Oci merapatkan mantel maroonnya seraya berjalan menuju taman depan komplek. Ini sudah hampir pukul sembilan malam, yang artinya lebih dari dua jam berlalu sejak pesan dari Empi itu ia baca.
Awalnya ia berniat mengacuhkan permintaan Empi dan beranggapan seolah ia tidak pernah mendapatkan pesan dari cowok itu.
Tapi dirinya malah terus dirundungi rasa gelisah. Bagaimana kalau Empi nekat menunggunya sampai sekarang? Terlebih lagi sepertinya akan turun hujan mengingat saat ini tak terlihat bintang barang satupun di langit yang berwarna pekat.
Kalau dia masuk angin bagaimana? Atau lebih parahnya terserang demam?
Pikiran itu terus menghantui kepalanya sejak tadi. Bukan, ia bukannya peduli pada cowok itu. Oci hanya merasa tidak enak kalau sampai Empi benar-benar menunggunya selama itu. Oci meyakini ini semata-mata karna rasa bersalah bukan karna ia menaruh hati pada cowok itu, kan?
Entah lah, cewek itu tiba-tiba jadi ragu sendiri dengan perasaannya. Lama Oci berkutat dengan pikirannya sendiri hingga ia tanpa sadar sudah menginjakan kakinya di taman.
Dan... kosong!
Dengan mata segarisnya, ia mengedarkan pandangan disekitarnya, berusaha mencari sosok cowok itu tapi nihil. Hanya ia disini dengan lampu taman yang tampak temaram.
Huft, syukurlah. Oci menarik nafas lega. Setidaknya ia tidak begitu merasa bersalah karna sudah membuat cowok itu menunggu hingga dua jam lamanya.
Berbalik, Oci pun berniat berjalan keluar dari taman tersebut namun langkahnya terhenti ketika seseorang menggamit tangannya.
"Aku senang kamu mau datang..."
Oci tampak kaget dan lantas berbalik menatap Empi yang tersenyum sambil memegang tangannya. Menjalarkan rasa hangat disana.
"Kam—Elo?"
"Aku gak nyangka, kamu beneran mau datang nemuin aku."
"Lo... Lo beneran nunggu gue dari jam 7 malam?"
"Iya. Tapi itu gak masalah. Bahkan seharian pun akan ku sanggupi jika itu untuk kamu."
Oci meringis dalam hati. Sejak kapan Empi berubah menjadi cowok se-cringey ini. Apa ia belajar dari abangnya?
"Gue minta maaf udah buat lo nunggu. Gue gak maksud—"
"Gpp kok.." lagi lagi Empi tersenyum. Dan Oci baru menyadari bahwa cowok itu ternyata punya senyuman yang amat manis.
"Jadi jawaban kamu, Ci?" Empi menatap Oci yang saat ini tengah gelisah. Tangan cowok itu juga semakin erat menggenggam tangannya.
"Aku harap malam ini aku dapat kabar bahagia," sambung cowok itu tanpa melunturkan senyumannya.
"Gini... Gue bakalan jawab tapi lo harus dengerin gue dulu." Empi mengangguk, menyetujui ucapan Oci.
"Soal Yuni. Lo mungkin udah eneg dengerin ini tapi Yuni itu sahabat gue. Bahkan udah kayak sodara buat gue. Dan dia naksir elo, i mean naksir parah. Gue gamau ngerasa bersalah sama dia gara-gara gue ngerebut cowok yang di cintai."
"Aku udah tau gimana perasaan Yuni sama aku. Tapi yang aku perlu dengar kali ini cuman gimana perasaan kamu ke aku."
"Gue... Gue... Gue gatau," Oci menghela nafas lalu menatap mata cowok yang ada didepannya, "Jujur gue mau bilang biasa aja, tapi anehnya disudut hati gue kayak ada yang teriak seolah gue lagi bohong. Gue beneran clueless soal perasaan gue—"
Cup!
Kecupan singkat dibibirnya itu sukses membuat wajah Oci yang putih merona. "Coba rasain gimana kencangnya detak jatung aku," tangan Oci yang sedari tadi cowok itu pegang diletakkan ke dadanya, "its beating for you..."
Cuaca yang dingin malam ini tidak begitu terasa lagi bagi Oci. Sekujur tubuhnya terasa panas setelah insiden kecupan tadi. Pun detak jantungnya bergedup sama kencangnya dengan Empi.
"Sekarang bagaimana?" Kali ini jemari Empi mengelus pelan tangan Oci yang masih berada di dadanya.
Apa benar ia mencintai cowok ini? Jika iya, bagaimana perasaan Yuni? Bagaimana kalau Yuni menganggapnya seorang back stabber? Racau Oci dalam hati.
"Kita tidak bisa mengatur hati kita perihal siapa yang akan kita cintai dan sayangi. Yuni tidak salah mencintaiku, akupun juga demikian. Ini soal sekelumit perasaan yang sukar untuk dipahami. So i ask you once more, will you be my princess?"
Oci menggigit bibirnya, menarik nafas dalam-dalam,
"Yes... I will."
Empi membulatkan matanya tak percaya. Ia diterima! Cintanya diterima oleh sang pujaan hati. Cowok itu langsung merengkuh Oci dalam dekapannya dan mengangkat cewek itu ke udara. Ia sungguh bahagia...
Empi menurunkan Oci yang wajahnya masih merona, ia lantas mencuri satu kecupan lagi dari bibir ceweknya itu.
"Baru jadian udah kecolongan dua kali gue, yaampun..." Rengek Oci sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Empi mengusap puncak kepala Oci seraya berujar, "Hahaha maaf. Aku saking senengnya... Makasih banyak ya. Kamu bikin malam ini jadi indah, meskipun langitnya gak ada bintang."
"Sama-sama." Oci kini menatap Empi yang senyumnya bahkan lebih cerah dari mentari pagi. "Tapi gu—aku punya permintaan sama kamu, boleh?"
"Anything for you..."
"Aku mau kita sembunyikan hubungan kita, at least sampai aku siap ngasih tau ini semua sama Yuni."
Cowok itu tampak merenung sesaat hingga ia memberikan anggukan pada Oci, menyetujui permintaan gadisnya. "Just take your time, princess."
"Terimakasih banyak sudah mau ngertiin aku," ucap Oci seraya mendekap cowok yang sekarang sudah resmi menjadi pacarnya. Empi hanya mengangguk serta memberikan kecupan ringan di puncak kepalanya.
Semoga pilihanku ini tidak salah, tutur Oci dalam hati.
ㅡㅡㅡTMNㅡㅡㅡ
Happy 5th uri bangtan soyeondan, stay still. Love yourself, love Army, and peace!
Buku ini rencananya mau ku tamati cepet2, tapi bingung nyelesein nya gimana bcs kemaren bikinnya tanpa mikir plot sama sekali 😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Masa Nganu [SVT, EXO, BTS]
Fanfiction"Gue beli eyeliner baru dari Paris lho..." "Pinjem kolor lo dong bang..." "Kaset bokep gue balikin sini..." "Om, kok ganteng bat sih..." "Jenk, masa bu RT selingkuh sama brondong kampung sebelah..." Ketika SVT, EXO dan BTS tetanggaan. "Tetangga masa...