Ada begitu banyak hal yang Adrian sukai tentang rumah. Harum masakan mamahnya, kucing hitam peliharaannya, pohon mangga di depan rumahnya, bahkan setiap langkah dari kamar Adrian ke kulkas yang jumlahnya selalu ia hafal; sebanyak 15 langkah ukuran kaki Adrian.
Ide untuk pulang ke rumah selalu membuat Adrian senang, sejenak ia bisa melepas penat kehidupan sebagai dokter. Berbeda di rumah sakit dimana hampir tak sekalipun ia sempat bersantai, di rumah ia hanyalah seorang anak pertama kesayangan dan kebanggaan kedua orangtuanya.
Hingga tadi pagiㅡ sepucuk undangan yang dibuat rapih-rapih berwarna ungu lavender sampai di rumahnya. Adrian seharusnya sudah bisa menebak siapa sang pengirim undangan sejak pertama merasakan desiran aneh yang menyelimuti tubuhnya saat pertama melihatnya; khususnya karena warna yang membungkus undangan pernikahan tersebut. Warna yang sepanjang masa SMA dan kuliahnya selalu ia ingat dan selalu ia koneksikan pada satu dara bahkan hingga kini.
Nandrina Ayuning Aprilia.
Adrian menghela nafas, tak mau repot-repot membaca nama lain yang tertera pada undangan tersebut. Ia tahu hari ini, cepat atau lambat, pasti akan datang.
Adrian mengambil telfon genggam-nya yang terletak di meja kamarnya. Segera menelfon salah seorang teman dekatnya.
"Adrian! Apa kabar!"
Adrian menjauhkan sedikit telinganya dari h telfon genggam yang ia pegang. Orang yang kini berbicara dengannya terdengar senang sekali mendapat panggilan dari teman lama dari masa sekolahnya dahulu.
"Baik. Lo gimana?"
"Mau gila gue. Kerjaan gue numpuk padahal baru hari senin. Sabtu main lah, ajak anak-anak yang lain."
"Kebetulan. Hari sabtu temenin gue dong."
"Ngapain?"
"Kondangan."
"Lo ga kasian apa sama kita, kalo datengnya berdua. Cowo ama cowo."
"Kenalan kita ini."
"Siapa?"
"Lo inget Nandrina?"
"Nandrina... Bentar...."
Adrian sengaja diam untuk memberikan waktu bagi temannya untuk berpikir.
"Gue inget! Temen kita dulu yang juga mantan lo kan! Lah dia nikah?"
"Iye."
"......."
Hening.
"...?"
"ADRIAN LO GA KENAPA-NAPA KAN? PERLU GUE DATENG KESANA? GUE BAWAIN GORENGAN YANG DULU BIASA KITA BELI MAU???"
Adrian tertawa asam, sudah menduga datangnya respons semacam ini.
"Apaan sih Dzak."
"Adrian, bener ya pulang kerja gue ke rumah lo. Tungguin. Gue mau dapet penjelasan.."
Adrian menutup telfonnya tak lama setelah mendapat kecaman dari lawan bicaranya. Ia sekali lagi menatap undangan pernikahan tersebut. Aneh sekali, setelah bertahun-tahun, warna ini masih membuatnya merasa hangat. Padahal, lavender merupakan warna favorit Nandrina, bukan warna favoritnya.
Tiba-tiba Adrian merasa geli mengingat beberapa tahun yang lalu ia bahkan harus repot-repot menjelaskan warna tersebut saat hendak membelikan gadis itu hadiah. Seperti waktu Adrian dan Nandrina baru masuk kuliah. Adrian ingin membelikan sang kekasih sejak masa labilnya itu sebuah jurnal yang bisa ia pakai saat berkuliah.
Setelah berkeliling cukup lama di sebuah took buku di pusat perdangan di pusat kota, Adrian menemukan jurnal yang cocok. Polos, tapi masih terkesan elegan. Sayang yang ia temukan bukan warna yang ia cari. Yang ia temukan warnanya ungu.
"Mbak, yang ini ada yang warna lavender?"
Adrian membawa jurnal tersebut ke salah satu pegawai yang sedang sibuk menata etalase di lorong yang lain.
"Ungu maksudnya, mas? Itu ungu kok." Jawab pegawai itu, mengisyaratkan dengan gerakan kepalanya ke arah jurnal yang Adrian pegang.
Tidak puas, Adrian menggeleng. "Lavender, mbak. Emang warnanya kayak ungu tapi warnanya lebih muda."
"Ungu muda?"
"Bukan, mbak. Lavender."
"... Iya mas. Dicari dulu." Pegawai itu beranjak, dalam hati mengutuk pria tampan yang harus ia bantu pada hari itu.
Sekarang Adrian penasaranㅡ setelah bertahun-tahun lamanya, bagaimana kabar jurnal warna lavender itu sekarang? Apakah kini sudah penuh? Apakah gadis itu mengisinya dengan lirik dari lagu kesukaannya, seperti waktu zaman SMA dulu? Yang lalu dengan iseng Adrian terjemahkan ke bahasa Jawa tepat dibawahnya? Dan Adrian dahulu sering mengomeli Nandrina karena kebiasaannya tersebut.
"Kamu tuh orang Jawa, Nan. Dengerinnya lagu barat mulu."
Namun Nandrina sama sekali tidak menghiraukannya, dengan gondok masih mencoba menghapus tulisan Adrian yang merusak tulisan yang sudah ia tulis se-indah mungkin dengan spidol warna-warni.
Kalau sudah begini biasanya Adrian hanya bisa menunggu hingga pulang sekolah, ketika mau tidak mau Nandrina akan mendatanginya dan motor vespanya di tempat parkiran untuk nebeng pulang. Kalau sudah begini Adrian selalu merasa gemas dengan pacarnya sendiri.
"Oooh, udah gak marah?"
Nandrina mendengus, akhirnya menatap matanya walau dengan ekspresi yang masih kesal. "... Jan."
"Iya maaf. Yuk berangkat."
Adrian tahu Nandrina tidak benar-benar marah padanya. Kedua tangannya yang dengan erat mendekap badan Adrian selama mereka menyusuri jalanan perkotaan cukup menjelaskan semuanya.
ㅡ proloog ; einde
Hehehe halooo! This is my very first wattpad, as a result of my thirst from lacking of Jaehyun - Jiho stories on wattpad, I hope I could help everyone who's on the same ship too. Do leave a trace and feedback if you're reading so I could continue!
KAMU SEDANG MEMBACA
an ode to the old us
Fiksi Umum"Do you want to know something immersing, Nan?" "What is it? Immerse me." "I've written a whole book about you. You were there. On the very first page. Also somewhere on chapter thirteen or fourteen. You were on the chapter where my life reached its...