Doc 2; Permulaan yang buruk

374 43 9
                                    

"Kau pikir dia akan kemana?" Tanya Taufan tanpa mengalihkan pandangan. Terus menatap layar tv yang menampilkan berbagai macam bentuk iklan. Halilintar memilih tidak mengubris, Ia kembali duduk di sofa sebelah Taufan setelah membuat kopi hitam. Taufan mendengus, cara mengabaikannya itu benar-benar memuakkan.

Akhirnya Taufan menyerah. Beranjak kembali ke kamar setelah bosan diserang keheningan, dia memutuskan untuk mandi dan membereskan kamar sesuai perintah Gempa. Langkahnya gontai mengarah pada pintu kamarnya. Selain tangan kanannya sibuk mengacak rambut, tangan kirinya tergerak untuk menggaruk perut. Lalu menguap lebar dan membanting pintu hingga tertutup.

Tidak biasanya dia berwajah lesu dan ogah-ogahan. Kemana sifat usilnya itu? Halilintar menganalisa lewat ekor mata memerhatikan keadaan Taufan yang terbilang sedikit aneh. Nada bicaranya terdengar berat dan datar, hampir menyamainya. Tentu sebagai saudara sejak kecil, Halilintar merasa tidak terbiasa dengan sikap tersebut. Ingin bertanya pun gengsinya terlalu tinggi. Alhasil, dia tetap bergeming di tempat memerhatikan tv dan menunggu Gempa kembali dari jalan pagi.

"Assalamu'alaikum," kata Gempa sembari membuka pintu ruangan. Halilintar menoleh terkejut pada sosok diambang pintu. Bagaimana tidak? Baru saja mereka membicarakannya, orangnya sudah datang mengucapkan salam dengan wajah sehabis bersin. Sebuah kebetulan sekali. Lanjutnya membatin dalam hati.

"Kok gak dijawab?" Gempa menepuk bahu Halilintar. Yang ditepuk seketika gelagapan. "A-ah.. Wa'alaikumsalam, Kak Gempa—"

Gempa terkejut sesaat, "wah?"

Halilintar malu sendiri. Dia cepat-cepat menutup mulutnya dengan satu tangan dan membuang muka dari Gempa yang terlihat sedikit antusias mendengar ucapannya tadi. "Ma-maafkan saya Inspektur, saya tidak bermaksud memanggil nama Anda langsung seperti itu," sesalnya sembari menunduk dan melepas bungkaman perlahan.

Gempa menggelengkan kepala, Ia sumringah, matanya sedikit berbinar. "Tidak apa, sama sekali tidak apa-apa untukku. Kenapa kau keberatan memanggilku Kakak? Panggilah seperti itu. Aku tidak masalah, kok. Tidak sama sekali!" Tangannya terkibas didepan wajah, berusaha membujuk Halilintar diwaktu yang bersamaan.

"Kita sudah hampir 2 bulan bekerja sama, seharusnya kalian sudah bisa akrab denganku. Aku tidak ingin membawa jabatan disini, kita 'kan sudah keluarga. Anggaplah seperti itu," lanjutnya menatap Halilintar yang membeku. Mendengar seluruh curah hati Gempa akan sikapnya dan Taufan.

"Jadi, Anda lebih nyaman dipanggil dengan nama langsung?" Tanya Halilintar canggung, tercetak jelas dari wajah penuh ragu dan tangan yang mengusap tengkuk merasa tidak enak.

Sementara Gempa mengangguk dan mengeluarkan jempolnya, dia menyengir lebar dan berkata, "dua kali lipat lebih nyaman ketimbang kalian memanggilku dengan sebutan Inspektur. Kita tidak ada di tempat kerja atau sedang bekerja. Lebih santai sedikit, apa salahnya?"

Sebenarnya, Halilintar masih belum terbiasa akan sifat hangat dan kekeluargaan milik Gempa. Terlalu nyaman dan lembut, juga penuh rasa kasih sayang. Berbeda dengan kehidupan di FreeziesRims yang terbilang dingin dan menuntut kedisiplinan tinggi. Bukan berarti Halilintar membenci Jendral Ice maupun lingkungan di sana. Sudah dia bilang, kalau dia belum terbiasa dengan semua fasilitas dan orang-orang disini.

"... rasanya seperti punya Kakak sungguhan," desisnya pelan. Gempa sempat mendengarnya, matanya tertuju pada wajah sendu Halilintar yang menunduk. "Kalian punya Kakak? Kenapa tidak pernah cerita?"

"Bu-bukan begitu. Kalau Kakak, Bapak selalu bilang kepada saya dan Taufan kalau kami adik beliau. Adik angkat lebih tepatnya. Tapi, saya sungkan. Saya tetap menjaga martabat beliau sebagai seorang jendral." Halilintar menghela nafas. Tangannya masih sibuk mengusap tengkuk dengan wajah letih. Kembali ia melanjutkan ceritanya.

"Kami juga... jarang sekali berbincang santai dengan Bapak, jadwalnya sungguh padat. Kami sempat menjadi Walsus*, dan benar-benar repot mengurus segala keperluannya."

Gempa mangut-mangut tanda paham. Halilintar dan Taufan benar-benar pekerja keras. Wajar saja kalau Jendral Ice merekrut mereka sebagai anak buah andalan. Sudah pernah jadi walsus pula. Hebatnya! Dalam hati dia kagum kepada sosok anak buah kesayangan Ice yang kini menjadi anak buahnya.

"Benar-benar hebat, Halilintar. Aku salut pada kalian berdua. Aku berharap suatu saat nanti, aku bisa mengimbangi kalian berdua." Gempa terkekeh dan tersenyum meyakinkan. Halilintar ikutan terkekeh lemah, baru kali ini Gempa melihatnya tertawa. "Terima kasih banyak, Kak Gempa. Saya juga masih perlu banyak belajar dari Kakak."

Mendengar Halilintar yang sudah bisa akrab dengannya, Gempa merasa senang sekali. Bagaimana Halilintar kagok menyebutnya dengan sebutan "Kakak" itu benar-benar momen terlucu, sekaligus momen yang takkan ingin ia lupakan.

"Ngomong-ngomong soal kalian berdua, dimana Taufan? Apakah dia mandi dan membereskan kamar sesuai perintahku?" Gempa bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar Taufan. Mata Halilintar hanya mengikuti gerak punggung Gempa dari tempatnya. Memerhatikan bagaimana punggung tersebut perlahan menjauh dan berhenti di depan pintu bercat biru langit.

Knock. Knock.

"Taufan? Kau didalam? Ada yang ingin kubicarakan denganmu, nih." Pria bermata keemasan itu memanggil. Suara langkah kaki mendekati pintu sayup terdengar di rungunya. Gempa mengambil dua langkah kebelakang agar tidak tertabrak pintu.

"Kak Gempa? Kakak sudah kembali? Kakak kembali untuk mencari aman dari berbagai penembak jitu yang mengintai di luar sana, 'kan?" Tanya Taufan bertubi-tubi yang membuat Gempa terkesiap kaget. Halilintar bangkit dan segera mendekati mereka berdua. Wajahnya berubah memucat mendengar semua perkataan Taufan barusan.

"Kak Gempa, apa itu benar?" Tanya Halilintar mencengkram bahu Gempa. Gempa menghela nafas dan berusaha menenangkan mereka berdua.

"Tenang dulu, ya... jangan panik. Ingatlah, panik dapat membahayakan kalian sendiri." Suaranya melunak, matanya melirik cahaya kemilau jauh di gedung seberang. Benar-benar ada penembak jitu disana. Perasaannya mulai tidak enak.

Psssiiuu—

"Karena posisi mereka belum ada yang kita ketauhi, lebih baik kita menjauhi kaca dan tempat terbuka untuk sementara—"

Mendadak suaranya tidak ingin keluar. Otot dan sendinya seolah mengendur dan mati fungsi, langkahnya pun terasa ringan. Gempa seolah melayang dari tadi. Sebelum bunyi dentuman keras di lantai, Gempa merasa Taufan dan Halilintar berteriak kencang mengantar jeritan rasa sakitnya.

"Aaaakhhhh!!!"

"Kak Gempa!!!"

Bersambung

Vocabulary :

*Walsus : Pengawal khusus

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Handsome Police of BlazzingRimsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang