menghilang entah kemana.

“Oh, jadi sekarang kamu ngelimpahin kesalahannya sama aku? Gitu? Hebat banget!!!”

Baru saja Salsha hendak berlalu, lelaki yang kemejanya sudah berantakan tersebut kembali mencekal tangannya. “Oke! Oke! Aku yang salah. Puas?”

“Udah, deh. Gue udah gak tahan. Mending kita udahan aja sampe di sini.”
Perempuan yang kunciran rambutnya sudah awut-awutan itu kembali berusaha membebaskan tangannya, namun kali ini tidak berhasil. “Lepasin! Sakit, tau gak! Kasar banget sih jadi cowok!”

“Gak bakalan kalo kamu masih emosi gini.” Aldi menatap perempuan di depannya dengan tajam. Guntur menyela beberapa kali. “Coba liat mata aku. Dan ngomong kalo kamu udah gak sayang sama aku.”

Salsha kontan mengangkat wajahnya. Kemudian bertukar pandang dengan lelaki berkumis tipis dan hidung mancung tersebut. Ia menyadari, ada sesuatu yang berdesir di dadanya setiap bertatapan dengan pemilik mata teduh itu.

“Coba, aku mau denger ngomong kayak yang aku bilang tadi,” ulang Aldi.
Salsha membuka mulutnya sejenak, namun segera mengatupknnya kembali. Lidahnya kelu. Ia tidak terbiasa berbohong selama ini.

“Kenapa? Kok diem?”

“A-aku...” Perempuan itu langsung menunduk. Menghindari tatapan kekasihnya, lebih memilih terpaku pada kedua flat shoes miliknya yang dipenuhi bercak lumpur.

“Kamu nih... Ck!”Aldi tak melanjutkan kalimatnya. Lelaki bertubuh tegap dengan dada bidang dan perut rata tersebut memilih menarik tubuh kekasihnya ke dalam pelukan.Membiarkan tubuh mereka berbaur dalam keadaan basah kuyup.

Salsha menurut. Ia malah menyandarkan kepalanya ke dada Aldi. Memejamkan mata saat ciuman menenangkan milik lelaki itu mendarat di puncak kepalanya.

“Maafin aku, ya...”bisik Aldi.

Perempuan bertubuh mungil tersebut mengangguk pelan.

Aldi melepaskan pelukannya. “Kita pulang sekarang, yuk!”

Salsha mengangguk sambil tersenyum. Namun ia masih bergeming saat kekasihnya melangkah menjauhi ruko tempat mereka berteduh. Membuat langkah lebar Aldi terhenti masih dibawah guyuran hujan.

“Kok masih di situ?Buruan!” Lelaki itu mengulurkan tangannya, minta diraih.

“Gendong,” rajuk Salsha.

Aldi buru-buru kembali ke naungan atap teras ruko. “Kamu jangan becanda, deh. Ini udah hampir magrib.”

“Siapa yang becanda?”Perempuan berseragam SMA tersebut melipat kedua tangannya di depan dada. “Karna kamu udah bikin aku nunggu hampir tiga jam, jadi sekarang kamu harus gendong aku sampe ke mobil. Titik.”

“Cha, aku markirnya jauh, loh. Gak usah macem-macem maunya.”

“Gak mau? Ya udah. Aku gak mau pulang bareng kamu. Mending jalan kaki sambil hujan-hujanan.”

“Salshaaaaa...” Aldi menggeram di akhir kalimatnya. Antara menahan gemas dan kesal.

“Apa?”

Lelaki itupun langsung berjongkok di depan kekasihnya dengan berat hati. Kontan saja membuat Salshadengan senang hari menjatuhkan tubuh ke punggung bidangnya. Ia lalu berusaha berdiri. Walaupun mungil, menggendong Salsha ternyata butuh tenaga keras juga.

“Jalannya jangan cepet-cepet. Aku lagi ngenikmatin hujan.” Perempuan itu harus menepuk pundak Aldi berulang kali untuk mengikuti kemauannya.

“Hujannya deras banget, sayang. Mobilnya juga masih di depan sana,” balas Aldi.

“Biarin. Pokoknya aku mau lama-lama di bawah hujan.”

“Kalo kamu sakit,gimana?”

“Apa gunanya aku pacaran sama calon dokter kalo sama sakit aja takut?”

Aldi langsung menoleh. Kemudian tersenyum penuh arti dan menghentikan langkahnya. Mereka berdua bertatapan dalam diam. Lalu entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah menyatu. Dibingkai oleh hujan deras.

Iremember, the way you read your books
YesI remember, the way you tied your shoes
YesI remember, the cake you loved the most
YesI remember, the way you drank you coffee
Iremember, the way you glanced at me
YesI remember, when we caught a shooting star
YesI remember, when we were dancing in the rain in that december
Andthe way you smile at me, yes I remember
(Mocca – I Remember) ♫♪

***

           Hal pertama yang didengar Salsha setelah membuka matanya adalah mesin pendeteksi detak jantung yang sepertinya terletak tepat di sebelah telinganya.Sedang yang pertama dilihatnya adalah cahaya lampu di atas tempat tidur.Membuatnya harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir sinar.

“Cha? Salsha? Kamu udah sadar, sayang?” Merupakan suara kedua yang ia dengar, berasal dari sebelah kanannya. Ia pun menoleh sekuat tenaga, setelah sebelumnya menyadari bahwa lehernya di-gips sedemikian rupa.

“Kamu kenapa? Ada yang sakit? Aku panggil dokter dulu, ya!” Pemilik suara bernada khawatir tersebut berniat membalikkan tubuh, namun diurungkan saat mendengar deheman dari sosok yang masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit itu.

“Kenapa?” Lelaki yang tak lain adalah Aldi tersebut langsung mendekatkan telinganya ke arah sang tunangan.

“A...ir...” ujar Salsha dengan suara yang serak.

Aldi pun kontan menyodorkan segela air putih lengkap dengan sedotan ke depan bibir Salsha.Tangan kanannya menopang kepala bagian belakang perempuan itu, memudahkannya untuk minum.

Salsha menghabiskan setengah dari isi gelas tersebut. Lalu kembali berbaring. Napasnya mulai teratur.

“Aku panggil dokter dulu.”

“Gak usah,” sela Salsha cepat.

Kedua alis Aldi menyatu.

“Aku udah baikan, kok.Kamu di sini aja.”

Alis tebal milik lelaki itu masih bertaut, namun ia memilih menuruti kemauan perempuan didepannya. Kemudian kembali duduk di kursi samping tempat tidur, tempatnya menjaga sang tunangan sejak kondisinya membaik sehari yang lalu.

“Aku gak pernah ngerasa sesehat dan sebahagia ini sebelumnya,” ucap Salsha. Memecah keheningan yang sempat tercipta.

Aldi belum berani angkat bicara. Setahunya, dua hari yang lalu tunangannya ini bangun dari koma dengan raut heran. Lalu mengapa sekarang dirinya yang dibuat demikian?

“ALVARO MALDINI SIREGAR..”
Jantung lelaki itu langsung berdetak dua kali lebih cepat saat mendengar nama lengkapnya disebut.

“Aku... udah ingetsemuanya.”

Hening. Sedetik. Tiga puluh detik. Semenit.

“Se... Serius?”Suaranya bahkan tercekat di tenggorokoan.

Dan anggukan lemah Salsha-lah yang menjadi awal dari pelukan eratnya. Pelukan yang sarat akan rindu. Disertai kecupan berulang kali di dahi dan puncak kepala perempuan yang sangat dicintainya itu.

***

           “Saya sudah dengar cerita dari mereka.”

Suara berat itu kontan membuat tubuh jenjang milik Dokter Bella menyingkir dari depan pintu ruangan dimana Salsha dirawat. Tempat ia menyaksikan adegan sok romantis menurutnya sejak beberapa saat lalu.

Pemilik suara berat tersebut menghampiri Dokter Bella yang seketika langsung memasang ekspresi tegang. “Dokter yang sengaja memanipulasi mobil Aldi sampai remnya blong. Iya,kan?”

“Dok-Dokter tau darimana?” Dan saat itu juga, perempuan dengan long dress hitam itu langsung menyesali kalimatnya.

Lelaki berjas dokter didepannya spontan tertawa pelan. “Saya punya banyak mata, Dokter Bella. Apa sebesar itu perasaan Dokter pada calon menantu saya, sampai-sampai hampir menghilangkan nyawa anak saya sendiri?”

Dokter Bella sontak menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit tempat ayah Salsha bekerja. Lunglai. “Saya... juga mencintainya, Dokter. Apa salah? Toh mereka belum menikah,” sahutnya lemah, dengan kepala tertunduk.

“Cinta itu tidak selamanya bisa memiliki, Dokter. Apalagi cinta yang dipaksakan, tidak ada indahnya sama sekali.”

“Tapi bukannya cinta juga perlu diperjuangkan?”

“Iya, jika keduanya sama-sama saling cinta. Kalau hanya satu yang memperjuangkan, sama saja dengan kesia-siaan.”

Perempuan itu tersenyum sinis. “Coba Salsha yang ada di posisi saya, apa Dokter masih bisa ngomong begitu?”

“Jelas. Saya tidak mau melihat Salsha memperjuangkan laki-laki, apalagi dengan tindakan bodoh menjurus kriminal seperti Dokter Bella,” balas ayah Salsha.
“Saya sebenarnya sudah berniat melaporkan tindakan ini ke polisi, saya sudah punya bukti dan saksi.Tapi karena istri saya tidak mau memperpanjang masalah, jadi saya juga cukup mengasihani anda.”

Dokter Bella bergeming.

“Dokter ini cantik.Bukan hal yang sulit untuk mencintai laki-laki lain. Dokter cuma butuh orang yang tepat.”

Tubuh perempuan bertubuh jenjang tersebut kembali tegak. Kemudian berbalik, hendak meninggalkan dokter senior itu.

“Saya cuma memberikan masukan, Dokter. Dan, oh iya. Saya harap Dokter membiarkan Aldi dan Salsha bahagia. Kebahagiaan Dokter bukan ditentukan oleh hubungan mereka,” tandas ayah Salsha. Sebelum Dokter Bella berlalu dari hadapannya.

***

Satu minggu kemudian...

           Tak ada hal-hal seru yang terjadi sepanjang minggu ini, kecuali Salsha yang terus merengek untuk dibawa pulang. Perempuan itu harus mogok makan dulu, baru diizinkan meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat selama sebulan terakhir ini.

Ia begitu merindukan suasana dan segala macam hal tentang rumah. Dan begitu ia kembali, entah mengapa tubuhnya jadi sehat. Semangatnya kembali.

“Sayang, kamu naik tangganya jangan sambil lompat-lompat gitu, dong! Ntar jahitannya kebuka,gimana?” Teriakan Aldi muncul dari bawah.

“Apaan, sih? Emangnya aku abis melahirkan? Jangan lebay, deh! Aku udah sembuh, tau!” sahutnya, cuek.

Aldi berdecak gemas seraya ikut menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak tepat di seberang kamar Salsha di lantai atas. Ayah dan ibu perempuan itu masih sibuk di rumah sakit. Jadi lagi-lagi hanya mereka berdua di rumah ini.

Lelaki dengan baju kaus putih bertuliskan ‘engagement with pretty woman’ tersebut menyandarkan tubuh tegap miliknya ke sisi pintu kamar Salsha sejenak. Kemudian ikut memasuki kamar itu, menghampiri tunangannya di atas tempat tidur.

“Aku bahagia banget loh sekarang. Gak pa-pa deh kecelakaan sampe badan penuh luka gini kalo akhirnya bisa inget sama kamu,” ujar perempuan berkaus putih bertuliskan‘engagement with awesome man’ tersebut. Sepasang kaus yang mereka buat beberapa tahun lalu, sebelum Aldi memutuskan pindah ke Australia. Senyumnya merekah.

Di sebelahnya, senyum Aldi tak kalah lebar. “Aku lebih bahagia lagi. Lebih dari apapun di muka bumi saat ini.”

Hening.

Salsha sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, sedangkan Aldi sendiri sibuk menatap wajah perempuan itu.

Dan entah naluri darimana, lelaki yang rambutnya mulai menyentuh tengkuk tersebut memutuskan jarak dengan tunangannya. Hingga kedua tubuh mereka saling menyentuh, bibir keduanya saling bertaut, dan jemari yang sibuk menyampaikan rindu lewatgenggaman.

Tiba-tiba, Salsha menarik wajahnya yang merona dan napas terengah.

Aldi menatapnya dengan dahi berkerut.

“Aku... buatin kamu cappucino dulu. Kamu belum sarapan, kan? Hm, sekalian roti bakar selai kacangnya, gak? Kamu masih suka?”

Lelaki itu kontan tersenyum, lalu mengangguk. “aku selalu suka masakan kamu. Bikinnya pake cinta, ya! Itu yang paling penting, jangan lupa!”

Salsha tertawa sekilas, kemudian melangkah setengah berlari meninggalkan kamar setelah bibirnya kembali dikecup mesra oleh sang tunangan.

Iremember, the way you read your books
YesI remember, the way you tied your shoes
YesI remember, the cake you loved the most
YesI remember, the way you drank you coffee
Iremember, the way you glanced at me
YesI remember, when we caught a shooting star
YesI remember, when we were dancing in the rain in that december
Andthe way you smile at me, yes I remember ♫♪


*END*

Jangan lupa divote dan dicomment

Kita Berjuang Sama SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang