Jaejoong menatap wajah Yunho yang terlihat serius. Ia jadi menebak-nebak maksud Yunho tentang kepentingan banyak orang. Menggeleng, ia tidak mau terlalu banyak ingin tahu. Namun, ia juga penasaran."Kau tidak mau mampir?" kalimat ini tercetus begitu saja. Wajahnya memerah karena malu.
"Kau mau aku mampir?"
Menaikkan sebelah alisnya, Jaejoong mengedikkan bahu. Aksi jual mahal. Astaga, kenapa ia bisa menawarkan pria itu mampir. "Jika kau mau, aku tidak keberatan," ujarnya dengan suara pelan.
"Aku tidak ingin kau terganggu."
Nah, lagi. Jaejoong berdecak, matanya tertuju lurus pada manik setajam musang milik pria itu. "Kenapa kau dingin sekali?"
"Kau suka pria yang dingin."
Mulut Jaejoong terbuka. Ia nyaris mengusap wajahnya andai tidak sadar bahwa ia perlu menjaga image di depan pria ini. "Kau berubah, demi aku?"
"Sebenarnya tidak. Aku kembali pada sikapku," sahut Yunho.
Maksud pria itu kembali pada sikapnya apa? Mengerjap, Jaejoong tak bisa menebak. Entah kenapa malah ia sekarang mulai penasaran dengan Yunho. Nampaknya pria ini misterius. Jujur saja sebelumnya Jaejoong mengira Yunho tidak bekerja. Jobless. Karena pria itu selalu berada di depan apartemennya.
Meski memakai kemeja dan celana bahan, penampilan Yunho memang seperti seorang pekerja sebuah kantor. Ia tidak bertanya pria itu teman kantor BoA atau teman BoA dimana. Ia tidak tertarik pada Yunho, maka dari itu ia tidak berminat mengetahui lebih jauh. Dan sekarang semua seolah berbalik.
Jaejoong ingin tahu lebih banyak tentang pria setinggi 180 cm lebih, di depannya ini.
"Aku tidak terganggu, mampirlah," Jaejoong semestinya tidak berkata demikian. Itu merendahkan harga dirinya yang semula menolak pria itu dengan keras.
"Baiklah, karena kau ingin aku mampir," Yunho tersenyum, dan pria itu mengambil paperbag dari tangan Jaejoong.
Melongo, Jaejoong memperhatikan Yunho yang melangkah di sampingnya. Wajah pria itu fokus ke depan. Memang terlihat berbeda. Biasa Yunho mengumbar senyum tetapi sekarang terlihat irit bicara dan terkesan sangat dingin. Ia mengerucutkan bibir dan terus melangkah menuju lift.
Sepanjang menuju ke unit apartemennya, mereka hanya diam. Hingga ia mempersilahkan pria itu duduk melalui isyarat mata. "Kau mau minum apa?"
"Apa saja yang tidak merepotkanmu," ujar Yunho sekenanya.
Menggaruk tengkuknya Jaejoong menatap pria itu yang menjaga pandangannya dari memperhatikan sudut apartemennya. "Kopi?"
Mengangguk, Yunho menyetujui, "Boleh."
Jaejoong tidak tahan dengan sikap Yunho yang terlalu irit bicara. Bersedekap, ia menatap pria itu dengan tajam. "Kau seperti orang lain, kau benar-benar berbeda. Kau sengaja ya, menghilang begitu saja? Lalu tiba-tiba muncul dengan cokelat, memberi jawaban bahwa kau ada urusan penting. Tadinya kau tidak mau menemuiku jika aku tidak mengejarmu, iya kan?"
Yunho memandang wajah Jaejoong dengan lamat, bibir pria itu sedikit melengkung. "Kau rindu?"
Mendengar pertanyaan singkat pria itu, Jaejoong nyaris tersedak air liurnya. Ia buru-buru menggeleng. Bagaimana bisa pria itu mengambil kesimpulan ia rindu? Ia tidak rindu Yunho —tidak menyadari merindukannya, dan ia seolah terkejut karena dadanya semakin berdebar karena kata rindu yang diucapkan Yunho.
"Aku, aku, aku hanya bingung kenapa kau tidak muncul, biasanya kau selalu ada," sergahnya.
"Aku tidak akan mengganggumu. Aku berniat akan mengirimkan makanan kepadamu melalui kurir saja. Aku—"
"Tidak! Aku tidak mau!" Jaejoong segera menggeleng dengan kuat. Wajahnya memelas dan ia melangkah mendekat ke sofa yang Yunho duduki.
"Lalu bagaimana?"
"Aku ingin kau, kau yang mengantarnya," sahutnya dengan pipi yang bersemu merah.
"Kau bilang aku tidak perlu melakukannya," pria itu mengatakannya tanpa ekspresi.
Jaejoong menggigit bibirnya, kesal dengan ucapan Yunho. "Baiklah terserah kau saja. Aku tidak memaksa. Aku tahu kau tidak serius mengatakan gombalan itu. Kau tidak benar-benar menyukaiku, aku tidak penting. Tidak usah mengantarkan apa-apa lagi padaku."
.
.
.Eyd ga beraturan, typo dimana" no edit.
Awas ga voted ga komen, aku mau ngambek ah :v .
Thank for voted dan komentar.
.
.
.