22. Wallet Ballet

8.8K 993 65
                                    

Meskipun Kurnia mengatakan kalau ia akan membahas mengenai masalah taruhan itu nanti, ia tidak benar-benar ingin membahasnya.

Dan anehnya, Aristo tidak pernah lagi menagih hal itu.

Dengan demikian, Kurnia membiarkannya begitu saja. Toh itu keuntungan baginya.

Tapi jujur saja, Kurnia tidak bisa mengabaikan keanehan Aristo ini. Pemuda gesrek itu tidak pernah mengusiknya lagi di sekolah. Tidak pernah lagi mengambil meja yang dekat dengannya ketika di kantin. Tidak pernah lagi merangkulnya sok akrab dan menawarkannya untuk nebeng ketika pulang sekolah.

Tapi ketukan horor di pintu rumah Kurnia tetap lancar senantiasa, sepertinya.

"Kur, bukain pintu gih. Kamu nggak kasihan sama temanmu? Jangan berantem terus deh, kayak anak kecil aja. Cepat baikan sana."

Mau mengarang cerita se-tragis apapun, para orang tua tampaknya memang selalu cenderung simpati pada anak orang. Kurnia mendengus. Dengan langkah ogah-ogahan dia berjalan menuju pintu depan, membukanya sedikit hanya untuk menjulurkan jari tengah pada si tamu tak diundang, lalu menutup pintu.

Sayangnya pintu itu mendadak didorong dari luar supaya terbuka kembali. Dengan sigap Kurnia menahan pintu itu supaya tidak terbuka lebih lebar. Jantungnya maraton seketika. Jangan sampai Aristo berhasil masuk.

Sementara Aristo yang berada di sisi sebelah luar pintu semakin menambahkan tenaga pada dorongannya. Senyum setannya mengembang ketika mendengar teriakan dari dalam.

"UDAH WOY PINTU GUA NANTI ANCUR."

"Makanya biarin gue masuk."

"NGGAAK!"

Dan beberapa saat kemudian pemuda itu pergi. Ketika Kurnia akhirnya berani keluar dan mengecek teras, ia menemukan dua bungkus kacang polong serta sepucuk kertas.

Jgn jual mahal.
Gw jd pengen nerkam.
A

Ubun-ubun Kurnia rasanya mengeluarkan awan gelap. Dan petir.

Akhir-akhir ini bocah itu mendapat kesan kalau Aristo sangat menikmati ketika mengisenginya. Mengupayakan segala cara agar berhasil membuat Kurnia merasa terganggu.

Seperti beberapa hari yang lalu, ketika pemuda itu (bisa-bisanya) menguntit Kurnia dan Kesha sampai ke perpustakaan.

Awalnya Kurnia tidak menyadari ini, sampai tiba-tiba anak itu sedikit membuang muka untuk menguap dan menemukan pemuda laknat itu duduk di meja di belakang Kesha. Bersama seorang siswi, berhadapan. Si siswi ini duduk membelakangi Kurnia, sehingga otomatis Aristo berhadapan dengannya.
Sudut bibir pemuda SMA itu terangkat sedikit ketika tatapannya bersirobok dengan Kurnia.

Kurnia balas tersenyum kesal dengan gigi gemertak. Tangan anak itu berkeriat-keriut di bawah meja.

Ketika si siswi-yang-sepertinya-pacar-Aristo itu beranjak dari meja untuk mencari buku, Kurnia langsung menghampiri meja itu tanpa tedeng aling-aling.

"Sebentar ya, Kesh," bisiknya.

Kesha yang sudah tenggelam dalam novel di tangannya hanya menggumam asal.

Senyum Aristo hanya semakin lebar ketika melihat Kurnia berjalan ke mejanya.

Kursi ditarik. Kurnia menduduki kursi siswi tadi sambil menunjukkan ekspresi; haha sialan, ngapain lo di sini?

Dan benar saja,

"Ngapain lo di sini?"

Bocah itu berbisik penuh penekanan. Sayang sekali Aristo hanya membalasnya dengan senyum santai.

Cliche(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang