1. The meeting

1 0 0
                                    

"Kan, kita kan temenan udah...." Cowok di depanku ini menghitung dengan jarinya, sesekali tampak berusaha mengingat. "Tiga tahun, ya?"

Aku mengangguk. Mataku masih menatap angka yang terus berubah di depanku, sambil berharap lift ini segera tiba di lantai kantor kami.

"Nah, pasti kita udah deket banget dong."

Pandanganku teralihkan. Alis Rama terangkat, seolah menanti persetujuanku. Aku kemudian melihat sebuah amplop yang dibawanya. Aku mengerti arah pembicaraannya, dan masih terlalu pagi untuk permintaan atas nama persahabatan darinya. Aku akan lebih memilih diminta bosku terbang ke Papua saat ini juga daripada meladeni keinginan Rama.

"Terus?" tanyaku waspada.

Rama tersenyum. "Gue mau minta tolong," katanya sambil mengangkat amplop di tangannya.

"Nggak."

"Kenapa?"

Aku bersedekap, lalu kembali melirik angka di monitor lift. Sisa 2 lantai lagi.

"Ini yang terakhir."

Pintu lift akhirnya terbuka. Aku buru-buru melangkah keluar dan menjauh dari Rama. 

"Kan, plis. Kantiii. Kantiii." Rama mengejarku, tapi aku memilih mengabaikannya. Tapi dia tidak menyerah.

Rama terus mengikuti hingga aku tiba di dekat kubikelku. "Kanti Mahira. Sahabat terbaikku." Dia terus mengucapkan namaku dengan melagukannya menggunakan sebuah lagu anak-anak.

"Ram, please stop," kataku akhirnya, setelah aku duduk di kursiku. 

Rama meletakkan dagunya di atas pembatas kubikel. "Is that a yes?"

"A Big No! Lagian lo kenapa nggak ngajak si Maya sih?  Kan yang cewek lo itu dia bukan gue."

"Kan, nggak usah cemburu gitu lah sama Maya," ucapnya santai. Aku mendelik ke arah Rama dengan sebal. Anak ini memang perlu dicuci otaknya biar sedikit beres. "Maya cewek gue, tapi lo tetap sahabat gue. Dan, inget kekasih gue itu jauh banget di seberang sana. Lo nggak iba sama gue?" Dia memasang tampang memelas yang dibuat-buat. 

Aku mengembuskan napas, berusaha untuk tidak berteriak memakinya. Kalau bukan di kantor sudah kujambak rambutnya dan kujitak kepalanya. 

"Gue sebenarnya mau aja ya, Ma, ta..."

"Nah, gitu dong," selanya sambil kemudian mengambil tanganku dan meletakkan amplop putih yang dibawanya lalu melengos pergi. "Adios, sampai ketemu, ciao,muaah."

"Gue belom selesai ngomong, Banciii!" Rama melambai tanpa menoleh lagi ke arahku, lalu menghilang. 

Aku menatap amplop putih itu, ada nama teman SMA Rama dan seorang cewek bernama Nia yang terukir dengan indah di sana. Setiap kali ada undangan seperti ini pasti aku jadi korbannya. Memang sih, kalau Maya sedang di jakarta, dia akan pergi dengan Maya. Problemnya, Maya hampir tidak pernah ada di Jakarta. 

Sejak dua tahun lalu, karena kecerdasan dan kegesitannya, Maya ditempatkan di kantor cabang Bangkok. Dan sejak itu pula, aku dan Rama semakin dekat. Aku pernah bertanya apakah dia tidak cemburu aku dan Rama sedekat ini. Tapi, Maya selalu terdengar tidak keberatan dan malah menitipkan cowoknya yang ajaib itu padaku. Aku bilang terdengar karena memang kami pernah membicarakan ini via telepon, saat dia menelepon Rama dan kebetulan kami sedang bersama. Kepindahan Maya ke Bangkok membuatku tidak pernah bertemu lagi dengan cewek yang sekota denganku itu. Dan setiap dia dapat jadwal pulang ke Jakarta selalu bertepatan dengan jadwalku dinas atau aku harus pulang ke Bandung, ke rumah Ibu.

Belum lama si berengsek itu keluar dari ruanganku,sebuah notifikasi pesan masuk. 

Sist, gue tadi papasan sama partner baru lo. sempet ngobrol.

Ganteng.

baek2 iman tergoda.

Aku mengernyit membaca pesan Rama. 

Aku baru ingat kalau rekan baruku akan mulai bekerja hari ini. Meja yang ditinggalkan Shinta, partnerku yang harus resign karena alasan keluarga, sudah rapi dan seolah siap menyambut penghuni barunya.  Sekarang sudah tidak ada Shinta yang selalu jadi andalan dan teman berbagi saat bosku bersikap menyebalkan. Semoga partnerku yang baru ini akan menyenangkan. 

Baru saja jariku mulai mengetik beberapa kata balasan untuk pesan Rama, sebuah suara yang dalam menyapa lembut telingaku. Dari kejauhan aku mendengar seseorang sedang mengobrol dan menyebut namaku. Dan suara yang dalam itu, rasanya amat akrab di telingaku.

"Kania Mahira?"

Aku mendongak. Lalu wajah itu muncul di hadapanku. Seseorang yang hampir hilang dari memoriku.

"Kamu masih inget sama aku kan?"

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Jangankan kata bersuara pun aku tak bisa. 

Sebelas tahun yang lalu aku pernah bersumpah kalau bertemu lagi dengan pria ini aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.


I Should Have Said I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang