Aku menyukai tawanya. Bisakah aku mendengarnya sekali lagi?
.
.
Knock! Knock! Knock!
Seseorang mengetuk pintu?
"Ngh..." aku menaikkan selimut ku hingga menutupi kepala, lalu memutar tubuh membelakangi pintu. Aku mengantuk; pergilah, bodoh.
Knock! Knock! Knock!
Aku sama sekali tidak tertarik pada siapa yang mengunjungi ku, bahkan jika itu sang Ratu sekalipun! Ya Tuhan! Jauhkanlah diriku dari siapapun itu! Aku hanya ingin menikmati pagi yang damai ini! Tangan kanan ku menutup telinga kanan ku yang berada di atas. Dengan begitu semoga suaranya tidak akan terlalu terdengar olehku.
KNOCK! KNOCK! KNOCK!
"Astaga, bisakah kau diam?! Aku mencoba tidur di sini!" Aku akhirnya berteriak kepada siapapun yang berada di depan pintu. Dasar tidak punya sopan santun!
"Paman Jesse! Ini aku."
Oh, suara itu. Lucy, anak Greg. Ya, gadis berumur 20 tahun ini adalah hasil perkawinan antara babi kotor itu dengan kucing penjilat—maksudku, Greg dan mantan istrinya. Aku merasa bahwa gadis ini adalah satu-satunya hal yang positif yang dimiliki oleh mantan pasangan ini. Sifatnya begitu baik, ramah ke semua orang, dan tidak seperti ayahnya–dia lembut. Setiap akhir pekan dia selalu kemari untuk mengunjungi ayahnya; sungguh anak yang berbakti. Aku menjadi teringat pada mendiang anakku dulu.
"Sebentar," Balasku setelah mengambil posisi duduk di tepi ranjang. Sedikit menggaruk kepalaku yang terasa agak gatal, aku memutuskan untuk mencuci muka di kamar mandi. Hanya sebentar, lalu bergegas membuka pintu—tunggu. Celana. Aku harus memasang celana–tidak ingin merusak imej ku hanya dengan celana dalam ini.
Sepasang celana telah dikenakan. Tidak perlu atasan, karena sudah terbiasa berhadapan dengannya tanpa atasan. Aku bergerak menuju pintu keluar. Memutar kenopnya, lalu membukanya sedikit. "Uh, hei. Apa kabar?"
"Hm! Baik, kok. Paman sendiri?"
"Uh, yah, begitulah. Silahkan masuk." Jawabku sembari membuka lebar pintu untuk mempersilahkannya.
Lucy sendiri memiliki rambut cokelat yang diikat ekor kuda hingga sebahu. Wajahnya sedikit lonjong, dengan mata berwarna biru bak permata. Ia tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu pendek. Postur tubuhnya terlihat menarik—kurasa seperti inilah ibu nya dulu terlihat—dan aku tidak bisa bohong saat aku melihat bukit-bukit itu, aku merasa bergairah. Oh tenang saja, aku menganggap dirinya sebagai anakku sendiri; aku tidak ingin dia terjerumus ke dalam kegelapan seperti ibunya dahulu.
"Um, aku akan mandi dulu. Tunggu saja di sofa. Oh dan ada susu kaleng di bawahnya; kau bisa mengambilnya jika kau mau." Ujarku sesaat ia masuk ke dalam. Aku kemudian masuk ke kamar mandi dengan segera. Ugh, loteng ini tidak memiliki air panas, jadi aku harus bertahan dengan air dingin. Musim semi baru saja hadir, namun cuacanya masih tetap dingin.
Setelah mandi dan berpakaian, kami berbincang-bincang seperti biasanya. Kebanyakan berbicara tentang masalahnya di perkulilahan—dia saat ini adalah seorang mahasiswi di University of Edinburgh, mengambil fokus ke Hukum. Cita-citanya sejak kecil adalah menjadi seorang Jaksa Mahkota (Crown Prosecutor); mirip seperti Jaksa Wilayah di Amerika, jika kau bertanya-tanya. Sebagai seorang mantan kriminal dan penegak keadilan, ini kurang lebih adalah bidang keahlianku. Aku membantunya sebanyak hal yang ku bisa. Terkadang kami berdebat tentang hal kecil, seperti apakah pencuri yang mencuri dari pencuri lainnya pantas dikurangi hukumannya? Apakah seorang pria tua yang tidak memiliki apapun hingga akhirnya mencuri, pantas untuk dihukum? Apa yang mendasari pemikiran seorang pembunuh yang membunuh para pemerkosa wanita?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stains On The Blade
Science Fiction[Warning: Strong Language] Jesse Essienhart, mantan seorang hakim jalanan, terpuruk setelah tragedi pembunuhan keluarganya. 12 tahun mengasingkan diri dalam 'penebusan dosa' miliknya, ia hidup di pesisir tanah Inggris. Namun hal-hal yang dulu ia ti...