Pernahkah kamu merasa jengah dengan keadaan? Merasa lelah karena berjalan di tempat dengan orang yang sangat ingin kau ajak maju? Merasa bahwa orang yang dulunya kau cintai menjelma menjadi orang yang entah apa namanya, namun seperti menghambat langkah kakimu untuk maju ke depan? Aku sedang merasakannya. Namaku Nadin, seorang perempuan yang juga merupakan mahasiswi yang tentunya biasa-biasa saja. Tak ada yang spesial dariku.
Ini adalah tahun ketiga yang kulewatkan bersama Adit. Entah kenapa aku merasa sedikit jengah dengannya. Long distance relationship nyatanya tak berhasil padaku. Aku bertemu Adit saat SMA, kami satu kelas. Dia yang awalnya tak kusukai karena gayanya yang tidak tegas nyatanya mampu mengambil hatiku karena kesabarannya menghadapi aku yang amat keras kepala.
Ya, aku perempuan yang keras kepala dan tidak suka dikekang namun memiliki tingkat kecemburuan yang amat tinggi. Tak kupungkiri, temanku yang satu itu memang memiliki penampilan diatas rata-rata. Tak heran jika banyak adik kelas yang tergila-gila padanya, namun aku tak peduli. Dia milikku. Terdengar posesif memang untuk orang yang tidak suka diposesifkan.
Mungkin kau bingung membacanya. Awalnya kubilang ini tahun ketiga, lalu kubilang bahwa dia adalah "temanku", lalu setelah itu kubilang bahwa ia milikku. Ya, aku terjebak "friendzone" selama tiga tahun haha. Friendzone yang entah mengapa menjadi sangat posesif satu sama lain, namun tetap bukan 'pacaran'. Terserah apa yang kalian pikirkan, aku tak peduli jika kalian tetap menganggap kami 'pacaran'. Sudah terlalu biasa mendengarnya.
Awalnya, aku menikmatinya. Setiap proses, pendekatan, perdebatan, pertengkaran, perpisahan, pertemuan lagi, dan semuanya. Namun, semenjak kita pisah tempat untuk mengenyam bangku perkuliahan, semuanya berubah. Dia yang mulai sulit kutemui karena perbedaan jarak yang sebenarnya tak begitu parah. Hanya saja, setiap ia menjemputku di kampus, ia akan menunjukkan wajah kesalnya. Aku sangat tidak suka ini.
Aku lelah karena seharian kuliah, aku tahu ia pun begitu. Yang tidak kumengerti adalah ia yang memintaku untuk mengiyakannya saat menawarkan jemputan, namun ia juga yang kesal karena kampusku yang jauh dan melewati beberapa titik kemacetan. Ini salah satu penyebab aku merasa tak kerasan dengan hubungan ini. Ketidakikhlasan. Ketidaktulusan.
Adit merupakan seorang yang posesif, menurutku. Mengapa begitu? Aku memiliki banyak teman laki-laki, banyak sekali. Adit tahu itu, namun tak jarang ia masih menanyakan bagaimana perasaanku pada teman-teman lawan jenisku itu. Jelas, aku sama sekali tak memiliki perasaan apapun pada mereka. Menurutku, mereka itu seperti kakak-kakakku. Aku tak mengerti mengapa Adit securiga itu kepadaku.
Tak jarang pula ia melontarkan kalimat pedas seperti "asyik banget ya mainnya" atau "seru banget tuh ngobrolnya" dan sebagainya, tatkala aku sedang bersama salah satu teman lawan jenisku. Aku tak paham. Menurutku, sangat tidak wajar jika ia curiga padaku dan teman-temanku. Benar-benar tidak wajar. Aku memang tidak suka dikekang, namun kuakui aku sering kali mengekang Adit. Sering aku menanyakan siapa perempuan yang baru ia ikuti di instragram.
Bahkan, terkadang aku tak suka jika ia bermain dengan teman laki-lakinya. Bukan karena cemburu, namun ia jadi tak kenal waktu dan aku tak suka itu. Aku ingin Adit meluangkan waktunya untukku. Seorang posesif yang tak suka dikekang.
Aku akui, aku sangat tidak adil pada Adit namun ia tetap terima saja diperlakukan seperti itu. Itu pula yang pada akhirnya menyadarkanku bahwa aku harus terlepas dari Adit agar aku bisa belajar tentang menghargai dengan adil.
Saat ini kududuk di bangku kuliah semester tiga. Saat ini juga aku melihatnya, Rama. Seorang ketua umum sebuah badan di jurusan sebelah. Charming. Itulah kata pertama saat aku melihatnya. Aku kagum, mungkin juga tertarik, namun aku tahu diri. Masih ada Adit. Aku mungkin sudah jengah dengan Adit namun ia belum jengah denganku sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larut Aku dalam Ketidakpastian
RomanceAku hidup dalam angan dan harapan. Sayangnya, angan dan harapan nyatanya tak selalu baik. Itu membuatku terpaksa larut dalam ketidakpastian pada akhirnya.