Prolog

389 34 3
                                    

Sekilas tentang kantor –

Aparat yang tak dapat dipercaya, memicu ganasnya amuk massa. Lantaran hukum mudah terbeli, membuat siapapun dapat menjadi polisi.

BlazzingRims sudah berdiri lama dibawah bayang-bayang desus tersebut. Tanpa perlawanan, tanpa bantahan. Mereka hanya berdiam diri membiarkan seluruh hujatan tak enak menyelimuti gedung dan penghuninya selama bertahun-tahun. Seolah tiada guna mereka melawan, kekuatan rakyat merupakan kekuatan terbesar di hukum.

Pada suatu hari, pintu ruangan Sang Jendral terbuka dan seseorang masuk. Rupanya Ice. Seorang jendral muda dari FreeziesRims. Setelah memerhatikan lebih detail lagi, ternyata jendral sepantarannya itu tidak sendiri, dia membawa dua anak buahnya yang terlihat sedikit lebih muda dan energik dibelakang. Mengikuti kemana kaki Sang Perwira menuju. Tak mengeluh, tidak banyak basa-basi. Keduanya hanya bisa memberikan senyum ramah–tidak. Hanya satu pria polisi beriris biru cyan yang memberikan senyum ramah.

"Ice? Ada apa?" Blaze membelak bingung, dia berbalik dan segera mendekati meja kerjanya. Ice datang semakin dekat. Semakin jelas pula bahwa Ice datang membawa kabar buruk. Raut wajah tegas Jendral Ice membuat nyali Blaze sedikit ciut, meskipun begitu, dia memberanikan diri bertanya untuk sekali lagi. "Jendral Ice, ada apa gerangan hingga Anda berkunjung di BlazzingRims?"

Ice sedikit mendecih, tanganya tergerak memukul meja Blaze pelan. "Bagaimana kau bisa setenang itu? Tentu sebagai sahabat aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini. Blaze, kalau kau terus-terusan begini, BlazzingRims akan selalu di cap jelek! Rakyat FireBlazt City sama sekali tidak mematuhi aturan, inikah yang disebut ke disiplinan?" Koar Ice yang membuat Blaze sedikit tersentak. Berusaha menyungging senyum cemas, Blaze menatap sepasang mata dingin dihadapannya.

"Allah selalu ada disisiku, yang bisa kulakukan hanya berdoa. Tawakal dan ikhtiar meminta bantuannya. Hahh... Aku cukup berserah diri saja."

"Kalau kau menyerahkan hidupmu saja, itu tidak ada bedanya sama sekali. Dimana usaha nya? Kalau kau berdoa pada-Nya, seharusnya diiringi dengan usaha dan kerja keras. Insya Allah diberi kemudahan nantinya." Suaranya melunak, Ice tidak tau harus bersikap seperti apa pada Blaze.

Blaze menunduk sebentar. Bagaimana pun, apa yang dikatakan Ice tidak salah. Buat apa kita berdoa tapi tidak ada usaha? Blaze memejamkan mata dan menggigit bibirnya lemah, berbalik menghadap jendela tinggi dibelakang meja kerjanya. Menatap FireBlazt City sendu. Kota itu terlihat damai sore ini. Meskipun begitu, pasti ada beberapa tempat gelap yang belum terjangkau tangannya.

"Aku–"

Tok. Tok. Tok.

Semua penghuni ruang kerja Blaze menoleh kearah pintu ketika mendengar tiga kali ketukan. Memintanya masuk, pintu ganda tersebut terbuka perlahan seiring masuknya seorang pria berwajah tampan bersama salamnya. Kedua iris matanya emas mengkilat, senyum penuh rasa santun menghias elok. Sedikit membungkuk, dia menunduk dan memberikan hormat. Blaze membalas salamnya dan tersenyum lebar melihat sosok tersebut.

"Mohon maaf, Jendral Blaze memanggil saya?" Tanya pria tersebut. Blaze mengganguk, langkah kakinya kini mendekati sosoknya. Ketiga pasang mata terus memerhatikan Blaze sampai Blaze menepuk bahu anak buahnya.

Tersenyum membanggakan, Blaze berucap, "Jendral Ice, mohon dikenalkan. Gempa. Inspektur Dua yang kerap sudah saya anggap adik sendiri. Inspektur polisi andalan saya untuk sekarang. Kebetulan saya ingin berbicara dengannya tadi. Kebetulan Anda datang, saya sekaligus berkeinginan untuk mengenalkannya pada Anda."

Pria bernama Gempa itu membungkuk sekali lagi dan menerima uluran tangan Ice yang masih setengah terkejut, meskipun ada yang lebih terkejut lagi darinya.

Mata Gempa menelisik cepat Jendral Ice yang membawa maju kedua orang dibelakangnya. Kedua tangannya menompang masing-masing bahu anak buahnya. Tersenyum lemah, Ice pun ikut mengenalkan anak buah.

"Wah, kebetulan sekali saya membawa dua anak buah andalan saya juga." Ice menepuk bahu seorang pria dingin bermata delima. "Perkenalkan, Brigadir satu, Halilintar." Pria bermata delima memandang iris keemasan, kemudian mereka berjabat tangan. Ice pun menoleh ke kiri dan menepuk bahu pria wajah ceria bermata cyan, "dan Taufan, Brigadir dua." Taufan menyunggingkan senyum lucu, dengan hangat dia menjabat Gempa yang tersenyum lembut seraya mengatakan, "salam kenal, Briptu Halilintar dan Bripda Taufan. Dan, selamat datang di Kantor Kepolisian BlazzingRims. Suatu kehormatan sekali Anggota Kepolisian dari FreeziesRims ingin berkunjung ke sini."

"Terima kasih atas sambutannya," balas keduanya serempak.

Blaze kini menghadap Gempa dengan sebelah alis terangkat. "Bagaimana? Kau sudah menemukan adikmu?"

Gempa sontak menggeleng pelan, menggulung senyum lemah pada Blaze yang mengusap punggungnya. "Saya tidak ingat sama sekali seperti apa wajah adik-adik saya." Gempa berhenti sejenak, "dan saya kurang ingat, bagaimana kami terpisah. Akan tetapi, saya merasa saya memiliki dua adik. Dari seluruh ingatan yang ada, cuman itu yang saya punya."

Ice merasa iba. Begitu pula pada Halilintar dan Taufan yang menyayangkan sekali penyakit lupa ingatan itu. Halilintar mengangkat tangannya rendah dan berdehem, "interupsi,"

Ice menoleh ke tempat Halilintar berdiri dan mengatakan, "Anda di persilahkan untuk berbicara." Mendapat izin dari atasan, Halilintar menurunkan tangan sambil mengganguk. "Terima kasih, pak. Begini, saya hanya mengajukan pendapat saya untuk Inspektur Gempa. Bolehkah saya?"

Gempa tersenyum ramah, "silahkan saja, Briptu Halilintar."

Halilintar menunduk sebentar dan kembali mendangak setelah berpikir matang. "Bagaimana kalau dibuat lembaga detektif disini? Bukankah mengasah kemampuan dalam menganalisis dalam menemukan sesuatu di butuhkan dalam misi seperti itu? Ada kemungkinan inspektur bisa mencari sedikit demi sedikit potongan puzzle yang anda cari selama ini. Ini hanyalah pendapat dari saya, saya tidak bermaksud apapun dan tidak berniat menggurui siapapun. Mohon maaf jika Inspektur tidak berkenan." Selesai memberi pendapat, Halilintar membungkuk penuh rasa hormat.

Blaze membelak kaget begitu pun juga Gempa. Ide yang diberikan Halilintar terdengar tidak buruk di telinga mereka. Ice pun menatap Blaze, "kurasa itu tidak buruk. Buatlah lembaga detektif disini, Blaze. Selain kau membantu Inspektur Gempa, ada kemungkinan nama BlazzingRims bisa terangkat kembali pada tempat sesungguhnya. Apa salahnya jika ingin mencoba?"

Blaze sempat bimbang, berpikir keras apakah jalan ini yang terbaik bagi dirinya, maupun orang-orang disekitarnya.

"Ah, baiklah. Akan kubuatkan Lembaga Investigasi Khusus untukmu, Gempa. Bersiaplah."

Gempa terkejut sebentar sebelum tersenyum haru dan memberi hormat. "Siap! Jendral!"

"Jendral Ice...?"

"Pak?"

Ice tersenyum lembut, dia menepuk kedua punggung anak buahnya dan mendorong pelan hingga mereka berdiri dekat Gempa yang sama-sama tekejut-bingung. Kini, tiga pasang mata tersebut, menatap Ice heran. Ice hanya menyembunyikan senyum dibalik baret biru perwiranya.

"Briptu Halilintar, Briptu Taufan. Mulai besok, kalian akan di pindah tugaskan ke BlazzingRims Police Office. Aku berharap, kalian bisa membantu Inspektur Gempa menemukan adiknya yang hilang. Tidak asik bukan, kalau tim investigasi hanya ada satu orang?" Semua orang membelak, tak terkecuali Blaze. Ice pun mengubah pandangan ke arah Blaze. "Blaze, kuserahkan mereka di kantormu. Buatlah nama BlazzingRims sebagai nama kantor polisi yang layak!"

Blaze terharu, Ice sungguh baik padanya. Untuk saat ini, dia berhutang budi pada sahabatnya satu itu. Tersenyum menahan tangis, dia mengambil keputusan. "Kalian diterima di BlazzingRims Police Office. Berjuanglah kalian semua."

Mereka bertiga melongo sesaat, baru setelah itu berdiri tegap dan mengangguk. Berbaris 1 shaf, dan memberi hormat prajurit menghadap Jendral Ice dan Jendral Blaze.

"Siap, laksanakan!"

Bersambung...

Handsome Police of BlazzingRimsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang