Dua

180 18 2
                                    

"Hey Tuan!" Panggil seseorang, ah Josef, anak Della.

"Ada apa?" Jawabku berusaha sebaik mungkin. Jujur saja, aku mulai kesal melihat Josef yang terlalu protektif kepada Della. Aku tau dia ibunya, but.. saat umurku sama dengannya aku tidak begitu semangat perjuangan memeluk ibuku begitu.

"Mau apa kau mendekati ibuku?" Tanyanya yang begitu ketus.

"Tidak ada, Della temanku, dia pegawai di Cafe ibuku. Hanya itu. Dan yah.. tentu saja, ibumu manis." Ucapku yang kuakhiri tawa di akhir, berbeda dengannya yang semakin memandang tidak suka kearahku.

"Ibuku berbeda dengan wanita yang ada di sekitarmu! Ibuku orang yang special." Ucapnya sambil menunduk. Sepertinya dia akan bercerita, baiklah, Sean ini akan menjadi pendensar yang baik, nak.

"Dulu kami kaya, dulu aku masih berumur 10 tahun, mungkin sama kayanya denganmu. Tapi karena ayahku licik, dia berhasil merebut semua kekayaan ibuku dan aku, dengan mudahnya dia menceraikan ibuku! Dan menikah dengan jalang hina itu! Sehingga kami berteduh di gubuk ini. Ibuku bukan orang idiot! Kumohon jangan panggil dia idiot! Dia bukan orang idiot! Semenjak umurku 15 tahun aku menyadari semuanya. Aku berfikir bagaimana caranya menjadi seorang yang sukses sepertimu.." dia menggantung kalimatnya, menatap pakaianku dari atas sampai bawah. Apa dia baru menyadari bahwa aku tampan? Hei! Ini sedang momen sedih Sean, tolong tahan ketampananmu, uhmm maksudku rasa percaya dirimu.

"Pakaian yang bagus, sepatu yang bagus, mobil mewah, rumahmu pasti besar, dan kau.. pasti pengusaha kan?" Aku terenyuh mendengar nada suaranya, seperti.. dia trauma ibunya dan dia sendiri akan di sakiti kembali oleh pria. Maaf jika perkataanku menyinggung, mereka miskin, dan anak ini sangat menyayangi ibunya. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. Dan dia malah tertawa hambar.

"Bagaimana kau bisa meneruskan pendidikan sampai jenjang universitas?" Tanyaku ragu- ragu. Takut dia tersinggung.

"Pemerintah memberikanku brasiswa sampai aku lulus kuliah." Jawabnya.

"Kalau begitu kau pintar, nak. Kau harus membuat ibumu bangga." Aku mengusap punggungnya menyemangatinya. "Tuan, kita belum 24 jam bertemu, namun kau pria yang baik, kau mendengarkan ceritaku dengan baik. Terimakasih." Dia berkaca- kaca, ingin menangis.

"Kalau kau rajin belajar, mendapatkan nilai yang bagus, maka aku akan membantumu." Ucapku akhirnya. Matanya membelalak, seakan dia dan ibunya telah disinari harapan olehku.

"Benarkah tuan??! T-tapi.. aku harus pikirkan ini baik baik. Aku takut jika kau.."

"Aku bukan orang jahat, ini kartu namaku. Kau punya telfon genggam bukan?" Ucapku sambil memberikan kartu nama. Dia menggeleng mendengar pertanyaanku. "Tapi di depan sana ada telefon umum, aku bisa menggunakannya." Lagi- lagi aku tersentuh. Anak seumurannya tidak punya telfon genggam di zaman sekarang? Hampir tidak mungkin sekali. Tiba- tiba tanganku terulur untuk mengusap kepalanya. "Nak, ini zaman global, apa kau tak ingin mempunyai laptop atau handphone? Itu bisa meringankanmu." Ucapku.

"Mau bagaimana tuan? Ibuku berbeda dengan yang lainnya! Dia bukan seperti ibu teman temanku yang bisa menjadi pegawai, asisten, pengusaha, dan yang lainnya. Pekerjaan yang bisa ibuku lakukan hanya pelayan! Tak perlu berfikir! Dan tak menggunakan otak saat bekerja, hanya lakukan bagaimana caranya agar tempat dan benda itu bersih! Hanya itu yang ibuku bisa kerjakan." Dia menangis. Sungguh! Remaja ini menangis.

"M-memangnya, apa yang terjadi dengan ibumu?" Tanyaku ragu pada akhirnya. Mari kita akhiri rasa penasaranku ini.

"Dia mempunyai perbedaan denganmu. Umur kalian jauh lebih tua diatasku. Namun.. pemikiran ibuku jauh lebih muda dibawahku." Jelasnya.

"Maksudmu.."

"Ibuku autis."

Jujur, dua kata itu membuatku semakin ingin melindungi mereka berdua. Mereka membuatku lupa akan segala masalahku. Aku harus benar benar membantu mereka. Urusan keuangan mereka akan menjadi tanggung jawabku. Itu janjiku.

"Jangan sungkan untuk meminta bantuanku? Aku harus pulang, sudah larut." Kami berdiri, Josef menggenggam kartu namaku penuh harap.

Aku melangkahkan kakiku keluar gang setapak itu, masuk mobilku dan langsung melaju pulang.

****

Ibu..

Aku mencari ibu, apakah beliau sudah tidur? Samar- samar aku mendengar suara piring bertubrukan di dapur. Tebakanku benar. Ibuku sendirian tengah mengemas piring ke lemari. Kalau kalian bertanya kami baru pindah? Tidak.. ibuku adalah penggemar piring, mug, cangkir ddn segala jenis peralatan makan yang harganya bukan main mahalnya.

"Ibu.." panggilku.

"Ada apa nak?" Sautnya. Aki duduk di meja makan, dengan bir yang telah ku ambil sebelumnya si kulkas.

"Dijalan tadi aku bertemu Della, lalu aku mengantarkannya pulang." Ceritaku.

"Della?" Tanya ibuku.

Aku mengangguk. "Della Chriselda, pegawaimu yang memecahkan piring tadi." Ibuku mengangguk mendengarnya.

"Lalu?"

"Della ternyata seorang wanita pengidap autis. Dia janda, mempunyai anak kira kira berumur 18- 20an tahun bu. Rumahnya.. hmh.. bahkan tak pantas untuk disebut rumah. Lebih cocok dipaggil dengan sebutan gubuk reot." Aku meminum birku sampai setengah. Ibuku menyudahi kegiatannya dan lebih memilih untuk mendengarkanku.

"Bagaimana dia bisa menghidupi anaknya? Ibu kira dia baru bekerja pada ibu kemarin?" Ibuku duduk di kursi makan tepat di depanku.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Entahlah bu, bahkan mereka tidak memiliki tetangga yang ramah sepertinya. Josef nama anaknya. Aku pikir aku akan membantunya dalam urusan anaknya, aku akan membelikan ponsel genggam untuk Josef, memberikan laptop lamaku, dan setelah dia lulus mungkin aku akan mempekerjakan di perusahaan kita. Bagaimana bu? Ibu mengizinkan aku menolong mereka kan?" Tanyaku.

Ibu berdiri dan mengusap kepalaku dengan lembut. "Ibu tidak pernah melarangmu berbuat kebaikan nak. Kau harus memperlakukan Della dan anaknya sebaik mungkin. Ibu akan menolongnya ketika di Cafe. Ibu pikir ibu akan menggajinya lebih. Untuk membantu mereka." Ibuku memang malaikat terbaik sedunia.

"Dan ibu tau? Di dalam rumahnya tidak ada lantai, hanya tanah, satu ruangan yang aku yakin itu kamar mereka. Di ruang tamu hanya ada satu meja plastik, dan dua kursi plastik. Itu semua sudah rapuh bu. Bahkan atapnya bukan genteng, seng, baja ringan atau apa. Hanya daun kelapa yang di ikat sedemikian rupa supaya tidak bocor. Penerangan yang minim. Dan yang aku rasakan hanya ingin membantu dan melindungi mereka." Aku menghabiskan birku. "Orang seperti mereka memang harus kita lindungi dan bantu nak. Sekarang istirahatlah, ibu juga akan ikut membantu mereka." Aku turun dan mengecup kening ibuku sekilas. Lalu langsung berlari keatas, ke kamarku.

Aku masuk ke kamarku yang besar, mungkin ukuran ini sama dengan rumah Della.

Tunggu.. kalian menyadari sesuatu?

KENAPA AKU MEMIKIRKAN WANITA ITU TERUS?! Aahh wanita itu benar benar..

Della membuatku lupa akan segalanya. Ayolah sean.. kau tidak mungkin menyukai wanita itu.

Aku memutuskan untuk mandi, yahh mandi malam itu segar kawan.

Setelah mandi aku hanya tidur dengan bathrobe ku. Lagian siapa yang akan masuk? Ibu? Ohh ibuku tidak akan mau membangunkanku. Mau tau kenapa? Ibuku tidak tegaan orangnya jika tentang aku, hahaha aku ini memang anak yang paling disayang. Karena adikku meninggal beberapa tahun lalu.

Handphoneku berbunyi. Menandakan ada yang menelfon. Tanpa melihat namanya aku langsung mengangkat telfonku.

"Apa yang terjadi sayang? Kau lupa lagi untuk menghubungiku huh?"

Astaga! Lolita!

Aku lupa menghubungi kekasihku. Ya tuhan! Della memang membuatku lupa akan segalanya. Termasuk fakta jika aku memiliki kekasih.

Idiot Isn't My Name!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang