Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bayu meraih ransel polosnya yang tergeletak di sofa. Dengan tergesa, pemuda itu meninggalkan rumah. Rumah yang telah membesarkannya selama delapan belas tahun itu. Yang kini tiada lagi canda tawa di sana.
"Bapak nggak boleh ketemu Ibu lagi. Kalau sampai terjadi, Bayu nggak akan tinggal diam." Kalimat yang terakhir ia ucapkan sebelum menghilang di luar pagar tinggi menjulang itu.
Bayu sudah muak dengan segalanya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah ibunya. Yang harus ia perjuangkan kebahagiannya, dengan jerih payahnya yang tak mengharapkan campur tangan dari lelaki tak berhati yang tega menyakiti dan menghancurkan keluarga kecil mereka.
Bayu terus melangkah, walau dengan setengah jiwanya melayang bersama hembusan angin di tengah jalanan kota yang mulai ramai sebab menjelang senja itu. Suara klakson dan deru mesin kendaraan menambah haru biru. Pemuda itu ingin menangis di tempat, namun ia coba untuk bertahan. Sedikit lagi, walau makin perih.
Bayu mempercepat langkahnya, takut akan tertinggal kereta yang menuju ke kota seberang. Ia harus segera, mengingat waktu keberangkatan tak lama lagi. Kira kira di depan sana, stasiun berada. Sedikit lagi, sampai.
Terlalu bersemangat, membuat Bayu sampai tidak menyadari ada satu tingkat tangga sebelum pintu masuk. Pemuda itu kehilangan keseimbangan, dan akhirnya tersungkur.
"Awㅡ" rintihnya lirih.
"Eh astaga, mas gapapa? Mau saya bantu?" suara seseorang terdengar mendekat. Bayu mendongakkan kepala, menjumpai seorang pemuda yang terlihat sepantaran, mengulurkan tangan padanya.
"Makasih," jawab Bayu sambil menggapai tangan itu. "Ngomong-ngomong, sendirian saja?"
"Oh enggak, mas. Itu sama kakak saya, lagi beli makan." tunjuk pemuda itu pada seorang perempuan yang berada di barisan antrian salah satu kedai di stasiun.
Bayu melirik ponselnya, jam di layar menunjukkan sudah menunjukkan pukul 17.56. "Kalau gitu, saya duluan. Keretanya hampir sampai-" pamit Bayu, lantas setengah berlari kecil.
"Ya, hati-hati, mas. Nanti jatuh lagiㅡ"
"Ngomong sama siapa lu? Sama angin? Dah gila?!" buyar lamunan pemuda itu saat sebuah suara menggelegar menyapa.
Perempuan itu sudah selesai dengan urusannya. Lalu menyodorkan sebotol minuman dingin pada si pemuda. "Lo air putih aja, gak ada duit lagi-"
"Anjir lah pelit banget sama adik sendiri!" protesnya. "Ngomong-ngomong, gue nggak ngomong sama angin! Itu tadi ada cowok jatuh di depan gue, terus gue tolongin-"
"Diihhhh caper,"
"Serah lu dah, btw ini jam berapa, kak?"
Perempuan itu merogoh sakunya, mencari ponsel yang ia simpan sejak tadi. Matanya melotot saat melihat angka yang tertera di layar yang masih terkunci itu.