"Esok hari?" Jaejoong terkekeh seraya mengatakan itu.Pria di depannya ternyata ambisius. Well, bukan tanpa sebab ia menyimpulkan Yunho demikian. Karena apa yang dilontarkan pria itu tentang rencananya Jaejoong menarik kesimpulan demikian. Pria itu pintar menjadikan peluang sebagai kesempatan. Ia rasa Yunho bukan orang sembarang dilihat dari pola pikirnya.
Jujur saja, ia masih tidak bisa percaya dengan ajakan menikah Yunho. Dan pria itu meyakinkannya tidak dengan janji manis yang ia pikir akan dicetuskan bibir Yunho. Jung Yunho, pria ini memang berubah Dibanding Yunho yang ia kenal sebelumnya.
"Kau mau kita menikah esok?"
"Kau gila?" tertawa Jaejoong menatap lamat wajah Yunho yang barusan menarik wajah dari ceruk lehernya.
"Gila karenamu. Aku rasa wajar."
Memutar bola matanya, Jaejoong memukul dada pria itu. "Gombal lagi!"
"Aku?"
"Bukan, seorang pria berumur dua puluh delapan tahun dan baru melamar seorang wanita berumur tiga puluh enam tahun dengan sangat tidak romantis!"
Terkekeh pria itu mengecup keningnya, "Kau mau lamaran romantis?"
"Wanita menginginkan yang demikian. Tapi jauh dari itu, aku lebih senang andai kau memang serius."
"Menikah esok?"
Tersenyum malu Jaejoong menggeleng, "Seminggu, aku setuju yang itu. Aku akan memberitahukan kakakku bahwa kau akan melamarku."
"Kakakmu? Ibu BoA?"
"Bukan, kakak keduaku, seorang pria. Dia yang akan menjadi waliku."
Mengangguk, Yunho membelai lembut paras Jaejoong. Tidak pernah sebelumnya Yunho membayangkan bisa menyentuh wanita cantik ini, bahkan ia nyaris putus asa karena Jaejoong selalu menolaknya. Yunho rasa memang hal tepat mendiamkan wanita setelah melakukan hal maksimal yang bisa dilakukan.
"Kapan aku akan kau ajak bertemunya?" untuk menunjukkan betapa seriusnya, Yunho tahu bahwa bertemu keluarga Jaejoong adalah salah satu cara yang bisa memperlihatkan bahwa dirinya tidak main-main.
"Kapan kau memiliki waktu?" tanya balik Jaejoong dan melepas pelukan, ia berbalik dan mengaduk kopi.
"Setelah kerja? Jam makan siang? Atau kapan saja kau mau," sahut Yunho dengan suara tegas.
Jaejoong berbalik, ia membawa segelas kopi dan melangkah menuju ke ruang tamu. Yunho mengekor di belakangnya. Meletakkan gelas kopi di atas meja, Jaejoong duduk di sofa panjang. Dan Yunho mengambil tempat di sampingnya.
"Aku tidak ingin mengganggu waktumu bekerja, ada baiknya kau tentukan dahulu," ia sengaja meneruskan topik ini. Toh, ia ingin tahu sejauh mana kesiapan Yunho.
"Seorang amatiran bisa meluangkan waktu kapan saja," sahut Yunho dan terkekeh pelan seraya mengambil gelas kopi dan menyesapnya.
Menggeleng, Jaejoong sungguh tidak percaya pekerjaan pria itu. "Kau berbohong, seorang amatiran tidak akan mungkin ke Swiss."
Tidak terkejut, Yunho masih menikmati kopi buatan Jaejoong. Tahu, ini kopi instan tapi wanita itu kan yang menyeduh untuknya. "Bagaimana jika aku bilang freelance?"
"Bohong!" sahut Jaejoong tanpa ragu.
Rambut pria itu tersisir dengan rapi, ia merapikan rambut depan Yunho dan menatap pria itu dengan lamat. Demi apa saja kenapa ia jadi seberani ini. Bahkan sedekat ini. Mereka sebelumnya tidak pernah melakukan skinship, selain tangan bersinggungan. Namun kini? Tak perlu ditanya, pria itu sudah mencium keningnya dan ia membiarkan keadaan itu terjadi begitu saja.
Seperti magnet. Ia ingin selalu berdekatan dengan Yunho.
Hanya itu yang Jaejoong tahu. Selebihnya, ia merasa dadanya berdebar kencan dan europhoria karena memiliki seseorang membuat ia membuncah dan bibirnya ingin tersenyum terus menerus.
"Lalu apa yang kau ingin dengar tentang pekerjaanku?" menangkap tangan Jaejoong, Yunho menggenggam tangan wanita itu.
"Katakan dengan jujur saja."
"Menurutmu pekerjaan apa yang cocok untuk pria seusiaku?"
Menggeleng, Jaejoong tidak bisa menebak. "Banyak. Kenapa kau bertele-tele? Atau kau pengangguran?"
"Pengangguran?"
"Uumh? Jika benar aku tidak mau menikah denganmu!" ia serius, secara realistis ia membutuhkan seorang pria yang mampu membiayainya, bukan ia yang membiayai pria.
"Aku bukan pengangguran, aku memiliki pekerjaan di sebuah perusahaan. Kau tahu perusahaan kontruksi yang memiliki hotel serta resort dan beberapa anak cabang pengolah bahan dasar bangunan?"
"Banyak perusahaan dibidang kontruksi. Tapi menurutku perusahaan yang kau katakan tadi perusahaan besar dengan banyak aset," ujarnya dan menatap Yunho dengan lamat.
"Kau bekerja dimana?"
Terkekeh, Jaejoong menggeleng pelan. "Di sebuah perusahaan kontruksi juga."
"Sama kalau begitu."
"Aku tahu kau berbohong!"
"Tidak, Jeje. Aku tidak bohong."
"Nama perusahaannya, jika kau memang tidak berbohong," Jaejoong bersandar di bahu Yunho. Ia rasa tidak masalah jika melakukan ini pada calon suami.
"Tohoshinki Corporation," sahut Yunho dengan santai.
Mata Jaejoong terbelalak. Perusahaan itu adalah perusahaan dimana ia bekerja. Sepertinya Yunho tidak serius menjawabnya. Ia berdecak dan menatap pria itu dengan tajam. "Kau bohong, itu tempat kerjaku!"
"Aku tahu itu tempat kerjamu!" tandas Yunho dan menarik pinggang Jaejoong agar lebih dekat.
Tak ada yang bisa dikatakan Yunho saat wanita yang ia sukai dan idamkan berada sedekat ini dengannya. Semuanya terasa pas dan sempurna.
"Kau mencoba mempermainkan aku?" Jaejoong menjauhkan tangan Yunho, ia merajuk. Lagi.
"Tidak. Aku memang bekerja di sana. Jika kau tidak percaya, aku akan menemuimu jam istirahat nanti," ujar Yunho.
"Baiklah, aku setuju!"
Mengangguk Yunho tersenyum. "Kau tinggal sendiri saja?"
"Memangnya kau melihat orang lain di sini?"
"Kau wanita sukses kalau begitu."
Jaejoong tertawa, ia menggeleng, "Aku berusaha keras agar tidak menyusahkan kakakku."
"Kakakmu tidak akan disusahkan lagi setelah aku menikah denganmu, aku akan menanggung semua kebutuhanmu, dan berhenti bekerja, aku tidak ingin istriku bekerja dan membagiku dengan kerjaannya."
.
.
.Eyd ga beraturan, typo dimana" noe edit.
Jangan iri sama Jeje.
Thank for voted dan komentar.
.
.
.