Tentang Dia

87 6 1
                                    

"Al, menurut kamu bintang di atas sana sama semua?"


"Iya. Nggak ada beda."


"Kelihatannya gitu tapi sebenernya mereka semua punya keistimewaan masing-masing yang nggak bisa di lihat pake mata telanjang. Sama kayak manusia."


Aku mengerutkan dahi. "Karena kita semua di ciptakan berbeda. Punya keistimewaannya sendiri-sendiri, termasuk kamu."


Selalu ada romansa yang berhubungan dengan malam. Bagiku kelam yang bertabur ribuan bintang itu memang romantis, dulu. Sekarang semuanya sama. Entah itu Matahari atau Bulan yang sedang bertahta tak ada beda. Yang membedakan hanya siang adalah waktuku bekerja dan malam waktuku pulang.


Istirahat? Tidak. Malam bukan waktu untuk beristirahat. Semenjak sakit kepala yang terus meneror aku tidak memiliki waktu istirahat. Aku bekerja dengan sakit yang ku tahan, pulang, makan, minum obat, tertidur entah di bagian fajar yang mana, bangun di pagi buta, bekerja, pulang, makan, minum obat, begitu seterusnya. Itu pun jika mimpi buruk tidak menyambangi. Jika ia datang maka bisa di pastikan aku akan terjaga hingga ayam berkokok di pagi hari.


Berat badanku turun drastis, aku sedikit berterimakasih untuk itu karena tidak perlu diet. Namun wajahku tampak lesu dan tubuhku mudah lelah. Yang paling ku benci sakit ini cukup mengganggu kinerjaku. Beberapa kali kena tegur membuatku semakin stress. Aku hanya ingin sembuh dan melakukan aktifitas seperti biasanya.


Ku letakkan botol aspirin di meja. Baru saja aku meminumnya namun denyut itu menyerang tiba-tiba. Membuatku sedikit oleng dan menyenggol sesuatu di sebelah buku. Sebuah kain hitam menyembul di antara mulut paper bag coklat yang tergeletak di lantai. Aku memungutnya.


Ini adalah bajuku yang di kembalikan Hanna seminggu lalu. Aku belum sempat memasukkannya ke dalam lemari. Sakit kepalaku mereda secara perlahan, mungkin aspirinnya sudah mulai bekerja. Ku letakkan tas kertas coklat itu kembali di atas meja.


Mengingat Hanna tentu saja mengingat tentang lelaki itu juga. Lelaki yang tanpa sadar sudah ku aniaya. Mungkin dalam artian sebenarnya karena menurut cerita Hanna aku menendang dan memarahinya. Aku juga menuduhnya. Dasar Al bodoh! Bagaimana nanti jika kami bertemu? Aku masih malu bahkan hanya dengan terlintas nama Hanna.


Tidak. Salah sendiri dia mengerjaiku. Aku jadi berasumsi yang bukan-bukan, kan. Tapi tetap saja kamu salah, Al. Ah, sudahlah.


Mungkin saja dia sebenarnya lelaki yang baik. Apalagi dia tampan. Tubuhnya juga bagus dan dia seorang Direktur. Wah, sempurna sekali.


Tunggu! Apa yang baru saja kau pikirkan? Tidak tidak. Apa sebaiknya aku minta maaf saja padanya secara langsung? Tapi aku sudah minta maaf secara tertulis. Tetap saja itu tidak sopan, Al. Iya sih, tapi dia kan memberimu tumpangan, tidak melakukan hal yang buruk padamu selain mengerjai, dan karena dia juga kau bisa tidur dengan tenang.


Eh? Benar juga. Baru malam itu aku bisa tidur nyenyak tanpa ada mimpi buruk yang membuatku terjaga atau sakit kepala yang mengharuskanku tidur ketika fajar sudah membiru. Aku benar-benar merasa tenang. Apa karena alcohol? Tidak. Aku pernah minum sampai mabuk dan sakit kepalaku malah semakin menjadi. Apa karena pelukan? Mungkin?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PainkillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang