Pagi itu tak berbeda dengan pagi biasanya. Lorong-lorong sekolah masih sepi belum didatangi penghuninya. Pagi itu memang aku sengaja ke sekolah lebih awal. Bukan karena aku ini siswa teladan. Kamu terlalu husnudzon. Tapi karena hukuman dari Pak Angkasa, wakasek kesiswaan akibat kejadian tawuran seminggu yang lalu. Alhasil, aku dihukum untuk piket kelas tiap pagi selama seminggu.
Ini hari pertama ku menjalani hukuman. Dan ternyata kelas masih dikunci. Aku duduk di bangku depan kelas ku menunggu pak amin membukakan pintu sembari menahan sakit karena perutku yang belum kuisi dari sejak kemarin sore.
Hampir lima belas menit aku menunggu, namun pas Amin masih belum datang. Alih-alih, seorang gadis datang menghampiriku. Gadis itu berperawakan mungil dengan rambut berpotongan bob yang diikat sembarang. Dari seragam yang dia kenakan, terlihat jelas dia bukan anak populer yang sering menggodaku. Ini dari spesies lain. Lihat saja bentuk seragamnya yang kegombrangan. Roknya yang dibawah lutut, dan ranselnya yang terlihat lebih berat dari berat badannya. Ini pasti spesies kutu buku yang selalu berada di garis terdepan pertahanan kelas saat guru menerangkan.
"Sorry, pak Amin nitip ini untuk kamu" ujarnya sembari memberikan kunci kelas padaku.
"Pak Aminnya kemana?"
" Gak tau, tadi cuma bilang suruh kasihkan sama kamu."
" Oh,oke", ujarku singkat mengambil kunci dari tangannya. Tanganku yang satu lagi memegangi ulu hatiku yang terasa semakin perih.
Gadis itu tak kunjung pergi. Dia memperhatikanku yang meringis kesakitan. Kemudian ia mengambil sesuatu dari tasnya.
"Ini" ujarnya sembari memberikan sepotong roti padaku.
"Saya lihat kamu kesakitan. Mungkin kamu maag. Makan aja rotinya, lumayan untuk ganjal perut."
"Gak usah, biar nanti gue makan di kantin," jaabku menolak pemberiannya.
" Kantin masih buka setengah jam lagi. Udah makan aja, dripada kamu sakit. Saya masih punya banyak kok. " katanya lagi.
"Oke deh, thanks ya."
Ia hanya mengangguk, kemudian pergi meninggalkanku.
"Oh ya, nama gue aksara." Ujarku setengah berteriak. Ia berbalik dan tersenyum.
"udah tau!" jawabnya.
"Kok tahu?"
" Kayaknya satu sekolah juga tau siapa kamu," ujarnya sembari senyum tipis.
"Duluan, " pamitnya sebelum aku sempat melontarkan pertanyaan lainnya pada gadis itu.
***
Itulah awal pertemuanku dengannya. Dan sejak saat itu wajahnya tak mau pergi dari otakku. Gadis itu meninggalkan kesan yang berbeda dalam pikiranku. Bungkus roti yang diberikannya padaku kuperhatikan lekat-lekat seolah itu adalah harta karun paling berharga. Aneh memang, itu hanya sepotong roti, Namun sepotong roti itu telah mengubah seluruh fokus pikiranku pada si pemberi roti itu.
Gadis itu telah berhasil membuatku jatuh hati padanya. Seluruh gerak-geriknya menjadi begitu menarik dimataku. Dari mulai rambut bob berponinya yang terasa lucu membingkai wajah kekanakannya. Lalu cara bicara Saya-kamunya yang kaku namun justru terdengar renyah di telingaku.Dan cara berjalannya yang lucu seperti anak TK. Ah, mungkin aku sudah gila. Tapi mungkin begini rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Aku begitu penasaran dengan sosok gadis itu, sampai-sampai aku mewawancarai hampir seluruh teman sekelasku untuk mengetahui siapa namanya. Namun usahaku tak membuahkan hasil. Tak ada seorangpun yang mengenali gadis itu.
" Ya ampun Aksa, cewe pendek berambut bob, berponi, pake baju kedodoran itu banyak di sekolah kita. Lu yang lebih spesifik dong!" ujar Mira, salah satu temanku yang juga ratu gosip di sekolah ini. Bagi Mira, tidak ada satu berita pun yang akan lolos dari pendengarannya. Namun mira saja tak mengenali gadis itu. Aku semakin frustasi dibuatnya. Ah! Kenapa tak kufoto saja dia tadi. Tapi mungkin dia akan aneh dan kabur duluan.
"Pokokya dia anak seangkatan kita Mir," tambahku memberikan sedikit informasi. Sebenarnya itu asumsiku. Dia menyebutku dengan kata kamu, itu berarti dia bukan adik kelasku, karena mestinya dia memanggil kakak. Dia juga bukan kakak kelasku karena wajahnya yang terlihat takut berbicara padaku.
"Ah, Ibu Desi juga takut sama lu Sa," Kata Robby, teman baikku menimpali analisaku
**
Robby memang benar. Di sekolah ini yang tidak takut padaku hanyalah guru-guru dan kepala sekolah. Semuanya bermula ketika aku kelas X. Saat itu aku pernah terlibat tawuran antar sekolah. Sebenarnya lebih tepak disebut pengeroyokan karena saat itu aku sendirian melawan 10 orang yang membawa senjata. Tentu saja aku babak belur kala itu, tapi lawanku pun tak kalah mengenaskan. Kesepuluhannya masuk rumah sakit akibat patah tulang. Sedangkan aku, meskipun tubuhku babak belur, tapi keesokan harinya aku masih bisa masuk sekolah.
Sejak saat itu semua murid takut berurusan denganku. jarang ada yang mau berteman denganku ya kecuali anak-anak yang tingkat kebandelannya sama denganku. Bahkan beberapa guru, terutama guru yang masih muda takut untuk berurusan denganku. Takut dipukuli katanya. Padahal sebandel-bandelnya aku, aku tak akan pernah melawan guru. Buatku, melawan guru itu sama saja dengan melawan orang tua sendiri. Bisa dikutuk macam maling kundang aku.
***
Kembali pada gadis itu. Pencarian si gadis berponi itu, tidak hanya sampai disana. Begitu bel istirahat berbunyi aku langsung menuju kantin utama di belakang sekolah ditemani oleh Robby. Bukan untuk makan, tapi untuk mencarinya. Kantin ini adalah satu-satunya kantin resmi yang ada di sekolah yang mampu dicapai anak-anak baik seperti gadis itu. Kalau murid sepertiku? Tentu saja kami punya tempat nongkrong lain yang lebih mengasyikan dibanding kantin sekolah. Isinya tentu saja anak-anak yang nekat melompat pagar ataupun menyusup keluar parkiran.
Pencarianku sia-sia. Setelah hampir 15 menit memfokuskan mata mencari di tiap sudut kantin, aku tak kunjung menemukan gadis itu. Tak laparkah dia? Atau mungkin sedang puasa? Ah, intinya usahaku kali ini juga gagal. Akupun pergi dari kantin, meninggalkan Robby yang kini sudah sibuk dengan semangkuk baso di tangannya.
Namun ternyata Tuhan masih sayang padaku dan Dia mengutus seorang Vidi, anak OSIS berkacamata tebal yang menjadi malaikat penolongku. Vidi dan aku sudah berteman sejak SMP. Namun karena perbedaan klasifikasi spesies, saat SMA kami jarang berkumpul. Padahal Vidi sama sekali tidak menjauhiku walau aku sering dianggap pembuat onar di sekolah. Dan akupun tidak pernah sungkan padanya, karena aku tahu dibalik ke-kutubukuannya, Vidi itu adalah orang yang sangat asyik untuk diajak ngobrol.
Aku bertemu dengan Vidi tepat saat jam istirahat berbunyi. Dia membawa setumpuk buku untuk dibawa ke kelasnya. Sigap aku menawarkan bantuanku. Lihat kan? Anak bandel itu bisa baik juga tau! Pada saat itulah akhirnya aku tahu siapa gadis itu.
Gadis itu muncul di depanku. Well, 10 meter di depanku . Dia terlihat duduk di depan kelas XI IPA 5. Kelasnya bersebrangan denganku dan terletak di samping kelas Vidi. Gadis itu tampak asyik mengobrol dengan temannya dengan sebuah buku yang ia pegang.
" Itu siapa Vid?"
Tanyaku begitu Vidi hendak masuk ke kelasnya.
" Siapa? Rania?"
Vidi menyebutkan nama teman gadis itu yang sedang mengobrol dengannya. Raina, tentu saja aku kenal. Dia termasuk jajaran siswa cantik nan populer di sekolah ini. Tapi bukan dia yang aku maksud.
" Bukan, itu yang rambut pendek. Yang lagi pegang buku."
"Oh, kalau itu namanya odi. Melodi,"
Senyumku langsung terkembang begitu mendengar namanya. Nama yang indah.
Dan kemudian kau tau apa yang kulakukan?
Seakan tersihir dengan nama itu, aku berlari kecil ke arahnya. Kemudian berhenti dan berdiri dihadapannya.
" Hallo, Melodi. "
***
YOU ARE READING
Melodi Tanpa Aksara
RomanceSuatu pagi, seorang gadis memberi ku sepotong roti. Saat itu aku tahu aku telah jatuh cinta padanya.